SEKILAS TENTANG EKONOMI ISLAM
Dalam Islam, kegiatan ekonomi merupakan satu bagian dari mu’amalah, dengan kegiatan politik dan sosial sebagai bagian lainnya. Kegiatan ekonomi itu sendiri dapat diturunkan lagi menjadi pola konsumsi, simpanan dan investasi.[1]
Secara sederhana ekonomi Islam, seperti dikutip M. Dawam Raharjo dari Hasanuz Zaman, dapat didefinisikan[2] dengan “Pengetahuan dan aplikasi pedoman dan aturan-aturan syari’at yang mencegah ketidak-adilan dalam memperoleh dan memanfaatkan sumber-sumber material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban kepada Allah dan masyarakat”.[3]
Kegiatan ekonomi Islam tidak dikendalikan oleh hasrat dan pengalaman manusia saja, melainkan harus dituntun oleh syari’at. Artinya aspek normatifnya lebih menonjol daripada aspek positifnya, bahkan ia bersifat instrumental dalam menganalisis gejala-gejala perekonomian dan penentuan arah tindakan. Dalam memilih strategi yang sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial terdapat kebebasan dengan batas-batas tertentu.
Analisis ekonomi modern umumnya menyelidiki pola perilaku individu, perusahaan dan badan-badan umum dalam masyarakat kapitalis Barat. Walau analisis itu sahih dalam konteks masyarakat Barat, namun tidak semunya bersifat universal dan sahih untuk segala zaman. Karena masyarakat Muslim memiliki faktor-faktor budaya, politik dan tata sosial yang berbeda dengan masyrakat Barat.
Titik fokus ekonomi Islam adalah menyelidiki moda pemanfaatan sumber (faktor produksi) untuk mengantarkan manusia pada kesejahteraan material dan spiritual, yang dalam 40 tempat disebutkan al-Qur’an sebagai falah. Agar kondisi falah dapat dicapai, kebijakan ekonomi harus didasarkan pada syari’at dalam. Titik tolak pendekatan Islam bukanlah “kelangkaan”, tapi justru “kecukupan”. Apabila terjadi kelangkaan, tentu ada yang salah (buatan manusia), dan karenanya harus dipulihkan, misalnya dengan memperluas basis produktif, memparbaiki teknik produksi, redistribusi sumber-sumber, mengurangi penyalahgunaan untuk hal yang kurang esensial.[4] Ekonomi Islam sendiri dapat diibaratkan sebagai satu banguanan yang terdiri atas landasan, tiang dan atap. [5]
A. Landasan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dilandasi oleh 5 komponen: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad (return).
1. Tauhid
Tauhid[6] akan menghindarkan manusia dari sikap megalomania, merasa paling hebat, sikap mengutamakan uang. Setidaknya ada empat perbedaan hasilnya dengan formula ekonomi klasik:[7]
Pertama, karakter ‘manusia ekonomi’ berubah sama sekali. Perilaku memaksimumkan kegunaan akan bergantung kepada dua batasan khusus; (1) kendala kelaikan umum, dalam hal ini apakah satu komoditi dapat dihasilkan, dan (2) kendala kehalalan (khas Islam), yang menganggap ‘buruk’ komoditi yang mempunyai nilai konsumsi nol secara Islami. Hal itu menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk melakukan ‘pemanfaatan secara bebas’, yang dikenal dalam ekonomi klasik. Dengan demikian, definisi ‘komoditi’ ekonomi Islam akan berbada sama sekali dengan yang dikemukakan oleh ekonomi klasik.
Kedua, bahkan dalam kesempitan sub-ruang komoditi ini, gairah individu untuk mengkonsumsi komoditi-komoditi tidak akan sepenuhnya merasa ‘tidak bisa dipuasi’. Hal itu disebabkan adanya larangan berlebih-lebihan dalam perilaku konsumsi (QS. 7: 31 ). Hal ini selanjutnya akan memberikan perbedaan dalam ‘memaksimumkan kegunaan’ dalam sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi klasik. Hal lain dalam ekonomi Islam, perilaku memaksimumkan laba dibatasi sekedar wadah konsumsi seperti itu.
Ketiga, dalam persoalan harga (pemilikan sumber penghasilan)[8] dalam Islam sangat memperhatikan kesetimbangan kompetitif,[9] di mana tidak ada tempat bagi perilaku monopoli. Fungsi kesejahteraan sosial akan menemukan, dalam lokus efisiensi, suatu hal yang konsisten dengan norma etis Islam.
Keempat, melalui penggabungan ekonomi dengan etika, ‘Manusia Ekonomi’ harus mempertimbangkan perilaku konsumsi dan produksi orang lain; ia tidak bisa “egois” dalam konsumsi dan tidak dapat dengan bebas menduplikasi produksi orang lain. Karena manusia ekonomi dalam Islam me-rupakan kesatuan individu dan kolektif. Prinsip etika Islam tidak hanya mem-berikan pilihan bagi salah satunya, melainkan juga sekaligus untuk keduanya.
2. Adil
Dengan menyadari keterbatasan manusia --- kaya bisa jadi miskin dan sebaliknya; yang lemah bisa jadi berkuasa dan sebaliknya, maka sikap adil. terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala hal merupakan suatu keharusan. Makna adil bukanlah sama rata sama rasa, melainkan tidak berbuat zalim.
Menurut Syed Muhammad al-Naquib al-Attas keadilan adalah “Suatu kondisi atau keadaan yang harmonis di mana setiap sesuatu berada pada tem-patnya yang benar dan tepat ---seperti kosmos; atau secara sama, seperti suatu ekuilibrium, baik di antara benda-benda maupun di antara makhluk hidup”.[10]
Dalam kaitannya dengan manusia, keadilan itu pada dasarnya berarti suatu kondisi dan situasi di mana ia berada pada tempat yang benar dan tepat. Konsep keadilan[11] dalam Islam tak hanya menunjukkan hubungan yang harmonis dan ekuilibrium antara seseorang dengan lainnya, masyarakat dengan negara, pemerintah dengan rakyat. Tapi konsep ini lebih mencakup dan lebih mendasar, hingga secara primer konsep ini menunjukkan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan dirinya sendiri, dan secara sekunder menunjukkan hubungan antara manusia dengan manusia lain, orang-orang sebangsanya, pemerintahnya, dan negaranya. Malahan keadilan sesungguhnya bermula dan berakhir dalam diri manusia itu sendiri.[12]
3. Nubuwwah
Kadang nilai tauhid dan adil sulit diterjemahkan secara operasional, apalagi dalam praktek ekonomi yang terus berkembang. Karenanya ada yang menilai ekonomi Islam sebagai suatu utopis, yang akan berjalan bila ‘semua orang menjadi malaikat’. Untuk itu, konsep nubuwwah jadi jawaban bahwa ia adalah untuk dan dijalankan oleh manusia. Rasulullah menjadi uswah dalam melakukan kegiatan ekonomi yang membawa falah di dunia-akhirat. Konsep ini ternyata juga sukses ketika dijalankan oleh mereka yang bukan nabi.
4. Khilafah
Walau konsep ini dapat dijalankan oleh individu-individu, tapi ia baru bisa jadi kekuatan ekonomi bila dijalankan secara berjamaah, atau (istilah ekonominya) kekuatan: ekonomi mikro menjadi dasar bagi kekuatan ekonomi makro. Perlunya kepemimpinan ekonomi adalah untuk menciptakan kondisi makroekonomi yang kondusif bagi berkembangnya mikroekonomi.
5. Ma’ad (return)
Ekonomi yang kuat dilandasi oleh motivasi dari pelakunya. Itu sebabnya, ekonomi Islam tidak menafikan upaya mencari laba dalam tiap aktifitasnya. Imam Ghazali secara eksplisit mengatakan motivasi pedagang adalah mencari untung. Namun keuntungan yang dimaksud tidak semata untung di dunia, tetapi juga di akhirat. Salah satu implikasinya adalah sedekah tidak akan merugikan pemberinya, bahkan akan memberi manfaat nyata di dunia ---perputaran uang tambah cepat, GDP meningkat--- dan di akhirat.
Motivasi utama dalam bekerja menurut Islam adalah mencari karunia Allah dalam melaksanakan hak yang merupakan fitrah melalui usaha yang dibolehkan syari’at. Hal itu harus memudahkan lapangan kerja dan jasa bagi semua manusia demi ksejahteraan umat dalam berbagai lapangan.[13] Dorongan Islam untuk melakukan usaha yang halal, misalnya hadis Rasul:
عن زبير بن العوام رضي الله عنه عن النبي ص.م قال لأن يأخذ أحدكم حبله فيأتي بحزمة الحطب على ظهره فيبيعها فيكف الله بها وجهه خير له من أن يسأل الناس أعطوه أو منعوه (رواه البخاري)[14]
Dari Zubayr bin al-'Awwam ra., dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu menyiapkan talinya, lalu datang membawa segulungan kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya, sehingga ia dapat menahan wajahnya, adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada semua orang, baik mereka beri atau tolak” (HR. al-Bukhari).
Lebih lanjut Nabi menegaskan bahwa fitrah mencari harta yang halal sama halnya dengan fitrah keingintahuan. Beliau bersabda:
عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: منهومان لا يسبغان طلب علم وطلب مال (رواه الطبراني)
Dari Ibn Mas’ud, Rasulullah bersabda: “Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta”. (HR. Thabrani)[15]
Walau mencari harta adalah keharusan fitri, namun manusia tidak bebas begitu saja berusaha dan memanfaatkan kekayaannya. Sebab akan menimbulkan gejolak, kekacauan, kerusakan dan nestapa. Hal itu berangkat dari berbedanya tingkat kemampuan dan keutuhan manusia akan pemuasan keinginan tersebut. Kalau bebas begitu saja, tentu orang-orang kuat akan memonopolinya, dan yang lemah (sakit dan cacat) haram mendapatkannya. Di sinilah peranan penting aturan kepemilikan, yaitu untuk menjamin terpenuhi-nya kebutuhan primer, sekunder dan tersier semua orang.
