MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Selasa, 16 November 2010

AKAR KULTURAL ASURANSI SYARI’AH

Lembaga keuangan syari’ah yang bergerak di bidang perasuransian, yang dikelola secara terorganisir, bisa dikatakan masih baru. Isu perasurasian syari’ah sendiri baru muncul pada dekade tahun 70-an. Keberadaan asuransi syari’ah, secara jujur harus diakui, tidak bisa lepas dari asuransi konvensional yang telah lama eksis, baik secara kelembagaan maupun dalam bentuk administrasi teknisnya. Upaya perubahan yang dilakukan umat Islam lebih mengarah pada penyesuaian konsep dengan syari’ah dan nilai-nilai Islam. 


Akan tetapi bukan berarti bahwa asuransi syariah tidak memiliki cikal bakal atau embrio yang menjadi “acuan” dasar bagi berkembangnya konsep ini. Ada beberapa akad atau konsep yang terdapat dalam literatur fiqh, seperti dijelaskan Rikza Maulan Lc. MA.,[1] yang secara filosofis memiliki persamaan dengan konsep asuransi syariah, yaitu: nizhâm al-‘âqilah, tanâhud, aqd al-hirâsaħ, dhamân khatr at-tharîq dan al-qâsamah. Secara sederhana, masing-masing konsep tersebut akan dijelaskan di bawah ini.[2] Satu hal yang dapat diyakini adalah bahwa secara mendasar keberadaan semua konsep ini tidak serta merta dapat dijadikan sebagai pembenaran semua praktek perasuransian syari'ah saat ini. Semua konsep ini lebih banyak berupa upaya pencarian kedekatan antara asuransi dengan budaya keislaman, dan dalam banyak hal berakar pada budaya Arab.
Nizhâm al-‘âqilah[3] adalah usaha saling memikul atau bertanggung jawab terhadap sesama keluarga yang melakukan tindakan menghilangkan nyawa orang lain. Contohnya jika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia karena pembunuhan tidak sengaja, maka ahli waris korban berhak mendapat diyat (uang darah) sebagai kompensasi dari keluarga pembunuh. Saudara terdekat pembunuh inilah yang disebut 'âqilah yang bersama-sama mengumpulkan dana (al-kanzu) untuk membayar diyat.
Tanâhud merupakan ibarat dari makanan yang dikumpulkan oleh satu kelompok tertentu (misalnya kelompok kafilah musafir, atau satu suku tertentu) menjadi satu dalam satu wadah tertentu. Kemudian makanan yang itu dibagikan pada saatnya kepada mereka.  Setiap orang dari kelompok tersebut mengumpulkan makanan dengan kadar sama untuk keperluan perbekalan dalam perjalanan. Mereka mengumpulkan dengan kadar yang sama, namun mereka tidak mendapatkan pembagiannya dengan jumlah yang sama.
Aqd al-hirâsaħ adalah kontrak pengawal keselamatan yang disertai dengan jaminan. Dalam hal ini, seseorang yang ingin selamat membuat kontrak dengan orang lain untuk menjaga keselamatannya dengan membayar uang kepada pengawal tersebut. Sebagai konpensasinya, pengawal tersebut akan menjaga keamanannya.
Dhamân khatr at-tharîq merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Substansinya adalah perlindungan terhadap keselamatan jiwa maupun aset dengan cara membayar sejumlah uang tertentu. Terkadang jaminan ini juga disertai dengan penjaminan atau penggantian apabila di tengah perjalanan seseorang yang telah membayar uang jaminan tersebut mengalami gangguan keamanan di wilayah tertentu.
Al-qâsamah merupakan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran peserta dari suku atau majlis tertentu. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris anggota suku atau mejlis tersebut yang meninggal dunia dan tidak diketahui siapa pembunuhnya (pembunuhan tidak sengaja). Secara konsep, al-qasâmaħ hampir sama dengan tanâhud dan 'âqilah. Bedanya, pada al-qasâmaħ pengumpulan “dananya” dilakukan di awal, sebelum terjadi kematian anggota kelompok atau suku. Selain itu, yang menerima manfaat adalah ahli waris yang meninggal dunia.
Selain beberapa kata di atas, ada juga yang mengatakan bahwa cikal bakal asuransi syari’ah bermula dari salah tradisi Arab sebelum Islam, yaitu muwâlaħ.[4] Muwâlaħ sendiri merupakan salah satu dari dua jenis walâ`[5] (walâ` al-muwâlaħ), jenis lainnya adalah walâ` al-ni’maħ. Kalau walâ` al-ni’maħ merupakan hubungan perwalian yagn muncul karena pemerdekaan, maka walâ` al-muwâlaħ muncul karena perjanjian persaudaraan antara seseorang yang tidak diketahui nasabnya dengan orang yang diketahui nasabnya.[6] Konsekwensi langsung yang dikehendaki dari perjanjian itu adalah munculnya tanggung jawab dari salah satu pihak atau 'âqilah-nya untuk melunasi sanksi pidana (diyat) pihak lain yang melakukan tindak pidana. Di samping itu antara keduanya memiliki hubungan kewarisan. Dimana, kalau salah satu pihak meninggal dunia, berdasarkan kesepakatan, pihak lain lebih didahulukan dalam penerimaan waris dibanding wali yang memerdekakan. Secara khusus, perjanjian itulah yang disebut dengan al-muwâlaħ, sedang pihak yang diketahui nasabnya itulah disebut dengan walâ` al-muwâlaħ.[7]
Tradisi muwâlaħ ini sebetulnya sangat berkaitan dengan tradisi 'âqilah, akan tetapi tradisi 'âqilah dieterima dan dilanjutkan dalam budaya Islam. Sedang tradisi muwâlaħ diperdebatkan ulama tentang keberlakuannya. Menurut ulama Hanafiyyaħ,[8] tradisi itu tetap berlaku, malah diperkukuh oleh al-Qur’an,[9] Sunnah[10] dan argumentasi rasional,[11] terutama dalam hak kewarisan. Mereka tetap bisa saling mewarisi, kalau seandainya tidak ada lagi ahli waris lain dan dzû al-arhâm. Sementara menurut ulama Mâlikyyaħ dan ulama Syâfi'iyyaħ tradisi itu tidak berlaku lagi.[12] Sedang ulama Hanâbilaħ[13] berpendapat bahwa pada dasarnya mereka tidak saling mewarisi, selama belum terjadi pelunasan diyat antara mereka. Akan tetapi, kalau salah satu pihak telah melakukannya, dan juga tidak ada pihak yang membatalkannya, maka muncullah hak kewarisan tersebut. Hak itu pun baru muncul kalau tidak ada ahli waris ‘ashâbaħ dan dzû al-furûdh serta dzû al-arhâm yang lain tidak keberatan.
Munculnya perasuransian pada tahun 70-an tersebut di atas, dipicu oleh adanya fatwa pengharaman praktek asuransi konvensional oleh beberapa negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Malaysia pada tahun 1972. Pada tahun 1979, Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya asuransi syari’ah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan serta Arab Saudi. Lalu diikuti oleh beberapa negara-negara non-muslim seperti Swiss, Luxembourg dan Bahamas pada tahun 1993.
Sementara di Malaysia sendiri lembaga asuransi syariah baru berdiri pada tahun 1984. Dan Indonesia, asuransi takaful baru muncul sepuluh tahun kemudian, seiring diresmikannya PT Syarikat Takaful Indinesia. Berdirinya PT STI ini tidak lepas dari pemikiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berkerjasama dengan Bank Muamalah Indonesia dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful dengan menyusun Tim Pembentukkan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). TEPATI inilah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir berdirinya Asuransi Takaful Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian).
Sampai Januari 2008, seperti disebutkan Muhaimin Iqbal (Ketua Umum Asosiasi Syariah Indonesia), di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32 cabang asuransi syariah, dan 3 cabang reasuransi syariah. Perolehan premi industri asuransi syariah tanah air diperkirakan kembali mengulang prestasi tahun lalu (60%-70%. pada 2006), industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi sebesar 73% dengan nilai total Rp 475 miliar.
Kendati asuransi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat, kontribusi terhadap total industri baru mencapai 1,11% per 2006 dan diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun 2007. Hal itu tidak terlepas dari jumlah pelaku industri asuransi syariah yang masih terbatas dan baru menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir.[14]


[1] Rikza Maulan, Sekretaris Dewan Pengawas Syariah TAKAFUL, Embrio & Cikal Bakal Asuransi Syariah, Di download dari: http://asuransisyariah.myblogrepublika.com/category/sejarah-asuransi-syariah/, Tanggal 26 Augustus 2009
[2] Penjelasan tentang hal ini adalah penyederhanaan dari: Ibid.
[3] Menurut al-Raziy 'âqilah adalah laki-laki ‘ashâbaħ, yaitu kerabat dari pihak ayah yang berkewajiban melunasi diyat pembunuhan tersalah. Menurut ulama Irak (Hanafiyyaħ) mereka adalah orang-orang yang berada dalam satu lembaga dengan pelaku pembunuhan tersalah tersebut. Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abd al-Qadir al-Raziy (disebut: al-Raziy), Mukhtar al-Shahah, (Beirut: Maktabah Libanan Nasyirun, 1995), h. 187
[4] Kata al-muwâlaħ, yang berasal dari kata al-waliy (الوَلِـيُّ), secara bahasa merupakan lawan dari kata bermusuhan (الـمُعاداة). Sedang kata al-waliy sendiri secara bahasa merupakan lawan dari musuh (العدوّ). Muhammad bin Mukram Ibn Manzhur (disebut Ibn Manzhur), Lisân al-'Arab, (Beirut: Dâr al-Shâdir, t.th.), Juz 15, h. 411
[5] Walâ` sendiri secara sederhana berarti kerabat. Akan tetapi secara termionologis ia berarti kerabat secara hukum yang muncul karena pemerdekaan atau karena perjanjian. Qasim bin 'Abdillah bin Amir 'Ali al-Qawnuniy (disebut: al-Qawnuniy), Anis al-Fuqaha`, (Jeddah: Dâr al-Wafa`, 1406 H), h. 261
[6] Ibn Muflih menambahkan penyebab al-muwâlaħ itu, selain karena akad perjanjian (al-mu’âqadaħ; المعاقدة), yaitu juga karena perjanjian persaudaraan (al-mu`âkhâħ; المؤاخاة). Pada dasarnya dua hal ini bisa dikatakan sama, yaitu sama-sama saling bersumpah (المحالفة) akan bertindak dan memperlakukan sebagai kerabat. Ibrahim bin Muhamamd bin 'Abdillah bin Muflih al-Hanbaliy (disebut: Ibn Muflih), al-Mubdi', (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1400), Juz 6, h. 114
[7] 'Ali bin Muhammad bin 'Ali al-Jurjaniy (disebut: al-Jurjaniy), al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1405 H), h. 306
[8] 'Ala` al-Din al-Kasaniy (disebut: al-Kasaniy), Bada'i` al-Shana'i`, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), Juz 4, h. 170
[9] Ayat yang sejalan dengan pendapat mereka ini terdapat dalam surat al-Nisâ` [4] ayat 33, yang artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Al-Kasaniy menjelaskan, bahwa maksud kata “bagiannya” dalam ayat itu adalah bagian kewarisan, sebab frase terakhir dari ayat ini di-‘athaf-kan kepada frase awal ayat ini yang menjelaskan hak kewarisan bagi ahli waris mayat. Ibid.
[10] Sunnah yang mereka jadikan alasan adalah riwayat yang berasal dari Tamim al-Dariy yang menanyakan tentang status seseorang yang mengislamkan dan menjadi wali orang lain. Nabi menjawab: “Ia adalah orang yang paling berhak terhadapnya di masa hidup dan matinya”. Ibid.
[11] Sedang argumentasi rasional mereka adalah: Adanya hak kewarisan umat Islam, yang diwakili oleh Baitul mal, didasarkan atas hubungan (kekerabatan) iman semata. Sementara seorang muwâlaħ, selain memiliki hubungan iman, berhak mendapatkan warisan karena akad perjanjian. Bukankah wali al-ni’maħ lebih berhak mendapatkan warisan dibandingkan Baitul Mal, padahal sama-sama memiliki hubungan iman. Hal itu didasarkan karena memang posisi mereka yang lebih kuat dibanding Baitul Mal. Hanya saja memang hak walâ` al-muwâlaħ ini memang berada setelah walâ` al-ni’maħ. Ibid.
[12] Al-Thabariy, salah seorang ulama tafsir yang dinisbahkan kepada Syâfi'iyyaħ, menjelaskan bahwa pemahaman yang lebih akurat terhadap surat al-Nisâ` [4] ayat 33 adalah menyerahkan bagian terhadap orang-orang yang telah bersumpah setia pada masa jahiliyyah, bukan setelah Islam, berupa pertolongan, nasihat dan pemikiran; bukan bagian kewarisan. Hal itu didasarkan pada riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa tidak ada sumpah setia dalam Islam. Sementara sumpah setia yang telah terjadi pada masa jahiliyyah tetap diakui, selain kewarisan. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid al-Thabariy (disebut al-Thabariy), Tafsir al-Thabariy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), Juz 5, h. 55
[13] Pendapat ini juga mereka dasarkan pada ayat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyyaħ. 'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (disebut: Ibn Qudamah I), al-Mughniy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H), Juz 6, h. 299
[14] Pada 2003, hanya ada 11 pemain dalam industri syariah. Jumlah itu meningkat jadi 30 pada 2006. Per juli 2007, ada 38 pemain asuransi syariah dengan rincian 2 perusahaan asuransi syariah, 1 asuransi umum, 12 asuransi jiwa syariah, 20 asuransi umum syariah, dan 3 asuransi syariah. Sumber: Media Indonesia, Selasa, 29 Januari 2008, Di download dari: http://asuransi-terbaik-syariah.blogspot.com/2009_02_01_archive.html, Tanggal 28 September 2009

1 komentar:

vanjamachemer 28 Februari 2022 pukul 02.26  

Free Spins Casino Review ᐈ 300+ Slots To Try New - Poormans
Find out more bet365 about Spins Casino and try club w88 your luck on bet analysis this site. Find the best casinos for playing with 김뿡 얼굴 your real money. Play slots 아이벳25 online for free

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP