(Mengambil Uswah dari Zubayr bin al-’Awwam)
Pendahuluan
Salah satu bentuk akad yang digunakan pada lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, adalah akad wadi'ah (wadî’aħ). Dalam aplikasinya, akad wadî’aħ pun juga dibagi menjadi dua macam, yaitu wadî’aħ yad al-amânaħ, yang diterapkan pada produk simpanan yang tidak sering ditarik atau dipakai, sepertisafedeposit box, dan wadî’aħ yad al-dhamânaħ, ditetapkan pada rekening giro.
Secara definitif, dua jenis wadî’aħ tersebut dijelaskan sebagai berikut: wadî’aħ yad al-amânaħ (trustee depository)adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Sedang wadî’aħ yad al-dhamânaħ (guarantee depository) adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang atau uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang titipan jadi hak penerima titipan. Contoh aplikasinya, ketika seorang nasabah datang ke bank syariah membawa sejumlah uang dan menyatakan keinginannya akan me-wadî’aħ-kan uang tersebut, pihak bank akan menawarkan pilihan wadî’aħ yad al-amânaħ atau wadî’aħ yad al-dhamânaħ. Terkadang pilihan itu tidak ditawarkan, dan rata-rata uang tersebut diterima melalui produk giro (giro wadî’aħ) dengan akadwadî’aħ yad al-dhamânaħ, karena biasanya safedeposit box lebih cenderung digunakan untuk titipan barang, selain uang, dengan akad wadî’aħ yad al-amânaħ.
Pilihan itu sesungguhnya memberikan pemahaman bahwa kata amânaħ dan dhamânaħ menjadi pembeda dua wadî’aħtersebut; ada wadî’aħ yang amânaħ dan ada wadî’aħ yangdhamânaħ. Secara praktis pembedaan seperti itu tidak bermasalah atau, setidaknya, tidak dipermasalahkan selama ini. Akan tetapi, secara konsep, muncul pertanyaan apakah ada wadî’aħ yang tidakamânaħ? Apakah tidak ”rancu” menawarkan wadî’aħ yangdhamânaħ?
Pertanyaan ini dirasa cukup penting, tertama kalau dikaitkan dengan visi dan misi pengembangan perbankan syariah nasional. Di mana salah satu yang menjadi sasaran pengembangan perbankan syariah nasional adalah: Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah. Prinsip syariah yang dimaksud tentu saja mengacu pada pencapaian tujuan syariat Islam di bidang ekonomi (muamalah) melalui lembaga perbankan. Dalam hal ini, pemenuhan prinsip syariah itu tentu saja tidak terbatas pada penghindaran dari unsurriba, maisir, gharar, haram dan zalim, sebab hal ini baru pemenuhan prinsip syariah dalam bentuk ”penghindaran”. Sementara masih ada prinsip syariah lain, dalam bentuk ”pemenuhan” atau ”pelaksanaan”, yang dimuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, salah salah satunya adalah amânaħ.
Amânaħ dalam Mu’amalah
Analisis kontemporer terhadap aturan normatif dan prilaku ekonomi umat Islam mengibaratkan Ekonomi Islam sebagai satu bangunan yang terdiri atas landasan, tiang dan atap. Ia dilandasi oleh 5 komponen, yaitu tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, danma’ad (return). Tiang perekonomian Islam ada tiga, yaitupengakuan akan multiownership, kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari’ah (kebebasan terikat), dansocial justice. Sedang atapnya terdiri dari akhlak atau etika ekonomi, seperti selalu menyampaikan yang benar, dapat dipercaya (amanah), ikhlas, persaudaraan (ukhuwah), dan penguasaan ilmu pengetahuan. Walau hal-hal di atas dibedakan, akan tetapi masing-masingnya tidak bisa dipisahkan dan berdiri sendiri; seluruhnya memiliki kaitan dan merefleksikan satu ”bangunan” Ekonomi Islam yang utuh. Penempatan akhlak sebagai atap ekonomi Islam pun sesungguhnya tidak mengurangi arti pentingnya dalam bangunan ekonomi Islam. Contoh sederhana, tidak mungkin seseorang berbuat dengan ikhlas kalau ia tidak memiliki tauhid. Tanpa tauhid, amanah yang dimiliki seseorang juga sangat rentan terhadap pengaruh dan perubahan, sesuai kepentingan dan keuntungan yang bisa jadi hanya bersifat sesaat.
Amânaħ dan amân pada dasarnya memiliki makna yang sama, yaitu terhindar dari hal-hal yang tidak benar atau tidak diinginkan di masa mendatang. Substansi amânaħ tersebut adalah ketenangan jiwa dan terpelihara dari kekhawatiran. Artinya, dengan adanya amanah, jiwa seseorang menjadi tenang dan terpelihara dari kekhawatiran terjadinya tindakan yang bertentangan dengan kepercayaan di masa mendatang. Pada awalnya amânaħ berarti orang yang dipercayai, kemudian secara majaziy kata itu digunakan untuk sesuatu yang dipercayakan, seperti untuk objek wadî’aħ dan sebagainya. Nabi sendiri menyebut para muazzin sebagai orang-orang yang dipercaya, karena orang banyak percaya, begitu saja, bahwa waktu shalat telah masuk ketika ia azan. Kepercayaan terhadap muazzin itupun tidak terbatas pada pemberitahuan waktu shalat; setidaknya juga mencakup pemberitahuan waktu imsak dan berbuka di bulan Ramadhan. Nabi juga menggunakan kata yang seakar dengan amânaħ dalam sabdanya (jadi dasar hukumwadî’aħ) yang berasal dari Abi Hurayrah: ”Serahkan amanah kepada orang yang mengamanahimu. Jangan khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. al-Turmudziy, Abu Dawud, al-Hakim, al-Bayhaqiy, al-Daruquthniy, dan al-Darimiy) Sebagai lawan dari amanah, seperti dikutip al-Munawiydari al-Haraliy, khianat (khiyânaħ) berarti sangat lemah dalam memelihara amânaħ. Al-Raghib menyebutkan khianat dan munafik adalah nama untuk objek yang sama. Tetapi khianat biasanya tertuju pada janji dan sesuatu yang dititipkan (diamanahi), sedang munafik biasanya digunakan pada aktifitas keagamaan. Namun kemudian dua kata itu tidak terbedakan secara tegas lagi. Untuk memberikan gambaran tentang arti penting amanah pada tata pergaulan manusia, menarik untuk menyimak sebuah riwayat yang diceritakan Ibn ’Abidin. Setelah Nabi Yusuf masuk penjara, Zulaykha diberi cobaan dengan kemiskinan dan ”rindu berat” kepada Nabi Yusuf. Suatu hari, ketika ia sedang duduk di pinggir jalan bersama orang-orang miskin, lewatlah Nabi Yusuf, yang telah keluar dari penjara. Zulaykha berdiri dan memanggil beliau: ”Wahai penguasa, dengarkan perkataanku”. Nabi Yusuf berhenti, dan Zulaykha melanjutkan perkataannya: ”Amanah menempatkan seorang budak di tempat raja, dan khianat menempatkan seorang raja di tempat budak”. Setelah mendengar perkataan itu, Nabi Yusuf bertanya-tanya tentang perempuan tersebut. Beliau diberi tahu bahwa ia bernama Zulaykha, dan kemudian beliau menikahinya. Dalam bentuk yang lebih spesifik, amanah juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ”keuntungan materi”. Dalam sebuah hadisnya, Nabi mengatakan: ”Amanah adalah tetangganya rizki, dan khianat adalah tetangganya kemiskinan”. Secara praktis, amânaħ menjadi bagian penting dalam setiap akad mu’amalah. Sebagai contoh dalam jual beli, terutama jual beli murâbahaħ, pihak pembeli percaya “begitu saja” dengan informasi harga yang disampaikan penjual. Amânaħ tersebut juga sangat menentukan pada syirkaħ, mudhârabaħ, wakâlaħ, ‘âriyaħ, al-qradh, dan tentu saja pada wadî’aħ. Amânaħ dan Wadî’aħ
Sebagai bagian dari khazanah bahasa Indonesia, katawadî’aħ merupakan salah satu kata yang diadopsi dari bahasa Arab dari kata dasar wada’a dengan mashdar al-îdâ’. Secara lughawiy kata wada’a berarti tenang, tenteram, tetap, tinggal dan yang semaknanya. Sementara kata wadi’ah sendiri secara bahasa berarti sesuatu yang di-wadî’aħ-kan atau objek wadî’aħ. Wadî’aħ dan amanah merupakan dua kata untuk makna yang sama (sinonim), meskipun tidak persis sama; wadî’aħmerupakan permintaan secara sengaja untuk menjaga, sedang amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada seseorang, baik dengan maksud wadî’aħ atau tidak. Dalam hal ini, wadî’aħ adalah kepercayaan dalam makna khusus, sedang amanah adalah kepercayaan dalam makna umum. Allah sendiri menamakanwadî’aħ itu dengan amânaħ, seperti pada firman Allah dalam surat al-Nisâ` [4] ayat 58. Makanya kemudian, aturan wadî’aħ juga disandarkan kepada nash-nash yang mengatur persoalan amanah. Secara istilah, wadî’aħ didefinisikan dengan rumusan yang beragam, tapi pada dasarnya tetap mengacu pada makna kebahasaannya. Misalnya, menurut al-Munawiy wadî’aħ adalah ”Meminta (orang lain) untuk memelihara suatu benda atau yang bernilai benda yang bisa dijadikan objek tasharruf kepada orang lain.” Pengertian tersebut menunjukkan bahwa tujuan (yang diwajibkan) akad adalah menjaga kepunyaan si pemilik (muwaddi’). Apabila ia menyalahinya (tidak menjaga), bisa jadi dengan menyia-nyiakan atau memelihara tidak sesuai dengan keinginan pemiliknya, berarti tidak memenuhi tujuan akad. Oleh karena itu dengan melakukan akad saja, dapat dipahami bahwa kehendak akadwadî’aħ adalah amanah atau kepercayaan. Penerima wadî’aħ, selain disebut muwadda’, juga disebut sebagai amîn (orang yang dipercaya). Untuk itu, seperti ditegaskan al-Qawnuniy, orang yang tidak amânaħ tidak bisa bisa menjadi muwadda’ secara mandiri. Untuk menjadi muwadda’, pelaksanaan akadnya harus disaksikan orang yang memenuhi syarat sebagai saksi. Urgensi amanah pada wadî’aħ akan lebih terlihat melalui perbandingan dengan akad lain, seperti terlihat pada tabel di bawah. TABEL
Perbandingan Amânaħ pada Wadî’aħ dengan Akad Lain
Akad lain | Amânaħ(tujuan) | Konsekwensi |
| Wadî’aħ | Konsekwensi |
Wakâlaħ | Mempercayakan bertasharruf terhadap objek | Amânaħdilanggar, tinggal izin bertasharruf |
| Amânaħmurni (wadî’aħmahdhaħ) | Batal dengan pelanggaran |
‘Âriyaħ | Amânaħmemanfaatkan objek dengan jaminan | Wajib mengembalikan walau tidak diminta |
| Amânaħmahdhaħ bukan atas dasar jaminan | Tidak wajib mengembalikan, selama tidak diminta |
Syirkaħ | Amânaħ untuk bertasharruf pada objek | Para pihak punya hak tasharruf |
| Amânaħmurni (wadî’aħmahdhaħ) | Tidak punya hak tasharruf |
Mudhârabaħ | Amânaħ untuk mendapatkan keuntungan | Para pihak punya hak tasharruf |
| Amânaħuntuk menjaga | Tidak punya hak tasharruf |
Luqathaħ | Amânaħ untuk mengembalikan | Tidak punya hak tasharruf, tapi wajib menjamin kalau melakukan tasharruf |
| Amânaħuntuk menjaga | Tidak punya hak tasharruf |
Dengan demikian, sangat beralasan kalau ulama mengatakan bahwa amanah pada wadî’aħ bukan sesuatu yang bersifat mengikut, seperti pada rahn, tetapi sesuatu yang menjadi dasar (melekat pada) akad itu, baik hal itu dinyatakan secara jelas ataupun tidak. Sebab dalam memelihara objek wadî’aħ, muwadda’ bertindak sebagaimana layaknya pemilik objek itu. Dalam klasifikasi akad secara umum, wadî’aħ termasuk kategori akad tabarru’, sama seperti akad hibah dan ‘âriyaħ.Artinya, ia dilakukan muwadda’ tanpa mengharapkan keuntungan materi. Oleh karenanya, kalau ia merasa mampu memelihara dan memikul amanah, ia dianjurkan untuk menerimanya. Karena hal itu termasuk perbuatan menolong orang lain yang diperintah Allah. Akan tetapi kalau tidak ada orang lain yang bisa memikul amanah tersebut, wajib bagi orang yang diserahi untuk menerima wadî’aħtersebut. Dengan terjadinya akad wadî’aħ, muwadda’ terikat untuk memelihara objeknya dengan cara yang layak menurut kebiasaan, karena Allah memerintahkan untuk menyerahkan amânaħ, dan hal itu mustahil bisa dilakukan kalau amânaħ itu tidak dipelihara. Di samping itu, tujuan wadî’aħ itu sendiri memang untuk memelihara objek akad. Kalau ia tidak memeliharanya berarti ia tidak melakukan kehendak akad yang mengikat dirinya atau mengikat orang yang menggantikan posisinya yang biasanya menjadi pemelihara hartanya, seperti isteri dan anaknya. Dalam rangka memelihara objek, muwadda’ dilarang melakukan tindakan yang dapat menjadi ”cacat” bagi pemeliharaan itu, seperti mengendarai hewan wadî’aħ, walau untuk memberi minumnya, atau mengeluarkan uang dari penyimpanannya untuk memeriksanya. Hal itu membuat muwadda’ menjadi wajib menanggungnya, dan ia wajib mengembalikannya segera. Karenawadî’aħ itu adalah amânaħ semata-mata dan menjadi batal dengan tindakan