B. Tiang Ekonomi Islam
Tiang perekonomian Islam ada tiga, yaitu:
1. Tiang pertama, pengakuan akan multiownership.
Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikikan bersama (syirkah) dan kepemilikan negara. hal ini berbeda dengan konsep kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi atau konsep sosialis klasik yang hanya mengakui kepemilikan bersama oleh negara.[16]
Hak milik[17] dalam ekonomi Islam tidak bersifat mutlak, baik hak milik khusus maupun hak milik umum. Ia diikat oleh kepentingan orang banyak dan pencegahan bahaya.[18] Hal ini membuat hak milik memiliki tugas sosial. Semua itu kembali pada dasar kepemilikan harta dalam Islam, yaitu milik Allah SWT. Surat al-Ma`idah ayat 17 menyebutkan hal ini:[19]
… ولله ملك السموات والأرض وما بينهما … (المائدة: 17)
“Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan di antara keduanya”.
Karena segalanya milik Allah,[20] maka hakekatnya manusia bukanlah pemilik sesungguhnya dari apa pun yang diklaimnya sebagai dimilikinya. Ia hanya diberi amanah dan ujian dari Allah. Artinya, manusia adalah wakil (khalifah) Allah dalam mempergunakan dan mengatur semua milik-Nya demi kebaikan seluruh masyarakat, seperti dipahami dari surat al-Hadid: 7[21]
آمنوا بالله ورسوله وأنفقوا مما جعلكم مستخلفين فيه …(الحديد: 7)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”.
Selanjutnya, manusia wajib merasa terikat dengan aturan-aturan Allah. Selama manusia patuh pada-Nya, hak khilafah tetap di tangannya; kalau tidak, ia diganti dengan yang lebih baik. Allah menegaskan:[22]
هاأنتم هؤلاء تدعون لتنفقوا في سبيل الله فمنكم من يبخل ومن يبخل فإنما يبخل عن نفسه والله الغني وأنتم الفقراء وإن تتولوا يستبدل قوما غيركم ثم لا يكونوا أمثالكم (محمد: 38)
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanya kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya sedangkan kamu-lah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”.
Untuk pembatasan kepemilikan, dilakukan dengan menggunakan mekanisme tertentu, diantaranya dengan kriteria berikut:
a. Membatasi cara-cara memperoleh dan pengembangannya, yaitu dengan bekerja, waris, dan yang diperoleh tanpa kompensasi.[23]
b. Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.[24]
c. Dengan menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan hak milik individu.[25]
d. Dengan menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
e. Dengan men-supply orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi, hingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan.[26]
2. Tiang kedua, kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari’ah (kebebasan yang terikat)
Kebebasan seperti ini dalam bahasa fikihnya dirumuskan dengan al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah. Ekonomi adalah persoalan manusia dan selalu berkembang, karenanya selalu diperlukan pemikiran baru. Merujuk pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya tentu sangat bermanfaat, namun ijtihad di bidang ekonomi tentu diperlukan. Sesuai sabda Rasulullah: “Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Ekonomi Islam tidak membatasi individu dalam mengembangkan modalnya (melakukan produksi),[27] Seseorang bebas memilih pekerjaan yang disukainya, tanpa harus mengikuti garisan pemerintah, hingga merendahkan derajat manusia tidak lebih dari hamba (budak negara). Namun, bukan berarti satu individu memiliki kebebasan mutlak dalam tiap aktivitas ekonominya.[28]
Kebebasan ekonomi,[29] dalam pandangan Islam, dibatasi selama tidak bertentangan dengan landasan mendasar yang telah ditetapkan syari’at dan dapat menjamin hak negara dalam mengawasi kegiatan ekonomi dan mengatur atau melaksanakan kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu, seperti melakukan eksploitasi terhadap tambang yang butuh modal besar atau mengelola barang yang menjadi kebutuhan orang banyak.[30]
3. Tiang ketiga adalah social justice.
Konsep social justice dalam Islam berbeda dengan konsep charity atau donasi dalam ekonomi konvensional.[31] Dalam Islam diyakini bahwa rezeki seseorang yang halal ada hak orang lain. Ia dikeluarkan bukan karena kebaikannya untuk berdonasi, namun karena bukan haknya, ia adalah hak si penerima. Yang jadi instrumen utamanya adalah zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah dan bentuk-bentuk sejenisnya. Apakah ini adil? Tentu saja, karena ia mustahil melakukan kegiatan ekonomi tanpa melibatkan orang lain.
Keseimbangan ekonomi merupakan tujuan sistem ekonomi Islam, yang tercermin dari mekanisme yang ditetapkannya, dan tidak menjadikan pembusukan-pembusukan pada sektor-sektor perekonomian tertentu dengan tidak adanya optimalisasi untuk menggerakan seluruh potensi dan elemen yang ada dalam skala makro. Perangkat penyeimbang tersebut berupa[32] diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, hingga mendorong pemilik harta untuk menginvestasikan hartanya, di saat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang di investasikan.[33] Iklim investasi tersebut didukung oleh:
a. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) mengggantikan pranata bunga.[34]
b. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara. Hingga pencetakan uang tidak dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil. Hal ini dapat menekan timbulnya Inflasi.[35]
c. Keadilan dalam disribusi pendapatan dan harta melalui zakat.[36]
d. Intervensi negara dalam roda perekonomian.[37]
Konsep social justice memberikian dua keuntungan sosial-ekonomis, yaitu mengurangi perbedaan kelas dan memelihara ketertiban umum negara. Orang yang berzakat (the have) terpelihara (bersih) dari sifat kikir dan terbiasa berkorban dan membantu saudaranya yang tidak mampu. Sementara penerima zakat (the have not) terpelihara (bersih) dari sifat dendam dan hasud (dengki), serta selamatk dari berbagai guncangan psikologis dan ekonomis.[38]
C. Atap Ekonomi Islam
Atap ekonomi Islam terdiri dari akhlak atau etika ekonomi. Di antara etika ekonomi (berekonomi; bisnis) dalam Islam adalah:
Pertama, selalu menyampaikan yang benar (Ali Imran: 95; al-Hijr: 64; Maryam: 54; al-Taubah: 119; al-Ahzab: 73). Rasul pernah ditanya: “Dapatkah seorang mukmin kikir dalam membelanjakan hartanya?” Beliau menjawab: “Dapat”. “Dapatkah seorang mukmin menjadi orang penakut?” Beliau menjawab: “Dapat”. “Dapatkah seorang mukmin menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak”.
Kedua dapat dipercaya (al-Nisa`: 58; al-Anfal: 27; al-Baqarah: 283; al-Takwir: 19-21). Krisis (khususnya krisis perbankan) tidak akan menjadi sangat parah kalau masyarakat tidak dihinggapi krisis kepercayaan kepada para pelaku ekonomi (bankir).
Ketiga mengerjakan sesuatu dengan ikhlas (al-Bayyinah: 5; al-Ma’un: 4-7). Rasul bersabda: “Setiap amalan bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena dunia atau ingin menikahi seorang wanita, hijrahnya menurut apa yang diniatkannya”.
Keempat persaudaraan (ukhuwah).[39] Kewajiban ganda umat beriman adalah selalu menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan. Hal itu diungkapkan dalam surat al-Hujurat ayat 10:
إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا الله لعلكم ترحمون
“Sesungguhnya orang-orang mu'min bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”.
Kelima penguasaan ilmu pengetahuan. [40] Tuntutan adanya penguasaan ilmu pengetahuan tidak hanya dialami sekarang, tapi merupakan tuntutan tiap zaman, seperti permintaan putri Nabi Syu’aib kepada ayahnya untuk mempekerjakan Nabi Musa[41] dan permintaan Nabi Yusuf[42] untuk jadi bendaharawan negara, karena mereka memiliki potensi untuk lapangan itu.
Mukhamad Najib, tenaga pengajar STEI Tazkia, menambahkan perlunya kontrak sosial (persetujuan masyarakat) ketika suatu bisnis akan beroperasi. Karena sekadar prinsip efisiensi dan efektifitas saja tidak memadai lagi. Kontrak sosial hakikatnya merupakan janji yang harus ditepati (QS.23:8). Dalam pandangan Islam, bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen secara tulus untuk menjaga kontrak sosial yang sudah ditetapkan. [43]
Dengan demikian adalah mustahil untuk mengatakan bahwa (ilmu) ekonomi Islam adalah cabang ilmu yang bebas nilai. Karena dalam berbagai hal ada aturan yang harus dipenuhi, misalnya kegiatan membuat, menjual dan meminum alkohol dapat merupakan aktivitas ekonomi yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal itu tidak mungkin terjadi di negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam.
Anwar Nasution, Wakil ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), menyebutkan 11 karakteristik ekonomi Islam. [44] Pertama, harta adalah milik Allah dan manusia adalah khalifah dalam mengelola harta. Kedua, ekonomi terikat dengan akidah, syariah dan moral (etika). Artinya akktivitas ekonomi adalah ibadah. Ketiga, keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan.[45] Keempat, kadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan ekonomi pribadi dan masyarakat. Kelima, etika konsumsi dalam Islam. Keenam, cara memenuhi kebutuhan. Ketujuh, petunjuk investasi (pengembangan kekayaan). Hendaklah investasi terhadap proyek yang baik, memberantas kefakiran, melindungi anggota masyarakat. Kedelapan, kelangkaan sumber alam bukan masalah ekonomi yang signifikan. Kesembilan, kerja. Kesepuluh, zakat. Dan kesebelas, larangan riba (termasuk bunga bank).
[1] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2000), h. 3-4
[2] Ada dua pendekatan dalam merumuskan pengertian ekonomi Islam; pertama: menilai pengertian ekonomi modern dengan ajaran Islam (ilmu ekonomi dalam sorotan prinsip-prinsip Islam), dengan mengandaikan definisi tersebut diterima secara universal. Kedua, dengan mengambil definisi paling mutakhir dan paling sedikit dikritik, kemudian dinilai dengan ajaran Islam, namun cara ini mendapat kritikan dari mereka yang tidak setuju dengan definisi asalnya, serta meninbulkan persoalan penyesuaian konsep-konsep yang kurang cocok dengan ajaran Islam. M. Dawam Raharjo, Perspektif Deklarasi Makkah, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-4, h. 59-60 (selanjutnya disebut Dawam)
[3] Definisi ini mengarahkan perkembangan ekonomi Islam pada aplikasi alat-alat dan model-model analisis ilmu ekonomi konvensional (di bawah pengaruh ajaran Islam), khususnya yang berdasarkan asumsi ekonomi pasar, seperti perintah zakat atau larangan riba, teori fungsi atau perilaku konsumsi masyarakat, kebijakansanaan fiskal dan moneter yang dikaitkan dengan pelaksanaan zakat, sistem kredit dan investasi sehubungan dengan larangan riba, pengertian laba, upah dan harga, hingga pembahasan tentang pembangunan ekonomi, peranan negara atau distribusi pendapatan. Umumnya, pengembangan teori-teori ekonomi mikro dan makro itu dilakukan dengan pendekatan ekonometri. Ibid., h. 60-61. Bandingkan dengan definisi ekonomi menurut PA. Samuelson dalam Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), Edisi ketiga, cet. Ke-17, h. 9-10
[4] Dawam, op.cit., h. 61-62
[5] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 176-177 dan 166. Ahmad Muhammad al-Asad dan Fathi Ahmad Abdul Karim membaginya jadi dua bagian, yaitu (1) mazhab ekonomi yang bermakna sekumpulan dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan al-Sunah. Prinsip ini tidak berubah dan sesuai untuk setiap tempat san setiap saat, tanpa dipengaruhi oleh tingkat kemajuan ekonomi masyarakat, dan (2) bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masanya. Ia selalu berubah, karena ia merupakan cara-cara penyesuaian atau pemecahan terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat untuk melaksanakan mazhab ekonomi. Ahmad Muhammad al-Asad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Judul Asli: al-Nizam al-Iqtishad fi al-Islam; Mabadi`uh wa Dhafuhu, Penerjemah: Imam Saefuddin, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h 17-20 (selanjutnya disebut sistem). Menurut Muhammad Abdullah al-Arabi keistimewaan ekonomi Islam terletak pada unsur fleksibelitasnya. Di mana satu sisi bersifat tetap (prinsip), namun pada sisi lain dapat berubah-ubah (tehnis) yang keduanya merupakan bagian dari sistem yang menyeluruh (kâffah), untuk merealisasikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Iskandar Mirza, Sejarah dan Aktualisasi Ekonomi Syariah, Darut Tauhid, Rabu, 31 Oktober 2002 (selanjutnya disebut Iskandar)
[6] Ia merupakan konsep serba ekslusif dan inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan Khalik dengan makhluk dan menghendaki penyerahan tanpa syarat oleh semua makhluk kepada kehendak-Nya (QS. 12: 40 ). Mengenai eksistensi manusia, konsep ini memberikan prinsip perpaduan yang kuat, sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada-Nya (QS. 6: 162). Manusia tidak hanya dipersatukan dalam pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga dalam pengetahauan tentang sesamanya. Di mana kedua modus pengetahuan itu merupakan tahap usaha-usaha yang lazim ke arah kebenaran akhir. Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, Judul Asli: Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, Penerjemah: Husin Anis dan Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1985), h. 78-79 (selanjutnya disebut Haider)
[7] Ibid., h. 96-99
[8] Perekonomian persaingan memiliki dua ciri khas dalam persoalan harga, yaitu (1) harga ditetapkan secara parametrik, dan (2) dibuat asumsi tertentu sehubungan dengan pemilikan sumber penghasilan dan cara pengorganisasian produksi. Ibid., h. 98
[9] Islam tidak hanya memperhatikan kesetimbangan material. Ia juga memberikan perhatian yang besar terhadap kesetimbangan harga-diri antara si-Kaya dan si-Miskin. Kaum hartawan tidak diperkenankan mempertukarkan uangnya dengan harga-diri kaum miskin melalui menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima sedekah (QS. 2: 264). Ibid., h. 99
[10] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan Moralitas, Dalam: Altaf Gauhar (ed.), Tantangan Islam, Judul Asli: The Challenge of Islam, Penerjemah: Anas Mahyuddin, (Banrung: Pustaka, 1982), h. 55 (selanjutnya disebut Altaf). Menurut Murtadha Muthahhari kata adil dapat digunakan untuk empat hal: pertama, adil adalah keadaan yang seimbang (proporsional; antonimnya: “ketidakproporsionalan”, bukan “kezaliman”). Kedua, memelihara persamaan (musâwah) ketika hak untuk memilikinya sama (persamaan jadi wajib dan harus) dan menafikan pembedaan apapun.. Ketiga, memelihara hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kezaliman dalam pengertian ini adalah perusakan dan pelanggaran hak-hak orang lain. Keempat, memelihara (hak) berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi; Asas Pandangan-Dunia Isalm, Judul Asli: al-‘Adl al-Ilahiy, Penerjemah: Agus Efendi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 54-61
[11] Keadilan Tuhan, menurut pandangan ini, berarti bahwa suatu yang eksis (mawjud) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhinya. Keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya yang mengandung konsekuensi bahwa rahmat-Nya tidak ditahan untuk diraih oleh sesuatu yang mawjud dan sejauh ia dapat meraihnya. Ibid., 58
[12] Altaf, op.cit., h. 55-56. Konsep ini memberikan konsekwensi mendasar pada tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu untuk menciptakan manusia yang baik di dalam diri si penuntut pengetahuan. Bukan seperti tujuan pendidikan dalam masyarakat materialistik, yaitu menciptakan warga negara yang baik di dalam diri si penuntut pengetahuan, Ibid., h. 64
[14] CD. Hadits Kutb al-Tis’ah, hadis No. 1378. Hadis senada juga terdapat pada hadis No. 1386. Ibn Majjah No. 1826. Ahmad No. 1333, 1354, 7177, 8771, 9053, dan 10033.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-2, h. 447 (selanjutnya disebut Quraish)
[16] Ekonomi kapitalis, dengan falsafah individualisme, berpendapat individu bebas memiliki, membelanjakan dan mengeksploitasi apa saja, baik barang produktif maupun konsumtif. Hak milik individu dipandang suci dan jadi cita-cita politik-ekonomi. Sistem sosialisme, dengan falasafah kolektivisme, melandaskan pada kepemilikan negara atas alat-alat produksi. Kepemilikan Individu tidak diakui, kecuali hal-hal yang berlainan dengan dasar umum itu dan dengan syarat terpeliharanya kepentingan orang banyak. Kedua sistem selalu menghadapi kesulitan dalam mengatasi ekses negatif pengakuan berlebihan terhadap hak milik tersebut. Ibid., h. 40-41
[17] Hak milik adalah izin al-Syari’ untuk memanfaatkan zat tertentu. Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Judul Asli: al-Nizam al-Iqtishad fi al-Islam, Penerjemah: Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), cet. Ke-5, h. 68 dan 67 (selanjutnya disebut Taqiyuddin). Kepemilikan (kepenguasaan) ini direfleksikan dalam kekuasaan dan izin untuk menggunakannya menurut kehendak pemiliknya dan tidak ada orang lain, baik individu maupun lembaga, yang dapat menghalanginya. Ikhwan Abidin Basri, Kepemilikan Dalam Islam, Tazkia Online, Rabu, 22 November 2000 (selanjutnya disebut Ikhwan
[18] Taqiyuddin membagi tiga kepemilikan, yaitu: Pertama, kepemilikan individu (private property) merupakan hukum syara’ terhadap zat atau kegunaan tertentu, yang mungkin untuk dimanfaatkan. Kedua, kepemilikan umum (collective property) merupakan izin al-Syari’ kepada satu komunitas untuk memanfaatkan benda, seperti sumber daya alam, yang mustahil dimiliki secara perorangan. Ketiga, kepemilikan negara (state property) adalah harta yang menjadi hak seluruh kaum Muslimin yang pengelolaannya jadi wewenang khalifah (pandangan dan ijtihad khalifah), seperti harta fay’, kharaj, jizyah dan sebagainya. Selain itu, syara’ sendiri juga tidak menentukan objek khusus yang akan diberi harta tersebut. Karena inilah zakat tidak termasuk dalam kelompok state property (Baitulmal hanya jadi tempat penampungan). Taqiyuddin, op.cit., h. 65-246. Dalam versi lain, Ikhwan membaginya, berdasar pembagian fuqaha`, menjadi dua, yaitu kepemilikan sempurna (tâm) dan kepemilikan kurang (nâqis). Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedang kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki salah satunya saja. Ikhwan, loc.cit.
[19] Hal senada juga dapat terdapat dalam QS. Al-Ma`idah: 120, Tha Ha: 6 dan al-Nur: 33
[20] Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat. Ia mengacu pada kenyataan bahwa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukan milik yang sebenarnya (genuine, real) sebab pemilik segala sesuatu hanyalah Allah SWT, Ikhwan, loc.cit.
[21] Selain itu, juga terdapat keterangan lain dalam surat al-Baqarah: 30
[22] Contoh penggantian ini diperlihatkan Allah terhadap Qarun (QS. Al-Qashash: 77-81)
[23] Taqiyuddin, op.cit., h. 71-126. Menurut Ikhwan ada empat faktor penyebab terjadinya kepemilikan: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, (2) akad, (3) penggantian, dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki. Ikhwan, loc.cit.
[24] Izin al-Syari’ dalam kepemilikan adalah untuk mengelola dan memanfaatkan harta. Karenanya si pemilik terikat dengan hukum-hukum syara’ dalam mengelola dan memanfaatkan-nya. Taqiyuddin, op.cit., h. 127-128 dan h. 199-214
[25] Pemberian itu berasal dari harta Baitulmal guna memenuhi hajat hidup atau melunasi hutang. Untuk memanfaatkan pemilikan, seperti kebutuhan komunitas, dapat dilakukan dengan mengambil hak individu atau harta yang tidak dimanfaatkan. Ibid., h. 120-121
[26] Termasuk kepemilikan tanpa kompensasi harta atau tenaga, yang disebabkan oleh: (1) hubungan pribadi, seperti hibah, hadiah, atau wasiat, (2) kompensasi dari kemudaratan yang diderita seseorang, seperti diyat hudud, (3) akad nikah, seperti mahar, (4) barang temuan yang telah diumumkan dalam batas waktu yang ditentukan, dan (5) santunan yang diberikan kepada pemerintah dan orang-orang yang disamakan statusnya sebagai kompensasi dari pengekangan diri mereka dari aktifitas lain dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Ibid., h. 126 dan 215-235
[27] Sistem ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan sistem pemerintahan, politik, hukum, dan sub-subsistem lainnya. Sistem demokrasi ternyata membawa petaka bagi sebahagian orang, khususnya bagi si gembel, dunia ketiga, dan rakyat banyak. Demokrasi (khususnya di Amerika) menimbulkan kelas elit yang menentukan segala sub-sistem lainnya dan kebijakan pemerintahan. Akibatnya kelas elit semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Hal itu disebabkan “Orang kaya menggunakan uangnya untuk memperoleh kekuasaan (politik) dan menarik keuntungan dari kekuasaan politik melalui upaya mengarahkan kebijakan pemerintah (penyogokan halus), seperti kebijakan pajak, bisnis, spekulasi di pasar modal. Di Amerika, pendapatan keluarga awam tahun 1980-an dan 1990-an tetap merata, tetapi orang kaya teratas naik dari 256.000 dolar AS menjadi 644.000 dolar AS (lebih 155%). Bahkan perbandingan gaji terendah dan tertinggi dalam 20 tahun terakhir menurut Business Week naik dari 1: 24 menjadi 1: 411. Di saat yang sama, Dana Jaminan Sosial/Kesehatan mengalami defisit karena krisis Pasar Modal. Aspek negatif demokrasi terhadap rakyat kecil di negara berkembang, seperti Indonesia , jauh lebih parah. Sofyan S Harahap, Aspek Negatif Demokrasi dan Peluang Ekonomi Syariah, Tazkia Online, Senin, 7 Oktober 2002
[28] Dua sistem ini muncul dari sejarah yang berkaitan. Ekonomi kapitalis muncul sebagai reaksi dari kungkungan gereja di Eropa terhadap kebebasan berfikir, kehidupan dan mengeluarkan pendapat, yang menghasilkan masa kebangkitan (renaisance) dan menyisihkan gereja dari peranan pengarah utama, membuahkan berbagai revolusi besar. Dalam lapangan ekonomi, gerakan itu memberikan kebebasan penuh terhadap individu. Berikutnya timbullah, dan diakui, monopoli terhadap faktor produksi, naiknya taraf hidup sebagian masyarakat, timbulnya krisis 7 atau 10 tahunan, kekhawatiran terhadap hasil produksi, dan memunculkan dua kelas (buruh dan pemilik modal) yang saling bertentangan. Kaum buruh tidak mendapat perhatian kesejahteraan dan kesehatan di dalam atau di luar pabrik. Sementara pemilik modal bebas mengeksploitasi (tambahan jumlah yang besar) dengan memperkecil upah mereka. Menghadapi itu, kaum buruh menuntut dibentuknya undang-undnag perlindungan buruh, menghapuskan kelaliman dan eksploitasi. Mereka membentuk persatuan-persatuan yang mencita-citakan perbaikan nasib kaum buruh dan dihapuskannya kesewenang-wenangan kaum pemilik modal, yang juga mengantarkan terjadinya berbagai revolusi (revolusi Bolsevik di Rusia). Mereka menginginkan adanya perubahan total terhadap sistem kapitalisme menjadi sistem sosialisme (kolektivisme), hingga tidak ada lagi kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas buruh (ploretariat). Taqiyuddin, op.cit., h. 74-80
[29] Dalam kapitalisme pemerintah tidak cukup kuat untuk mengatasi ketimpangan pendapatan. Pemberian hak kekayaan kepada individu membuatnya semakin rakus. Kapitalisme ternyata tidak memiliki perhatian menyelamatkan kemiskinan. Kepentingan mereka hanya return maksimal sesuai dengan paradigma rational economics yang merugikan sebahagian besar rakyat. Sistem kapitalis, yang mengutamakan "uang" selaku subjek dan objek pembangunan ekonomi, melahirkan orang kaya yang semakin kaya, energinya diarahkan untuk kepentingan pemilik uang dan akhirnya, dalam jangka panjang, melupakan si miskin. Akibatnya, meningkatkan konsentrasi kekayaan di segelintir orang, menimbulkan sistem perbankan yang labil dan demam spekulasi di pasar modal yang akhirnya menimbulkan crash dan membawa depresi dan secara domino menimbulkan depresi global. Awal pembagian kekayaan yang tidak adil dimulai dari penaklukan yang dilakukan Barat sewaktu menjajah koloni masa lalu. Sofyan S Harahap, Loc.cit.
[30] Ketentuan syara’ yang membatasi kegiatan ekonomi, seperti terlihat dalam rumusan fiqh di atas, adalah hal-hal yang dilarang dan itu merupakan hal-hal yang menyimpang dari jalan fitrah yang sehat, di antaranya adalah praktek riba, sogok, penipuan, penyalahgunaan pengaruh atau wewenang, merampas tanpa hak, monopoli, maupun menggunakan kesempatan dari kondisi mereka yang berada dalam keadaan dan posisi yang lemah. Sementara keterlibatan negara diperlukan sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi. Ketika kegiatan ekonomi berjalan lancar, maka negara memperkecil pengaruhnya sampai tingkat minimal, tapi ketika kondisi ekonomi menghendaki perubahan yang tidak bisa dilakukan selain oleh negara, seperti stabilisasi pengadaan kebutuhan pokok, penghapusan monopoli dan pemerataan distribusi kekayaan, maka negara dituntut untuk melakukan intervensi. Taqiyuddin, op.cit., h. 80-102
[31] Adiwarman A. Karim mengutip dari beberapa sumber (The Encyclopedia of Religion and Ethics, Encyclopaedia Jaudaica, dan The New Catholic Encylopaedia) menjelaskan dalam ajaran Hindu, khususnya Dharmasastra dan Puranas, juga ada konsep seperti zakat yang disebut datria datriun dan danapatra (mustahik). Dalam ajaran Budha, konsep sejenis dikategorikan sebagai etika atau sutta nipata. Dalam ajaran konfusian dikenal pembayaran sampai dua persepuluh kepada raja, walau sempat diprotes Yeh Jo karena biasanya hanya sepersepuluh. Dalam ajaran Yahudi dikenal istilah ma’sartu (Syro-Palestina) atau ma’ser (Hebrew) yang dibayar kepada rumah ibadat atau kepada raja untuk gaji pegawainya. Dalam ajaran Kristiani, tithe atau “zakat” sepersepuluh didefinisikan sebagai “bagian dari pendapatan seseorang yang ditentukan oleh hukum untuk dibayar kepada gereja bagi pemeliharaan kelembagaan, dukungan untuk pendeta, promosi kegiatannya, dan membantu orang miskin”. Walau demikian, semua konsep itu tidak ada yang membandingi konsep zakat, baik dalam kejelasan, kerincian dan keterjagaannya dalam pelaksanaan. Penjelasan rinci, lihat: Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 188-189
[32] Achmad Rizal Purnama, Menuju Sistem Ekonomi Islam, Makalah pada Seminar “Membuka Peluang Kewiraushaan dalam Sistem Ekonomi Islam”, Sabtu, 9 Desember 2000 di Pusat Study Jepang, UI Depok (selanjutnya disebut Purnama)
[33] Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, yang memotivasi pemlik harta menginvestasikan hartanya, walau ada kemungkinan rugi, hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dapat dihindari. Taqiyuddin, loc.cit.
[34] Hal ini membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha. Selanjutnya keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil. Ibid.
[35] Perputaran sektor keuangan (financial turnover) harus berbanding lurus dengan perputaran sektor riil, dan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy). Zainul Arifin (Direktur Eksekutif Tazkia Institute), Tantangan Ekonomi Syariah 2003, Tazkia Online, Jum’at, 25 April 2003
[36] Dengan zakat, fakir miskin dan orang tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya. Dengannnya daya beli kaum dhu’afa meningkat, hingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja. Purnama, loc.cit.
[37] Negara memiliki wewenang untuk melakukan intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat, seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ada dua fungsi negara dalam roda perekonomian, yaitu (1) melakukan pengawasan terhadap jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi, seperti monopoli, upah minimum, harga pasar dll, dan (2) peran negara dalam distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang. Ibid.
[38] Sistem, op.cit, h. 125-126
[39] Kata ikhwah adalah kata yang biasanya digunakan untuk menggambarkan ikatan seketurunan, sementara untuk ikatan persaudaraan tidak seketurunan biasanya digunakan kata ikhwân. Berangkat dari pengertian dasar ukhuwah, yaitu memperhatikan, maka persaudaraan mengharuskan adanya perhatian pihak yang merasa bersaudara, baik karena hubungan nasab (kan-dung dan tiri), keluarga (seperti Harun dan Musa), bangsa, suku, dan agama. Malahan al-Qur’an menegaskan bahwa sesama makhluk memiliki ikatan ukhuwah. Quraish, op.cit., h. 486-491. Faktor utama yang menunjang lahir dan terjalinnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan cita dan rasa merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar ‘take and give’, tetapi justru “Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan”. (QS. al-Hasyr {59}: 9)
[40] Titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga pemanfaatannya, seperti diisyaratkan dalam surat al-‘Alaq haruslah karena Allah (bi ismi rabbik), yaitu untuk kemaslahatan makhluk-Nya atau ilmu yang rabbaniy. Persyaratan lain, ilmu itu tidak membuat manusia lupa terhadap ke-Mahahadiran dan ke-Mahakuasaan Allah, dan tidak memperbudak manusia, baik unsur “debu tanah”-nya maupun unsur “ruh ilahi”-nya. Quraish, op.cit., h. 433-447
[41] Wahai ayahandaku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (QS. al-Qashas: 26).
[42] Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengtahuan. (QS. Yusuf: 55).
[43] Dengan kontrak sosial, tujuan perusahaan tidak hanya keuntungan dan share holder-nya semata, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat. Seperti penangkapan ikan dengan pukat harimau merupakan cara yang paling efektif dan efisien, sama efektifnya (hemat) dengan tidak mendaur ulang limbah. Namun ia memiliki efek destruktif bagi lingkungan. Bila tetap digunakan berarti perusahaan telah mengkhianati kontrak sosial yang ada dan tidak peduli pada kesejahteraan umum. Perusahaan yang beretika tidak akan mengecewakan konsumennya dengan memberikan produk bermutu rendah. Selain itu, perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan karyawan, baik yang bersifat material maupun spiritual, karena Islam sangat menolak perilaku eksplotatif antar manusia. Mukhamad Najib, Kontrak Sosial Dan Etika Bisnis Islami, Tazkia Online, Minggu, 20 April 2003
[45] Imam Gozali pernah berkata, ''Kita diwajibkan Tuhan untuk beribadah. Beribadah tidak mungkin tercapai dengan baik tanpa kesehatan. Kesehatan tidak mungkin dicapai tanpa harta. Rasulullah hidupnya didampingi oleh orang kaya.'' Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar