APLIKASI JAMINAN PADA ASURANSI SYARI’AH
Di dunia perasuransian syari’ah Indonesia, takaful diartikan dengan “Usaha kerjasama saling melindungi dan menolong di antara Peserta dalam menghadapi terjadinya malapetaka dan bencana”.[1] Usaha itu disejajarkan dengan firman Allah dalam surat al-Mâ`idaħ [5] ayat 2 (bunyi ayat dan artinya dicantumkan di bawah), khususnya perintah untuk saling menolong. Artinya, takaful atau jaminan pada asuransi syari’ah merupakan bentuk aplikasi dari konsep ta’âwun (saling tolong) yang dikenal luas oleh umat Islam.
Pengertian di atas secara langsung menunjukkan bahwa usaha saling melindungi dan saling menolong itu dilakukan antara orang-orang yang mengikatkan diri pada suatu asuransi (disebut Peserta). Peserta itu sendiri merupakan “pemegang polis yang bertindak sebagai Shahibul Mal (Pemilik Dana) yang mengadakan perjanjian takaful”.[2]
Selain peserta, ada pihak lain yang juga terikat dengan ikatan tersebut, yaitu ahli waris dan/atau pihak “Yang Ditunjuk”, yaitu “salah seorang ahli waris yang ditunjuk oleh peserta yang akan membagikan Manfaat Takaful kepada ahli waris sesuai Hukum Waris/Faraid, atau yang berhak menerima Manfaat Takaful”.[3] Manfaat takaful terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Untuk Polis dengan unsur tabungan adalah jumlah dana santunan ditambai Nilai Tunai.
b. Untuk Polis tanpa unsur tabungan adalah jumlah Dana Santunan.[4]
Nilai Tunai adalah Dana Tabungan ditambah dengan bagian keuntungan atas hasil investasi (mudhârabaħ) dan dikurangi dengan pengambilan sebagian jika ada. Sedang yang dimaksud dengan Dana Santunan adalah dana yang diambil dari rekening tabarru’ pada saat peserta mengalami musibah yang jenis dan besarnya sesuai dengan yang tercantum dalam polis.[5]
Satu hal penting yang dimuat dalam polis, biasanya juga menjadi bagian yang sangat menonjol hampir pada semua asuransi, adalah premi. Secara jelas, yang dimaksud dengan premi[6] (pada sebagian asuransi syari’ah disebut dengan premi takaful) adalah “sejumlah dana yang dibayarkan Peserta yang terdiri dari dana Tabungan (merupakan Tabungan Peserta, khusus untuk produk yang mempunyai unsur tabuangan) dan Tabarru’ (dana untuk tujuan kerja sama tolong menolong dan saling menanggung di antara para peserta bila terjadi klaim).[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan “klaim” adalah permintaan ganti rugi dari tertanggung kepada penanggung, sesuai dengan kerugian yang dipertanggungkan berdasarkan polis asuransi. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati di awal perjanjian. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. Klaim dalam asuransi syari’ah berdasarkan atas akad tijâraħ sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. Sedang klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan asuransi, sebatas yang disepakati dalam akad.
Dari beberapa persoalan yang berkaitan dengan jaminan pada suransi syari’ah di atas, ada beberapa yang perlu, dan memang mendapat perhatian khusus pada perjanjian asuransi syari’ah. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Peserta
Secara umum, perusahaan asuransi syri’ah menetapkan syarat berbadan sehat bagi orang-orang yang berminat untuk menjadi peserta asuransi. Sebagai contoh, pada produk Takaful Falah (Asuransi Jiwa dan Kesehatan)[8] yang dikeluarkan PT Takaful Indonesia menyebutkan persyaratan berikut:
· Berbadan sehat (jasmani dan rohani) dan tidak sedang mengalami sakit atau sedang dalam perawatan Dokter
· Mengisi Formulir Surat Permintaan Asuransi dan mengikuti ketentuan Underwriting yang ditetapkan oleh Perusahaan
· Melakukan pemeriksaan kesehatan (medis) sesuai dengan Ketentuan Underwriting yang ditetapkan Perusahaan
Di samping ketentuan harus berbadan sehat, ada satu syarat penting dan menentukan untuk menjadi peserta sebuah produk asuransi syari’ah, yaitu membayar premi yang telah disepakati. Artinya, walaupun seseorang berbadan sehat jasmani dan rohani, belum bisa disebut sebagai peserta kalau belum membayar premi tersebut. Dua syarat ini jelas akan mengenyampingkan kesempatan orang-orang yang kurang sehat dan orang-orang yang tidak mampu atau tidak memiliki dana untuk membayar premi asuransi.
Selain itu, hampir semua asuransi syari’ah menetapkan batasan usia yang diperbolehkan untuk menjadi peserta asuransi. Rata-rata usia masuk menjadi peserta asuransi adalah orang-orang yang berusia antara 18 s/d 65 tahun. Batasan usia maksimal memang tidak selalu harus 65 tahun, sebab hal itu terkadang juga dikaitkan dengan panjangnya masa perjanjian. Karenanya ditetapkanlah usia maksimal calon perserta yang bisa masuk adalah maksimal berusia 70 tahun saat perjanjian berakhir. Artinya, maksimal usia masuk ditambah masa perjanjian adalah 70 tahun.[9] Karenanya, kalau masa perjanjian asuransi dibatasi minimal 5 tahun, maka sama artinya dengan peserta masuk maksimal berusia 65 tahun.[10] Untuk sebagian asuransi malah ditetapkan lebih rendah, yaitu maksimal berusia 65 tahun saat perjanjian asuransi berakhir.[11]
Untuk peserta pada asuransi kesehatan memang ada batasan usia yang sangat rendah. Pada asuransi Sehat Mubarakah,[13] misalnya, untuk masa Asuransi selama 1 (satu) tahun, ditetapkan umur peserta saat masuk asuransi minimal 15 hari dan maksimal 60 tahun. Sedangkan untuk perpanjangan, umur masuk maksimal 65 tahun.
Selain penetapan persyaratan kesehatan dan batasan umur di atas, pada saat mengisi formulir pun peserta diwajibkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermuatan “analisa” kesehatan. Selain mempertanyakan penyakit yang pernah dan yang sedang diderita, di dalam formulir itu juga dipertanyakan tentang kebiasaan hidup yang berkaitan dengan kesehatan.
Penjelasan di atas mengarahkan pada kesimpulan bahwa pihak perusahaan asuransi tidak mempersiapkan dirinya untuk rugi dengan merekrut calon peserta yang secara alamiah segera ditanggung.[14] Hal itu terlihat dengan “penolakan” orang yang sedang sakit atau sedang dalam perawatan dokter untuk menjadi pesertanya. Perusahaan asuransi jelas-jelas tidak akan menjamin orang-orang, sehat sekalipun, yang tidak membayar premi asuransi.
Kemudian, penetapan batasan usia sendiri juga memberikan kesimpulan yang sama, bahwa perusahaan asuransi tidak ingin rugi. Sebab orang yang sehat secara fisik dan mental serta memiliki kebiasaan hidup sehat besar kemungkinan tidak akan meninggal sampai mencapai usia 65 tahun. Selanjutnya, dengan perilaku hidup yang sehat kemungkinan akan menderita sakit dan mengalami kecelakaan juga bisa ditekan sampai tingkat persentase yang kecil, yaitu sampai tingkat yang masih bisa ditanggulangi oleh sebagian kecil dana tabarru’ yang telah dan terus terakumulasi.
b. Dana tabarru’
Lazimnya dalam asuransi jiwa syariah[15] terdapat dua rekening peserta yaitu Rekening Tabungan (Participant Account) dan Rekening Khusus (Participant Special Account). Rekening tabungan merupakan rekening penyertaan modal dari peserta asuransi yang berikutnya akan diinvestasikan oleh perusahaan dengan cara-cara yang memenuhi syariah. Pada dasarnya penyertaan modal dan investasi oleh perusahaan ini dilaksanakan dengan menggunakan prinsip mudhârabaħ. Di mana para pihak akan berbagai keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan di awal kontrak.
