SEKILAS TENTANG SISTEM MONETER ISLAM PERIODE AWAL
Tulisan ini merupakan bagian kesebelas (terakhir; untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam.
Perdagangan sebagai perekonomian utama, di samping pertanian, di Arabia sangat ditunjang jalur dagang yang melintasinya. Ada tiga jalur dagang yang melalui jazirah Arabia, yaitu jalur dagang selatan yang menghubungkan Romawi dan India, jalur dagang utara yang menghubungkan Romawi dan Persia, dan jalur dagang utara-selatan yang menghubungkan Syiria dan Yaman.[1]
Karena wilayah Arabia dan wilayah-wilayah tetangganya, sebelum penaklukan berada di bawah kekuasaan Persia dan Romawi, praktis satuan uang (moneter)[2] yang digunakan di daerah itu adalah mata uang yang diakui kedua kerajaan tersebut, yaitu dirham di wilayah Persia dan dinar di wilayah Romawi. Nilai satu dinar sama dengan 10 dirham, dan nilai ini bersifat tetap serta memiliki berat dan kandungan emas yang tetap (full bodied money).[3] Dirham juga memiliki berbagai ukuran, besar dan kecil, berat dan ringan, dan tidak semuanya digunakan, tapi hanya dirham berbentuk potongan atau leburan perak yang umum dijadikan media transaksi. Mereka juga mempunyai timbangan dengan nama khusus, di antaranya rithl (12 ‘uqiyah; 1 ‘uqiyah = 40 dirham) dan nasy (20 dirham; ½ ‘uqiyah), dan nawat seharga 5 dirham.[4] Walau demikian, dirham lebih umum dipakai dibanding dinar, karena hampir seluruh kekkaisaran Persia ditaklukkan umat Islam dan hanya sebagian wilayah Romawi yang bisa dikuasai.
Kebutuhan mata uang dipenuhi dengan impor, sesuai dengan volume komoditas yang diekspor ke wilayah penggunanya mengikuti permintaan uang (money demand) pasar internal; kalau permintaan uang pasar internal meningkat maka uanglah yang diimpor, tapi kalau permintaan uang menurun, baranglah yang diimpor. Dengan kata lain, keseimbangan supply dan demand pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply (persediaan keseluruhan) dan aggregate demand (kebutuhan keseluruhan) di pasar barang dan jasa.[5]
Dirham yang diakui di masa Umar bin Khaththab adalah dirham yang beratnya 6 daniq (1 daniq = 0,495 g. perak), dan tiap 10 dirham ekuivalen dengan nilai 7 mitsqal emas (1 mitsqal menurut timbangan Irak adalah 5 g. dan menurut timbangan luar Irak adalah 4,80 g.). Penetapan ukuran ini, diperlukan untuk menentukan ukuran zakat (fungsi religius uang dalam Islam), didasarkan pada: [6]
Pertama, jumlah pertengahan (42: 3) dari tiga ukuran (berat) dirham yang dibuat kerajaan Persia (dengan berat mitsqal 20 karat, 12 karat dan 10 karat). Ketika dirham dibutuhkan untuk menetapkan zakat, maka berat dirham Islam ditetapkan 10 dirham ekuivalen dengan 7 mitsqal emas.
Kedua, ketika Umar bin Khaththab menetapkan dirham Islam, ia menyuruh memperhatikan dirham yang paling banyak bereda (tertinggi sampai terendah). Saat itu yang beredar adalah dirham Baghli (8 daniq), dirham Thabari (4 daniq), dirham Maghribi (3 daniq), dan dirham Yamani (1 daniq). Ditemui dirham Bagli dan dirham Thabari yang banyak dipakai (12 daniq). Setelah itu diambil nilai pertengahannya (6 daniq). Jika ditambah 3/7-nya, ia menjadi mitsqal. Jika 1 mitsqal dikurangi 3/10-nya ia menjadi berat dirham. Sepuluh dirham sama dengan 7 mitsqal, dan 10 mitsqal ekuivalen dengan 14,28 dirham.
Karena yang digunakan dalam kegiatan ekonomis adalah uang yang bernilai penuh (full bodied money),[7] maka ketika terjadi kelebihan penawaran uang dapat diubah jadi perhiasan emas, perak atau komoditas lain yang menggunakan emas dan perak sebagai bahan dasarnya. Untuk menjaga ke-seimbangan ini, sekaligus memproteksi percepatan peredaran uang, diterapkan beberapa kebijakan penting dan bersifat mendasar:[8]
1. Segala bentuk riba (al-Baqarah: 278).
2. Transaksi talaqqi al-rukban, yaitu mencegat penjual di luar kota untuk men-dapat keuntungan dari ketidaktahuannya akan harga (cikal bakal spekulasi).
3. Transaksi kali bi kali (maya), yaitu transaksi future tanpa ada barang yang memungkinkan munculnya riba.[9]
4. Pelarangan penimbunan mata uang (al-Taubah: 34-35), seperti larangan rikaz.
5. Pelarangan permintaan tidak riil. Permintaan uang hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.[10]
Alokasi krediti terhadap dana dan tabungan yang dimiliki masyarakat sangat dianjurkan untuk diinfestasikan melalui pengembangan usaha yang sah secara syar’iy, seperti agrikultural, jasa, perdagangan dan kerajinan, serta mencegah kebocoran atau penggunaan untuk tujuan yang tak islamiy. Kegiatan investasi yang dianjurkan tidak semata kegiatan investasi yang memberikan janji dan jaminan keuntungan secara material, seperti mudharabah, musyarakah dan sebagainya; melainkan keuntungan non material, seperti qard al-Hasan, infak, wakaf dan sebagainya. Semua itu didukung oleh fasilitas dan infrastruktur yang berorientasi investasi.[11]
Kebijakan moneter[12] yang dilakukan Rasul dan khalifah rasyidin selalu berkaitan dengan sektor riil. Kebijakan yang paling menyolok untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus stabilitas perputaran uang, adalah kebijakan yang tidak memberikan toleransi terhadap penggunaan instrumen bunga (riba) atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau yang dikenal sekarang dengan defisit anggaran, melainkan dengan mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil.[13]
Mata uang (berbentuk koin) atas nama negara Islam dicetak pertama kali di masa pemerintahan Ali, menggantikan mata uang Romawi dan Persia . Namun, karena ketegangan politik yang sangat tinggi dan pendeknya masa pemerintahan Ali, hingga uang tersebut tidak dapat beredar luas.[14] Di koin tersebut tertulis:
“Allah itu satu; Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Dan tidak ada satupun yang setara dengan-Nya. Tidak ada Tuhan selain Allah; tiada sekutu bagi-Nya. Muhammad adalah utusan Allah; Dia mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas agama-agama lain sekalipun orang-orang musyrik itu benci. Dirham ini dicetak di Basrah pada tahun 40”.[15]
Dalam transaksi ekonomi, selain koin dirham dan dinar, juga sudah dikenal wesel dagang dan kredit (surat utang) sebagai alat pembayaran, karena lebih praktis. Malahan kredit ini sudah berkembang antara pedagang Syam dan Yaman, sebelum Islam. Hal itu dilakukan dengan saling menyerahkan bukti penerimaan (kredit) antara pihak yang bertransaksi (biasanya para pedagang berpengalaman dan bereputasi tinggi), yang selanjutnya dapat diterima sebagai alat pembayaran yang sama nilainya dengan uang. Bahkan Umar sendiri pernah mengeluarkan cek yang secara umum diterima masyarakat. Hal ini terjadi ketika pengiriman bahan makanan impor dari Mesir, karena jumlahnya yang sangat besar, pendistribusiannya jadi terlambat. Untuk mengatasi itu, Umar membagikan cek kepada orang dan keluarga yang berhak, hingga secara bertahap mereka dapat mengambil bagiannya ke Baitulmal.
Selain itu, juga dilaksanakan pembelian surat utang (instrumen factoring; anjak piutang; al-hiwâlah) oleh seseorang kepada pihak lainnya, dan dilegitimasi oleh Islam. Namun demikian, pengggunaan kredit, wesel dagang, cek dan surat utang ini masih terbatas hanya pada beberapa pedagang saja, karena keberagaman suku, peperangan yang berkepanjangan, jarak yang jauh antara wilayah utara, selatan dan tengah serta kesulitan-kesulitan dalam perjalanan.[16]
Lembaga yang berfungsi sebagai layaknya bank sentral yang dikenal sekarang adalah Baitulmal. Sistem yang diterapkan dalam bidang konsumsi, tabungan investasi dan perdagangan menjadi instrumen otomatis untuk pelaksana-an kebijakan moneter. Di satu sisi, ia menjamin keseimbangan uang dan barang, dan pada sisi lain mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain mencipta-kan kesejahteraan yang lebih nyata dalam masyarakat. Lagi pula, imbalan pahala terhadap usaha serta partisipasi sahabat dalam kegiatan ekonomi telah menambah motivasi dalam peningkatan investasi, walau terhadap kegiatan yang tidak mendapatkan hak istimewa secara materi, seperti qard al-hasan, infaq dan wakaf.
Dengan perkembangan ekonomi seperti itu, instrumen kebijakan moneter saat ini, seperti diskreasioner, promissory notes atau bill of exchange, open market operations (jual beli surat berharga) dan penaikan atau penurunan suku bunga, tidak digunakan.[17] Karena “minimnya” sistem perbankan (bank komer-sial) dan penggunaan uang hanya sebagai alat tukar, tidak ada alasan mengrubah supply uang dengan kebijakan diskreasioner. Karena riba dan transaksi kali bi kali dilarang, maka penerbitan promissory notes terasa tidak relevan, selain tidak dikenal, begitu juga dengan penaikan atau penurunan suku bunga.[18]
Waktu itu belum dikenal pasar yang memperdagangkan surat-surat berharga atau pasar uang. Pasar yang aktif hanyalah pasar barang konsumsi, karenanya aturan komprehensif yang dikembangkan adalah aturan pasar barang, seperti kondisi barang yang dipertukarkan, status hukum penjual dan pembeli, jenis transaksi, hak dan kekuasaan pihak yang bekerja sama, serta kewajiban yang harus dilakukan dan pilihan yang dimiliki ketika usaha itu berhenti.
Variabel ekonomi yang ada pada waktu itu adalah harga tunai dan kredit, barang dan jasa, jangka waktu transaksi kredit, tingkat keuntungan dalam perdagangan, tingkat pengembalian investasi, harga faktor produksi, jangka waktu utang qard al-hasan dan tingkat diskonto (uang muka) instrumen utang. Beberapa variabel, seperti harga barang dan jasa serta harga faktor produksi, sangat menentukan dalam mengambil keputusan menyangkut konsumsi dan produksi dalam periode tertentu. Variabel lainnya, seperti rate transasksi kredit, tingkat pengembalian inver\stasi, keuntungan perdagangan, tingkat diskonto, jangka waktu qard al-hasan, jangka waktu transaksi kredit atau waktu yang dibutuhkan untuk persiapan sebuah proyek investasi, berkaitan erat dengan keputusan sementara menyangkut produksi dan transfer pendapatan.[19] (kembali ke tulisan awal klik di sini)
[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 28. Jalur dagang Roma – India selalu melewati bagian selatan dan timur Arabia selama berabad-abad. Para kafilah dagang memperoleh barang dan keuntungan dari timbulnya pasar-pasar musiman di daerah Yaman, Hijaz dan Syam, terutama san’a (Ibu kota Yaman), Yatsrib dan Makkah. Jalur dagang utara memfasilitasi barang dagangan dari India yang dibawa dengan kapal laut menuju Oman , dilanjutkan melalui jalan darat melintasi bagian utara Arabia dan Syam dan kemudian ke Roma. Sepanjang rute ini muncul pasar-pasar musiman yang berkembang menjadi kota-kota basar pusat perdagangan para kafilah yang melewatinya, antara lain Lakm, al-Kindah dan Gassan (Hira, Dumatul Jandal, dan terutama Bashrah). Rute dagang utara selatan (antara Yaman dan Syam), yang dikembangkan pada masa Hasyim, memperbesar keuntungan bagi Makkah, Quraisy, dengan nilai plus adanya Ka’bah, kegiatan tahunan (ibadah haji) dan perjanjian damai antar suku yang memberi kesempatan berdagang sebelum dan sesudah ibadah haji dilaksanakan. Kadim as-Sadr, Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 124-125
[2] Moneter dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan “Berhubungan dengan uang atau keuangan”. Departemen P & K, op.cit., h. 590. Perekonomian moneter merupakan pengganti dari sistem perekonomian sistem barter yang berkembang dulunya. Transaksi “mempertukarkan barang dengan barang”, yang kurang praktis, diganti dengan transaksi yang menggunakan alat tertentu (uang) sebagai alat pembayaran (medium of exchange). Suhrawardi K. Lubir, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h. 17. Satuan moneter berfungsi sebagai satuan untuk mengukur dan menyatakan nilai dari barang dan jasa. Dengan tujuan pokok untuk pelaksa-naan perdagangan dengan semurah mungkin, fungsi medium of exchange merupakan fungsi utama dari uang. Selain itu, uang juga berfungsi sebagai satuan nilai (dan alat tukar merupakan fungsi utama; primary), standar pembayaran tertunda, dan alat penimbun kekayaan (dua terakhir merupa-kan fungsi turunan; derivative). Stephen M. Goldfeld & Lester V. Chandler, Ekonomi, Uang