itu. Amanah itu tidak akan muncul lagi begitu saja, kecuali dengan akad baru. Demikian juga halnya kalau objek wadî’aħ adalah hewan atau baju, lalu muwaddi’ mengizinkan muwadda’ mengendarai atau memakainya, maka wadî’aħ seperti adalah wadî’aħ fasid. Karena persyaratan yang ditetapkan adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan wadî’aħ. Kalau si muwadda’ tetap mengendarai atau memakai, dengan hilah ‘âriyaħ, maka ‘âriyaħ-nya pun juga fasid. Kalau objek itu rusak atau hilang sebelum dimanfaatkan, maka ia tidak wajib mengganti (dianggap seperti wadî’aħ yang sah). Akan tetapi, kalau hal itu terjadi setelah pemanfaatan, maka ia wajib menjamin atau mengganti sebagaimana layaknya pada ‘âriyaħ yang sah. Tindakan hukum terhadap objek wadî’aħ dianggap sah, atas dasar pengecualian, oleh al-Subkiy adalah kalau muwaddi’ hilang (ghaib) dalam waktu yang panjang. Dasar Wadî’aħ yad al-dhamânaħ
Sepanjang penelusuran penulis, tidak ditemukan dalil spesifik bagi keberadaan wadî’aħ yad al-dhamânaħ yang dikemukakan ilmuwan kontemporer. Muhammad Syafii Antoniodan Heri Sudarsono menyebutkan wadî’aħ yad al-dhamânaħ sebagai bentuk kedua dari wadî’aħ, di samping wadî’aħ yad al-amânaħ, tanpa menyertakan dasar hukumnya. Adiwarman A. Karim juga menyebutkan wadî’aħ yad al-dhamânaħ sebagai bentuk kedua dari wadî’aħ dan digunakan sebagai akad bagi produk giro oleh kebanyakan bank Syariah. Untuk itu, ia menyebutkan bahwa implikasi hukumnya sama dengan qardh, di mana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank sebagai yang dipinjamkan. Sebagai sandaran hukumnya, Adiwarman menyebutkan bahwa hal itu mirip dengan yang dilakukan Zubayr bin 'Awwam ketika menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW. Riwayat tersebut diceritakan oleh al-Bukhariy dan al-Bayhaqiy, yang menceitakan bahwa Zubayr bin 'Awwam pernah ditemui seseorang untuk dipercayakan sebagai muwadda’. Akan tetapi ia menolaknya, kecuali kalau barang tersebut diserahkan dengan cara salaf, karena ia merasa khawatir kalau-kalau benda titipan itu hilang. Ketika Zubayr meninggal, saat mengikuti perang Jamal, semua utang itu dibayar oleh anaknya, ‘Abdullah bin Zubayr, yang berjumlah dua juta dinar. Terhadap permintaan Zubayr untuk mengalihkan akad itu menjadi akad salaf, Ibn Hajar menjelaskan bahwa Zubayr baru bersedia menerima ”titipan” kalau penitipnya mau menyerahkan sebagai tanggung jawab penuh. Kekhawatiran Zubayr terhadap kehilangan harta titipan itu memberikan indikasi bahwa ia termasuk orang yang kurang handal dalam memelihara harta. Oleh karena itu ia berkesimpulan menerima harta itu dengan jaminan adalah lebih baik bagi si pemiliknya, dan hal itu juga tidak akan merusak kehormatannya. Ibn Baththal menambahkan, permintaan Zubayr menjadikan akad itu sebagai salaf supaya ia memperoleh keuntungan bersih (penuh) dari usaha yang dibiayai dengannya. Menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar keberadaanwadî’aħ yad al-dhamanah adalah tidak tepat sama sekali. Hal itu secara jelas terlihat dari rangkaian riwayat itu sendiri. Awalnya, Zubayr memang ditawari wadî’aħ (yastawdi’u), akan tetapi ia menolak, karena khawatir tidak bisa memeliharanya secara layak. Karena orang itu tetap ingin “menitipkan” uangnya, Zubayr bersedia tapi bukan dengan cara wadî’aħ, melainkan dengan cara salaf, dan uang itu diterimanya dengan akad salaf. Salaf sendiri, seperti disebutkan banyak ulama, merupakan nama yang digunakan orang Hijaz untuk utang piutang, yang oleh orang-orang Bashrah disebut al-qardh. Berikutnya, dalam riwayat tersebut juga diceritakan bahwa pada saat pelunasan, kata yang digunakan adalah utang (al-dayn), bukan titipan (wadî’aħ). Hal ini semakin memperkuat bahwa akad yang terjadi itu adalah akad utang piutang, bukan wadî’aħ. Ada riwayat lain yang memberikan indikasi bahwa wadî’aħtersebut dilaksanakan atas dasar kewajiban menjamin (yad al-dhamânaħ), yang berasal dari Samrah. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mengambil bertanggung jawab terhadap yang ia ambil sampai mengembalikannya”. (HR. Ibn Majah, al-Nasa`iy, al-Bayhaqiy dan al-Hakim). Al-Syawkaniy menyebutkan bahwa menurut al-Qariy, berdasar hadis itu, orang yang menguasai harta orang lain dengan cara ghashab, merampas atau wadî’aħwajib mengembalikannya. Lebih lanjut, al-Syawkaniy mengatakan (dan ia setuju) hadis ini dijadikan sebagai alasan bahwa peminjam dan muwadda’ mesti menjamin, karena sesuatu yang dikuasai tetap menjadi kewajiban (jaminan) pengambilnya sampai dikembalikan. Ia juga menyebutkan pendapat al-Muqbaliy yang mengatakan bahwa hadis ini menjadi dasar yang sangat jelas pada kewajiban menjamin. Di mana orang yang dipercayai suatu amanah, selama ia menguasai objeknya, wajib menjamin sampai ia mengembalikannya. Kalau ia tidak mengembalikannya, maka ia tidak layak untuk disebut sebagai orang yang dipercayai (amînaħ). Terhadap pendapat al-Syawkaniy tersebut, al-Mubar Kafuriy mengatakan bahwa hal itu tidak berfaidah sama sekali. Ungkapan al-Syawkaniy” Kalau ia tidak mengembalikannya, maka ia tidak layak untuk disebut sebagai orang yang dipercayai (amînaħ)” berimplikasi adanya hubungan timbal balik antara tidak menyerahkan dengan tidak amanah. Hal itu memberikan konsekwensi bahwa hilang atau rusaknya objek wadî’aħ dan ‘âriyaħ sebelum dikembalikan, dengan sebab apapun, membuat hilangnya amanah muwadda’ dan peminjam. Logika seperti itu tidak benar sama sekali, sebab yang dapat mengilangkan amanah itu adalah penghilangan atau pengrusakan yang dilakukan dengan cara khianat atau dengan cara melawan hukum (jinayah). Untuk kondisi yang terakhir ini, tidak ada perbedaan sama sekali bahwa pelakunya wajib menjamin. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tidak mempengaruhi sifat amanah, meskipun penghilangan dan pengrusakan telah terjadi, seperti karena terpaksa (di bawah tekanan), atau karena lupa, atau karena sebab-sebab yang di luar kendali (sebab samawiy, seperti bencana), atau pencurian, atau hilang yang tidak disengaja. Terhadap kondisi-kondisi yang terakhir ini, menurut ijma’, muwadda’ dan peminjam tidak wajib menanggungnya. Akan tetapi, kalau muwadda’ melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pemeliharaan objek, baru kewajiban menjamin itu muncul, karena hal itu merupakan salah satu bentuk pengkhianatan. Dengan demikian, riwayat kedua di atas juga tidak memberikan dukungan penuh terhadap keberadaan wadî’aħ yad al-amânaħ. Sebaliknya, al-Sarakhsiy menyebutkan beberapa pendapat dari sahabat besar yang ”membantah” keberadaanwadî’aħ sebagai yad al-dhamânaħ. Umar bin Khaththab menegaskan: ‘Âriyaħ sama seperti wadî’aħ dalam hal tidak ada kewajiban muwadda’ untuk menjamin, kecuali kalau ia secara sengaja melanggarnya”. Ali bin Abi Thalib menegaskan: ”Tidak ada kewajiban menjamin bagi orang yang menggembalikan dan orang yang diamanahi”. Lebih lanjut, al-Sarakhsiy mengatakan bahwa muwadda’adalah orang yang melakukan tindakan kebaikan (pelaku akad tabarru’) dengan memelihara objek wadî’aħ. Sementara perbuatan baik tidak pernah menimbulkan kewajiban menjamin, baik bagi pelakunya maupun orang yang menerima kebaikan itu. Dalam hal wadî’aħ, kalaupun terjadi pengurangan nilai objek selama berada di tangan muwadda’, itu sama artinya dengan pengurangan nilai selama objek itu di tangan pemilik aslinya. Itulah maksud sesungguhnya perkataan para fuqaha’ ”Tangan muwadda’ sama seperti tangan muwaddi’. Dalam hal itu tidak ada perbedaan antara kerusakan yang muncul oleh sebab yang bisa dihindari maupun yang tidak bisa. Kerusakan karena sebab pertama pada dasarnya juga tidak menimbulkan kewajiban menjamin, karena kersakan karena sebab itu disebut dengan ’aib dalam memelihara, sementara tuntutan harus terhindar dari ’aib tidak berlaku pada tindakan kebaikan (tabarru’), hal itu hanya berlaku pada akad pertukaran (mu’awadhah). Amânaħ Versus Dhamânaħ
Ulama sepakat mengatakan bahwa wadî’aħ adalah titipan yang diserahkan atas dasar amânaħ, bukan atas dasar jaminan (dhamânaħ). Kalau ia hilang atau rusak tanpa kesengajaan, muwadda’ tidak wajib menanggungnya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasululah SAW yang berasal dari kakek ’Umar bin Syu’ayb: ”Peminjam yang tidak berkhianat dan muwadda’ yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin”. (Hr. al-Bayhaqiy dan al-Daruquthniy). Dalam hadis lain, yang juga berasal dari kakek ’Umar bin Syu’ayb, Rasulullah bersabda: ”Orang yang ber-wadî’aħtidak berhak meminta jaminan”. (HR. Ibn Majah) Sebagai konsekwensi dari persamaan wadî’aħ dengan amânaħ, tidak boleh mensyaratkan dan memberikan jaminan terhadap objek wadî’aħ. Kalau untuk itu disyaratkan harus ada jaminan, banyak orang akan menolak menerima wadî’aħ.Penetapan syarat itu sendiri berarti mensyaratkan jaminan terhadap sesuatu yang tidak mempunyai sebab bagi adanya jaminan, sebagaimana menetapkan jaminan bagi barang yang ada di tangan pemiliknya. Karenanya, kalau tetap dipersyaratkan, syarat itu tidak berlaku mengikat sama sekali. Jaminan (al-dhamin atau al-dhamânaħ) sendiri pada awalnya berarti orang yang menderita penyakit parah di tubuhnya atau cacat dan sebagainya. Karenanya, ketika disebutkan ”seorang laki-laki menjamin sebuah jaminan”, hal itu berarti ia mengalami suatu cacat. Akan tetapi makna yang populer kemudian adalah kafala (jaminan atau tanggungan). Untukdhamânaħ sendiri juga ada dua istilah lain, yaitu himâlaħ dan kafâlaħ. Secara istilah, dhamin atau dhamânaħ diartikan dengan ”kemestian menunaikan kewajiban kepada orang lain atau menghadirkan orang atau barang yang ditanggung”. Untuk konteks wadî’aħ, jaminan itu dapat dipahami sebagai kewajiban untuk mengganti atau menghadirkan objek wadî’aħ. Secara umum, penyebab wajibnya jaminan ada dua, yaitu: Pertama, menyerahkan harta seseorang kepada orang lain tanpa seizinnya. Kedua, menguasai harta orang lain tanpa seizinnya. Termasuk dalam kategori menguasai harta orang lain, dan menjadi sebab bagi wajibnya jaminan atau penggantian, adalah memakai pakaian dan mengendarai hewan tanpa seizinnya. Khusus pada wadî’aħ, sifat amânaħ padanya bisa berubah menjadi dhamânaħ karena empat hal. Pertama, karena muwadda’ tidak memelihara objek akad sebagai mana mestinya. Kalau objek itu rusak, maka si muwadda’ wajib menggantinya. Kedua, si muwadda’ memanfaatkan benda itu. Sebab pemanfaatan benda itu berarti telah mengabaikan kepercayaan untuk memeliharanya. Misalnya, yang dititipkan itu adalah pakaian, lalu muwadda’ memakainya, maka ia berkewajiban menjaminnya. Pelanggaran atau penyelewengan seperti itu membuat muwadda’ keluar dari amânaħ. Dengan keluarnya ia dariamânaħ, ia wajib menjamin atau mengganti, dan status juga berubah menjadi sama seperti orang yang mengghasab. Oleh karena itu, tidak sah wadî’aħ yang disertai oleh syarat pembolehan menggunakan objek wadî’aħ itu. Karena syarat seperti itu adalah syarat yang bertentangan dengan hakikat wadî’aħ sebagai sebuah amanah. Kalau muwaddi’ menyaratkan atau muwadda’ menjanjikan jaminan ketika akad wadî’aħ dilakukan, maka syarat tersebut tidak sah sama sekali. Ketiga, keterlambatan dalam mengembalikan barang titipan. Dengan meminta batang titipan, berarti muwaddi’ telah mencabut kewenangan muwadda’ untuk memelihara barangnya. Sebaliknya, kalau muwadda’ mengembalikan barang itu, maka hal itu juga berarti ia telah mencabut kewenangannya sendiri untuk memelihara objek wadi’ah. Dengan dua tindakan itu, maka akad wadi’ah menjadi berakhir, dan kalau benda itu masih berada di tangan muwadda’, maka ia bertanggung jawab (menjamin) kalau benda itu rusak atau hilang. Keempat, pengrusakan atau penghilangan secara sengaja. Termasuk dalam kategori ini adalah pencampurkan secara sengaja benda wadi’ah oleh muwadda’ dengan hartanya sendiri. Kalau percampuran itu terjadi tanpa disengaja, wawadda’ tidak wajib menjaminnya.
Empat penyebab munculnya jaminan di atas merefleksikan satu hal, yaitu kewajiban mengganti itu muncul sebagai akibat dari hilangnya amanah. Kalau sejak awal akad muwaddi’ telah mewajibkan (mensyaratkan) jaminan untuk dirinya, berarti sejak awal ia tidak percaya kepada orang yang akan dipercayainya (muwadda; ’amîn). Kalau jaminan itu diwajibkan untuk muwadda’, berarti sejak awal ia telah mewajibkan muwadda’ untuk tidak amanah. Karena, seperti kata Ibn Qudamah, jaminan merupakan penyebab yang menafikan amânaħ. Amânaħ Hilang Wadî’aħ Batal
Satu hal penting yang perlu ditegaskan jaminan padawadî’aħ baru muncul setelah muwadda’ menyalahi kepercayaan yang diberikan kepadanya. Artinyja, kalau orang yang dipercaya pada wadî’aħ (muwadda’) bertindak menyalahi amânaħ, maka ia wajib menjamin dan mengganti. Ketika kewajiban mengganti telah muncul di ”tangan” muwadda’, maka ia tidak bisa lagi disebut sebagai orang yang dipercaya. Kalaupun ia mengakui setelah penyimpangan yang dilakukannya, kewajiban menjamin itu tetap tidak hilang. Akad itu sendiri menjadi batal dengan adanya penyimpangan dan tidak akan pernah bisa kembali lagi, kecuali dengan sebab yang baru. Al-Kasaniy menyebutkan sebuah kaidah yeng berbunyi: ”Suatu akad yang muncul dengan dasar yang jelas, pencabutannya dapat dilakukan dengan penyimpangan dari tujuan akad atau pencabutan dari para pihak”. Dalam kontekswadî’aħ, seperti juga telah disebutkan, akad yang telah dilakukan akan ”tercabut” dengan penyimpangan atau pengkhianatan yang dilakukan muwadda’. Kalau muwadda’ dari awal berniat akan berkhianat dengan melakukan penyimpangan atau memanfaatkan objek wadî’aħ, kemudian ia tidak melakukannya, ia tidak wajib menjamin, sama halnya dengan tidak berniat sama sekali. Sebabnya, karena tidak ada kejadian apapun terhadap objek tersebut, baik perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini, persoalan niat dalam tindakan terhadap objek sangat menentukan kewajiban menjamin atau tidaknya. Sesuai dengan sabda Rasulullah yang berasal dari Abi Hurayrah, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya merelakan bagi umatku sesuatu yang diniatkan hatinya selama ia tidak mengungkapkan dan tidak melakukannya”. (HR. Muslim dan al-Bayhaqiy). Akan tetapi, menurut Ibn Syurayh, ia tetap wajib menjamin, karena ia menerima wadî’aħ itu dengan niat khianat. Dalam hal terakhir ini, ia disamakan statusnya dengan penemu barang hilang yang berniat akan memiliki barang tersebut. Kalau muwadda’ tetap memanfaatkannya, maka ia wajib menanggungnya, karena melakukan tasharruf yang menafikan tujuan wadî’aħ menjadi penyebab wajibnya jaminan atau tanggungan. Kewajiban yang sama juga muncul kalau ia memelihara objek itu dengan cara yang tidak semestinya.Ketika wadî’aħ telah beralih menjadi jaminan di tangan muwadda’, maka akad wadî’aħ tidak berlaku mengikat lagi. Persoalan Ikutan Wadî’aħ yad al-dhamânaħ
Munculnya persoalan ikutan ini terutama jika dihubungkan dengan fungsi perantara (intermediation role) dan fungsi transformasi jangka waktu (maturity transformation) yang dimiliki oleh lembaga keuangan. Fungsi pertama menempatkan lembaga keuangan sebagai penyedia kemudahan aliran dana dari mereka yang kelebihan dana (saver atau lender) kepada mereka yang memerlukan atau kurang dana untuk memenuhi kepentingannya (borrower). Sedang fungsi kedua memberikan peluang bagi lembaga keuangan untuk mengubah suatu instrumen keuangan jangka pendek menjadi instrument jangka panjang. Misalnya, suatu bank mungkin menerima deposito jangka pendek (satu tahun atau kurang), tapi bisa memberikan kredit jangka panjang (5-10 th.). Ketika wadî’aħ yad al-dhamânaħ telah dilaksanakan oleh lembaga keuangan, sesuai dengan tujuan umum lembaga keuangan untuk mencari keuntungan, maka dana yang diperoleh tentu akan diinvestasikan ke dalam berbagai kegiatan. Sebelum menyerahkan kepada nasabah lain, hal pertama yang terjadi adalah pencampuran dana wadî’aħ dari semua nasabah penguna jasawadî’aħ yad al-dhamânaħ. Hal-hal seperti inilah yang dari awal-awal diantisipasi oleh ulama, berangkat dari ”penggalian” maksud syari’.
Pemanfaatan tersebut, boleh jadi, memang telah disebutkan (disyaratkan) kepada nasabah pada saat nasabah menyerahkan dana wadî’aħ-nya. Padahal penetapan syarat seperti ini adalah batal demi hukum, karena syarat itu bertentangan dengan hakikatwadî’aħ yang sesungguhnya. Sehubungan dengan itu ada sebuah kaidah yang mestinya diindahkan, yaitu: ”Setiap syarat harus sesuai dengan tujuan akad, dan tidak boleh bertentangan dengannya”. Dari kaidah ini, ulama juga merumuskan kaidah lain, yaitu: ”Semua syarat yang bertentangan dengan tujuan akad adalah fasid”. Kalau syarat tetap dibuat dan akad tetap dilangsungkan, hal itu sama artinya dengan ”penggagahan” hukum oleh badan hukum. Dalam bentuk lebih umum, ada sebuah kaidah yang menegaskan bahwa setiap pemanfaatan sesuatu yang didasarkan pada amanah merupakan suatu pelanggaran yang harus diberi sanksi. Sanksi yang ditetapkan adalah jaminan terhadap objek amanah tersebut. Pencampuran objek wadî’aħ sendiri, dalam pandangan ulama, juga salah satu pelanggaran amânaħ yang mewajibkan jaminan, kalau pencampuran itu memang betul-betul ”bercampur”, tidak ada perbedaan antara wadî’aħ dengan yang lain, baik sesama objek yang “diperoleh” dengan akad wadî’aħ atau dengan objek yang “diperoleh” dengan akad lain. Sebab, yang dituntut padaamânaħ adalah mengembalikan objek yang diserahkan di awal akad, sementara dengan terjadinya percampuran itu membuat objek itu tidak mungkin lagi dikembalikan kepada pemiliknya. Sebagai dana ”gratis” biasanya dana giro wadî’aħ yang diterima lembaga keuangan syariah juga akan diinvestasikan lagi. Bentuk investasi yang paling aman dan menguntungkan, seberapapun relatifnya, adalah dengan menitipkannya (me-wadî’aħ-kan lagi) kepada pihak lain, seperti kepada Bank Indonesia melalui Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Penitipan seperti ini (wadî’aħ parallel?), kalau bukan karena kebutuhan mendesak, termasuk tindakan yang dilarang. Karena dengan pilihan ”orang” yang dilakukan pemilik wadî’aħ, berarti ia ”meragukan” sifat amânaħ yang dimiliki orang lain, selain muwadda’-nya. Kalau muwadda’ tetap melakukannya, berarti ia telah melalaikan objek wadî’aħ. Dalam hal itu, salah satu dari pihak kedua dan ketiga wajib menjadi penjamin. Dengan munculnya jaminan, berarti akad wadî’aħ yang pertama telah batal sama sekali. Alternatif Akad Wadî’aħ yad al-dhamânaħ
Munculnya wadî’aħ yad al-dhamânaħ sebagai alternatif akad pada lembaga keuangan syariah besar kemungkinan didasarkan pada keinginan mengakomodasi konsep simpanan giro yang selama ini diaplikasikan pada lembaga keuangan, khususnya bank, konvensional dengan menghilangkan unsur bunganya. Di mana di antara kemudahan fasilitas simpanan giro adalah dapat ditarik tiap saat (lebih sekali dalam sehari), maupun pemindah-bukuan. Malah ia bisa ditarik walau saldo kurang dari jumlah penarikan (cek kosong), baik atas nama ataupun atas tunjuk. Bunga rendah yang ditawarkan bank konvensional pada simpanan giro diganti dengan fee atau bonus pada bank syariah.
Untuk tujuan itu sesungguhnya ada akad lain yang lebih sesuai, yaitu akad utang piutang (salaf atau qardh), seperti pilihan yang diambil oleh Zubayr bin al-’Awwam. Di mana dibandingkan dengan wadî’aħ, akad qardh (yang belakangan lebih populer dengan sebutan al-qard al-hasan) jauh lebih elastis dan lebih dapat “mengakomodasi” kemudahan-kemudahan yang ditawarkan simpanan giro pada bank konvensional, tentu saja tanpa bunga.
Beberapa karakteristik qardh yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengadopsi simpanan giro adalah objek qardh mencakup hal-hal yang sangat luas, selain dapat dilakukan terhadap mata uang, juga bisa dilakukan terhadap berbagai benda non-mata uang lainnya, seperti binatang dan bahan makanan. Pada qardh memang diberikan peluang untuk menetapkan syarat jaminan bagi penerimanya, baik berbentuk dhamânaħ (kafâlaħ) maupun rahn. Pihak pemberi qardh berpeluang untuk menarik utangnya kapanpun ia inginkan, meskipun ini bukan pendapat yang didasarkan atas kesepakatan. Satu syarat penting dan menentukan adalah pada qardh tidak ada peluang untuk mensyaratkan adanya kelebihan di awal akad. Akan tetapi kelebihan itu dibolehkan selama tidak diperjanjikan sebelumnya (semata inisiatif orang yang berutang). Malah berdasar hadis Nabi sebelumnya, hal itu dipandang lebih baik. Untuk itu, pihak yang mengutangkan juga tidak dilarang menerimanya. Penutup
Zubayr bin al-‘Awwam adalah penolong Nabi dan anak bibi beliau, Shafiyyah, dan salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia masuk Islam pada usia muda (ada yang mengatakan usia enam tahun, delapan tahun dan enam belas tahun). Ketika baru masuk Islam, ia dipaksa pamannya untuk kembali kafir dengan cara menggantung sambil mengasapinya, akan tetapi ia menolak dengan tegas tidak akan kafir selama-lamanya. Ia orang pertama yang menerima pedang dari Rasulullah untuk jihad di jalan Allah, serta termasuk salah satu dari anggota syura yang ditunjuk Umar. Banyak julukan yang “disematkan” kepadanya, yang menunjukkan kualitas keberagamaan dan kepribadiannya. Orang seperti inilah yang memilih salaf dari padadhamânaħ pada wadî’aħ. Pilihannya ternyata juga didukung oleh sahabat-sehabat besar lainnya, seperti Umar dan Ali. Lalu… kenapa wadî’aħ yad al-dhamanah lebih mendapat tempat dari pada qardh saat ini?
0 komentar:
Posting Komentar