dan Bank, Judul Asli: The Economics of Money and Banking, Penerjemah: Danny Hutabarat, (Jakarta: Erlangga, 1990), cet. Ke-2, h. 7 (selanjutnya disebut Uang dan Bank). Perbedaan mendasar konsep uang dalam Islam dengan konsep uang konvensional, dalam Islam uang tidak dipandang sebagai komoditi yang bisa jadi objek transaksi. M. Abdul Mannan, op.cit., h. 162. Imam al-Ghazali, selain membahas konsep pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs), pajak (taxes), dan fungsi emas dan perak sebagai mata uang. (lihat Islamic Economic Thought, Longman Publication) 800 tahun sebelum Irving Fisher dan Milton Friedman berbicara tentang uang dan fungsinya, Imam al-Ghazali telah berbicara tentang fungsi uang sebagai (i) satuan pengukur nilai, (ii) alat tukar dan (iii) alat penyimpan kekayaan. Dalam Ihya Ulumuddin bab “Syukur Min Rub’i al munjiyat”, al-Ghazali mengibaratkan uang sebagai “hakim” (pemberi ketetapan) untuk semua jenis barang dan jasa. Maksudnya adalah standard of value (standar pengukur nilai). “Allah menciptakan dinar dan dirham agar keduanya menjadi “hakim” yang adil di antara kekayaan,” katanya. Beliau juga melihat fungsi uang sebagai alat bayar yang dapat ditukar dengan segala sesuatu (medium of exchange). Namun beliau tidak setuju jika uang dijadikan komoditas perdagangan. Ia menegaskan, “Keduanya sangat berharga tetapi tidak dimaksud pada bendanya.” Hal ini ternyata mendapat pijakan ilmiah dan aplikatif, karena dengan berubahnya fungsi uang menjadi komoditas, terjadi ketidakseimbangan sektor moneter dengan riil. Kebijakan moneter Bank Sentral menjadi tidak efektif karena dominannya peran spekulan mata uang global. ia juga mengakui fungsi uang sebagai penyimpan kekayaan tetapi melarang penimbunan tanpa memutarkannya dalam roda ekonomi. Beliau menegaskan, “Barangsiapa menyimpannya saja, maka sesungguhnya ia telah berlaku zalim pada keduanya dan membatalkan hikmah yang ada pada keduanya”. Hal itu didasarkannya pada QS al-Taubah ayat 34 “…. Dan orang-orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka berilah kabar kepada mereka dengan adzab yang pedih.” Muhammad Syafi’i Antonio, Tazkia Online, , 11 September 2002
[3] Kadim as-Sadr, Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 125-126. Full bodied money (uang bernilai penuh) adalah uang yang nilanya sebagai suatu komoditi untuk keperluan non-moneter sama dengan nilainya seabgai uang. Uang dan Bank, op.cit., h. 19. Selain bernilai penuh, ada jenis uang lain, uang penuh yang representatif (representative full bodied money) dan uang kredit (cre-dit money). Representative full bodied money adalah resi penyimpanan mata uang bernilai penuh atau ekuivalennya dalam bentuk batangan emas atau perak. Sementara credit money adalah semua uang yang beredar dengan nilai yang lebih besar dibanding nilai komoditi materialnya. h. 20-23
[4] Yusuf Qardawi, op.cit., h. 243-244
[5] Kadim as-Sadr, op.cit., h. 127-128
[6] Ahkam, op.cit., h 152 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 296
[7] Dengan sistem devisa bebas (mata uang bebas keluar masuknya), penawaran devisa jadi elastis dan terhindar dari munculnya pasar gelap yang mendorong terjadinya kolusi, penyelundupan, dan devisa palsu. Inflasipun tidak terjadi, karena sumber utamanya (ekspansi moneter, baik pencetakan uang atau defisit anggaran) tidak terjadi. Inflasi hanya terjadi ketika persediaan barang berkurang pada masa panceklik dan perang. Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 29
[8] Ibid., h. 29
[9] Dalam transaksi tunai uang dan barang dipertu-karkan secara simultan, dan dalam transaksi kredit barang diserahkan terlebih dulu kemudian diikuti penyerahan uang saat jatuh tempo atau sebliknya. Sementara kali bi kali uang dan barang diserah-kan selang beberapa waktu setelah kontrak ditandatangani. Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 138
[10] Precautionary demand (permintaan uang untuk berjaga-jaga) menjadi besar di periode awal Islam, karena tingginya intensitas perang (± 6 kali setahun). Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 129. Sebagai perbandingan, transaksi di uang pada th. 2001 hanya 5% yang terkait dengan barang dan jasa. Hanya 45% yang spot (transaksi berjangka dua hari kerja), selebihnya adalah forward (berjangka lebih dari dua hari) futures, dan options (penyerahan hak melakukan transaksi dengan imbalan keuntungan). Nilai perdagangan barang dan jasa hanya 1,5% dari turn over di pasar uang. Boleh dikatakan perekonomian saat itu digelembungkan transaksi maya yang dilakukan (dan me-nentukan ekonomi global) segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27%), Tokyo-Hong Kong-Singapura (25%) dan Chicago-New York (17%). Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 36
[11] Beberapa metode investasi yang bisa dilaksanakan, seperti mudharabah, muzara’ah, musyakat, musyarakah, qard al-hasan, infaq dan wakaf. Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 133-136
[12] Kebijakan moneter adalah semua aktifitas pemerintah, bank sentral dan otoritas publik lain yang mempengaruhi kuantitas uang dan piutang (kredit) bank. Ia berkaitan dengan berbagai kegiatan, antara lain pemilihan standar keuangan negara, penentuan nilai setiap unit uang berdasarkan tembaga atau mata uang asing, menentukan tipe dan jumlah pencetakan mata uang, membentuk sistem bank sentral dan menetapkan kekuatan dan aturan mainnya, membentuk dan mengatur bank komersial dan lembaga keuangan yang berkaitan. David L. Sills, (ed.), International Encyclopedia of The Social Sciences, (New York: The Macmillian Company & The Free Press, 1972) Edisi Reprint, vol. 10, h. 419. Tujuan kebijakan moneter adalah untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar, tingkat bunga dan laju inflasi, serta memperbaiki pendapatan masyarakat. Untuk mewujudkannya, instrumen yang biasa dipakai adalah cash reserve atau reserve requirement, tingkat bunga, operasi pasar terbuka, dan credit allocation. Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2000), h. 125
[13] Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 28-29. Dalam ekonomi konvensional, kebijakan moneter ditujukan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar yang mempengaruhi inflasi dan deflasi. Kebijakan yang diambil sangat berkaitan dengan suku bunga. Dengan merubah jumlah uang yang beredar itulah situasi ekonomi akan berubah (pengaruh tidak langsung). Untuk ada beberapa jalur yang dapat mempengaruhi ekonomi itu, yaitu jalur biaya modal (the cost af capital channel), jalur kekayaan (wealth channel), harga relatif (teori portofolio) dan jalur langsung (teori monetrist). Nopirin, Ekonomi Moneter, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2000), Buku II, cet. Ke-10, h. 52-55. Dalam ekonomi Islam, stabilitas peredaran dan pemilikan uang, sekaligus memperkecil peluang spekulasi dan penimbunan uang, sangat dibantu oleh penghapusan riba (bunga) dan penerapan zakat sebesar 2,5% terhadap uang yang digunakan, selain tingkat kegiatan usaha, laba yang diharapkan, kemampuan bank komersial menanggapi insentif ekonomi, maupun pengawasan bank sentral. M. Abdul Mannan, op.cit., h. 162
[14] Salah satu uang tersebut masih disimpan di museum Paris . Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 58. Mata uang pertama di Inggris (774 M) sepenuhnya jiplakan dari dinar Islam lengkap dengan tulisan Arabnya. h. 36
[15] Kadim as-Sadr, Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 102-103
[16] Ibid., h. 126-127
[17] Promissory notes (bill of exchange) adalah uang kredit (terbuat dari kertas) yang dike-luarkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak pemerintah. Ia dinamakan juga dengan uang fiat. Uang dan Bank, op.cit., h. 22. Open market operations dilakukan untuk mengatur biaya dan uang cadangan bank, melalui pembelian dan penjualan surat-surat berharga. h. 266. Suku bunga adalah imbalan untuk melepaskan likuiditas selama suatu periode tertentu. h. 66
[18] Kadim as-Sadr, Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 138-139
[19] Ibid., h. 141
0 komentar:
Posting Komentar