Dana tabarru’ merupakan dana hibah dari peserta yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Dalam hal ini, pihak perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola dana tersebut atas dasar akad Wakalah dari para peserta. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمن/متبرع له) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/ mutabarri’, مؤمن/متبرع).[16]
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Pemisahan rekening tersebut dilakukan guna menjawab permasalahan ketidakjelasan (gharar) pada praktek asuransi konvensional dari sisi pembayaran klaim.[17] Akad yang diberlakukan dalam rekening khusus ini adalah transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat non profit sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial. Dengan demikian idealnya semua dana tabarru’ maupun hasil investasinya (apabila dana tabarru’ diinvesatiksan) tidak dibagi-hasilkan kepada peserta maupun pengelola, namun menjadi ‘dana abadi’ dalam Rekening Khusus.[18]
Dalam pengelolaan dana tabarru’, fatwa DSN No: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah menetapkan tiga aturan berikut:
1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. [19]
Ketika terjadi Surplus Underwriting (surplus dana tabarru’), fatwa DSN No: 53/DSN-MUI/III/2006 memberikan tiga alternatif yang dapat dilakukan oleh perusahaan, yaitu:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
Walau poin (2) dari aturan surplus underwriting menetapkan pilihan itu atas persetujuan peserta, akan tetapi pada prakteknya, dalam akad, pilihan itu selalu ditetapkan pada pilihan awal. Poin (2) tersebut berbunyi: Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Sepintas lalu tentu muncul pertanyaan, mungkinkah perusahaan akan mengalami defisit dana tabarru’ kalau seandainya terjadi banyak klaim? Hal itu mungkin saja, akan tetapi peluangnya sangat kecil. Sebab berbagai kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi, terlebih dahulu telah dikesampingkan dalam persyaratan dan akad kontrak. Dalam hal ini dapat dikemukakan setidaknya tiga kondisi yang memperkecil kemungkinan itu: Pertama, dengan pembatasan peserta yang masuk melalui kriteria yang telah disebutkan di atas, secara teoritis, kemungkinan ini sepertinya akan berpeluang sangat kecil.
Kedua, presentase dana tabarru’ itu sendiri ternyata juga tidak bisa dikatakan kecil, berkisar pada angka 10 % dari premi yang dibayarkan peserta. Jumlah itu juga bervariasi pada peserta yang beresiko lebih besar dengan peserta yang beresiko lebih kecil. Sebagai contoh, pada produk asuransi Takaful Dana Pendidikan yang ditawarkan PT Takaful Indonesia, untuk peserta perokok dikenai dana tabarru’ sebesar 13,15% dari Premi. Sementara peserta yang tidak merokok dikenai dana tabarru’ sebesar 8,75% dari Premi.[20]
Ketiga, meningkatnya jumlah klaim biasanya disebabkan oleh suatu kejadian yang menimbulkan korban banyak orang, seperti bencana alam dan perang. Kecelakaan karena akibat bencana alam terlebih dahulu telah dikesampingkan dalam akad perjanjian (khusus untuk PT Takaful Indonesia dijelaskan di bawah). Sementara dalam kondisi perang, bahaya sipil atau darurat militer, perusahaan menetapkan hak khusus untuk memotong klaim yang diajukan (dijelaskan di bawah).
Berdasarkan tiga hal di atas, sekali lagi bisa dikatakan sangat kecil kemungkinan terjadinya defisit dana tabarru’. Dalam keadaan normal, tidak ada bencana dan tidak ada perang, sangat kecil kemungkinan peserta yang sehat lahir batin dan memiliki pola hidup yang sehat akan mengalami kecelakaan dalam jumlah yang banyak. Sementara kecelakaan dalam kondisi tidak normal, baik bencana, perang atau perilaku peserta sendiri yang berubah menjadi tidak normal, terlebih dahulu telah dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dijamin. Kalaupun itu terjadi, perusahaan asuransi juga tidak akan memikul kerugian itu dengan mengeluarkan dana perusahaan secara “gratis”. Dalam Fatwa DSN No: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah dijelaskan bahwa:
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.[21]
Kutipan fatwa DSN di atas sebetulnya sudah memberikan gambaran gamblang, bahwa perusahaan asuransi tidak akan pernah menanggung apa-apa kalau terjadi defisit. Perusahaan asuransi hanya akan memberikan pinjaman pemenuhan defisit tersebut yang kemudian akan dibayar dengan dana tabarru’ yang akan diterima berikutnya.
c. Manfaat dan santunan
Dalam tawaran terhadap calon peserta asuransi, baik asuransi konvensional maupun asuransi syari’ah, persoalan yang hampir selalu menempati posisi utama adalah “janji” imbalan besar selama dan setelah masa perjanjian berakhir. Imbalan itu terdiri atas manfaat dan santunan.
Sebetulnya juga tidak terdapat perbedaan tegas antara dua hal itu, akan tetapi secara umum dapat disebutkan bahwa manfaat (ada yang menyebutnya manfaat takaful dan ada juga yeng menyebut manfaat ta’awun) merupakan imbalan untuk peserta dan/atau orang yang ditunjuk oleh peserta. Sementara santunan (ada yang menyebutnya santunan saja dan ada juga yang menyebutnya dengan manfaat santunan) merupakan imbalan untuk ahli waris dan/atau orang yang ditunjuk oleh peserta.
Terhadap manfaat, khususnya pada produk asuransi kesehatan yang ditawarkan PT Takaful Indonesia, ada beberapa pengecualian, yaitu yang dimuat dalam pasal 10 Syarat-syarat Umum dan Khusus Polis Individu.[22] Lengkapnya bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1) Perusahaan bebas dari kewajiban membayar Manfaat Takaful menurut perjanjian jika Peserta mengalami musibah karena:
a) Bunuh diri atau dihukum mati oleh Pengadilan yang berwenang.
b) Terlibat perkelahian, kecuali jika terbukti sebagai pihak yang mempertahankan diri.
c) Akibat perbuatan yang disengaja, direncanakan dengan persetujuan Peserta atau pihak yang berhak menerima santunan.
d) Akibat kecelakaan pesawat terbang yang tidak diselenggarakan oleh perusahaan penerbangan yang tergabung dalam Internasional Air Transport Association (IATA)
e) Pekerjaan/jabatan Peserta yang mengandung resiko sebagai militer, polisi, pilot, buruh tambang dan pekerjaan/jabatan lain yang resikonya tinggi.
f) Olah raga atau hobi Peserta yang mengandung bahaya seperti balap mobil, balap sepeda motor, balap kuda, terbang layang, olahraga terbang, berlayar atau berenang di laut lepas, mendaki gunung, bertinju, bergulat, serta olah raga atau hobi lain yang mengandung bahaya dan resiko tinggi.
2) Dalam hal ayat 1 d, e dan f, Perusahaan akan membayar seluruh Manfaat Takaful sepanjang resiko tersebut secara kuhsus sudah diperhitungkan.
3) Untuk Polis yang mempunyai unsur tabungan, maka Perusahaan akan membayar Nilai Tunai saja.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, masih terdapat beberapa jenis penyakit yang “dikesampingkan” dari jaminan, seperti:[23]
- Kecelakaan atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (ocupational accident/diseases) yang dijamin oleh PT. ASTEK.
- Akibat perang atau petugas aktif di militer atau angkatan bersenjata atau badan internasional, huru-hara (langsung dan tidak langsung), pemberontakan dan sejenisnya.
- AIDS dan ARD (Aid Relatied Complex) serta HIV positif dan berbagai penyakit akibat hubungan seksual.
- Kelainan congenital, herediter (bawaan dari lahir) misalnya hernia, VSD, ASD, debil, embicil, mongoloid, cretinism, thallasemia, haemopholia
- Gangguan akibat sinar radio aktif, nuklir, bencana alam (gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, badai tsunami, dan sejenisnya)
- Melahirkan
- Pengobatan terhadap penyakit kejiwaan psikologis atau gangguan mental (mental disorder) dan gangguan syaraf lainnya termasuk setiap manifestasi yang berhubungan dengan gangguan psikologi atau psikosomatik.
- Pengobatan atau pembedahan untuk cacat bawaan, yaitu cacat yang sudah ada sejak lahir, seperti bibir sumbing, telapak kaki leper, pertumbuhan otot atau tulang secara tidak normal, cerebral palsy, dan cacat bawaan lainnya.
Walau tidak mengecualikan seluruh penyakit, akan tetapi cukup banyak penyakit yang dikesampingkan dari jaminan produk asuransi tersebut.[24] Hal lain, dalam klausul perjanjian juga disebutkan dua hal penting: Pertama, penggantian terhadap biaya perawatan hanya 80% dari kwitansi dan menggunakan sistem reimbursement. Kedua, semua jaminan itu hanya berlaku di dalam negeri.
Satu hal yang cukup nyata di sini adalah adanya unsur keterbukaan terhadap penyakit yang ditanggung oleh sebuah produk asuransi, khususnya asuransi kesehatan. Hal ini merupakan salah satu upaya dari realisasi kehendak asuransi syari’ah, yang termuat dalam pengertian sebelumnya, khususnya frase yang menyebutkan “menghadapi resiko tertentu”. Walau bukan mempertegas secara definitif maksud dari resiko tertentu tersebut, akan tetapi penjelasan resiko itu dikemukakan dengan mengenyampingkan resiko yang tidak dijamin.
Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa penjelasan dan penegasan itu juga memberikan pemahaman lain, yaitu adanya upaya “mempersempit” risiko yang dihadapi orang/pihak yang memenuhi semua kewajiban sebagai peserta asuransi. Sebab penjelasan frase “menghadapi resiko tertentu” dalam definisi asuransi syari’ah itu bisa dilakukan dengan penegasan bidang risiko yang dijamin, seperti bidang kesehatan (saja), kecelakaan lalu lintas (saja) atau bidang-bidang lain. Dengan penegasan ini pun sesungguhnya maksud kata “resiko tertentu” dalam definisi tersebut juga sudah terpenuhi.
d. Kewenangan perusahaan asuransi
Secara teoritis, kontrak asuransi adalah kontrak yang bisa dinegosiasikan, meskipun dalam kenyataannya banyak pihak asuransi tidak berkenaan untuk menegosiasikan isi polis asuransi, dan sudah merupakan perjanjian standar (baku) sehingga tidak akan diubah lagi, dan pihak peserta atau tertanggung berada pada posisi “merima atau menolak” (take it or leave) kontrak yang ditawarkan perusahaan asuransi. Hal itu mengantarkan pada sebuah gambaran bahwa pihak perusahaan asuransi berada pada posisi yang kuat, sementara pihak peserta berada pada posisi yang lemah. Sebagai pihak yang kuat, pihak asuransi menetapkan berbagai persyaratan dan aturan produknya. Kalau peserta setuju, boleh ikut; dan kalau tidak setuju, tidak usah ikut.
Sebagai salah satu contoh kuatnya posisi perusahaan asuransi dapat dilihat dari peraturan dalam keadaan perang yang ditetapkan oleh PT Takaful Indonesia[25] sebagai berikut:
1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terlibat dalam peperangan, baik dinyatakan atau tidak, atau negara Republik Indonesia untuk seluruhnya atau sebagian dinyatakan dalam keadaan bahaya sipil atau darurat perang, maka semua pembayaran Manfaat Takaful atau klaim akan dikenakan potongan sementara yang besarnya ditentukan oleh Perusahaan.
2) Satu tahun setelah berakhirnya perang atau keadaan darurat perang, Perusahaan akan menentukan besarnya potongan yang pasti, sesuai dengan meningkatnya angka kematian.
Dua aturan di atas membuktikan bahwa memang perusahaan asuransi berada pada posisi yang sangat kuat. Aturan pertama memberikan landasan pembenaran pemotongan terhadap klaim yang dilakukan pada saat perang, bahaya sipil atau darurat perang. Sementara aturan kedua memperkukuh kekuatan perusahaan asuransi tersebut, meskipun keadaan yang dijadikan landasan pemotongan telah berakhir. Terhadap dua aturan ini pihak peserta tidak memiliki daya tawar sama sekali; mereka hanya punya pilihan menerima atau tidak ikut sama sekali (take it or leave).
Empat poin yang telah ditelusuri secara lebih dalam di atas mengantar pada satu kesimpulan bahwa asuransi syari’ah, apapun namanya, merupakan lembaga keuangan yang secara sengaja ingin mencari keuntungan melalui produk-produk yang mereka tawarkan. Untuk tujuan keuntungan itu, perusahaan asuransi telah mempersiapkan berbagai pra kondisi dan telah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang berpeluang menguranginya. Hal itu sama sekali tidak bisa disalahkan, karena tujuan mencari keuntungan itu sendiri memang konsisten dan paralel dengan penyebutannya seabgai lembaga keuangan, yaitu badan usaha yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya.[26] Artinya, asuransi syari’ah, sebagai lembaga keuangan, bergerak dan mencari keuntungan dalam usaha keuangan dengan cara menghimpun dana dan/atau menyalurkannya kepada masyarakat.
[1] Takaful Indonesia , Syarat-syarat Umum dan Khusus Polis Individu, (t.tp.: t.p., t.th.), h. 1
[2] Perjanjian itu tertuang pada polis asuransi, yaitu surat perjanjian antara peserta dengan perusahaan. Takaful Indonesia , op.cit., h. 1. Dalam polis asuransi tersebut, diperinci hak-hak dan kewajiban dari pihak penanggung dan tertanggung, syarat-syarat dan prosedur pengajuan klaim jika terjadi peristiwa yang diasuransikan, prosedur dan cara pembayaran premi oleh pihak tertanggung, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
[3] Manfaat Takaful harus dibedakan dengan Manfaat Takaful Awal (MTA). Yang terakhir ini berarti “Rencana menabung (Premi Tahunan x Masa Perjanjian). Ibid., h. 1
[4] Ibid., h. 1
[5] Ibid., h. 1
[6] Premi, secara etimologis, adalah uang hadiah karena hasil kerja yang memuaskan (satisfied). Tetapi terma ini, dalam asuransi sebagai uang jaminan finansial yang dibayarkan secara advance atas kerugian yang akan terjadi pada masa mendatang. Adapun jumlah nominal sesuai dengan kesepakatan kontrak yang telah disepakati.
[7] Takaful Indonesia , op.cit., h. 1. Pembayaran (premi) menurut asuransi syari’ah, didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syari’ah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa, dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-bagikan kepada peserta. Sedangkan premi yang berasal dari jenis tabarru’ juga dapat diivestasikan sebagaimana jenis akad mudhârabaħ.
[8] Takaful Falah adalah produk Asuransi Takaful Keluarga yang dirancang secara khusus bagi Peserta yang menginginkan Manfaat Asuransi secara menyeluruh, ketika Peserta mengalami musibah Meninggal baik karena Sakit ataupun Kecelakaan; Cacat Tetap Total karena Sakit atau Kecelakaan; Cacat Tetap Sebagian karena Kecelakaan; Dana Santunan Harian selama peserta dirawat inap di Rumah Sakit dan juga Manfaat bila peserta mengalami atau menderita penyakit-penyakit kritis. Di download dari: http://www.asuransisyariah.net/2008/08/takaful-falah-asuranji-jiwa-dan.html, Tanggal: 20 Oktober 2009
[9] Di download dari: http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/takafulink-alia/, Tanggal: 20 Oktober 2009
[10] Di download dari: http://www.asuransisyariah.net/2008/08/takaful-falah-asuranji-jiwa-dan.html, Tanggal: 20 Oktober 2009
[11] Syarat ini ditetapkan pada asuransi Mubarakah Personal Protection Plan (MP3) Produk Asuransi Untuk Telemarketing. Lihat dalam: Di download dari: http://cutyuliati.blogspot.com/, Tanggal: 20 Oktober 2009
[12] Di download dari: http://cutyuliati.blogspot.com/, Tanggal: 20 Oktober 2009
[13] Produk ini bertujuan untuk mememelihara kesehatan peserta beserta keluarganya berupa penggantian biaya perawatan/pengobatan bila peserta di rawat inap di rumah sakit. Di download dari: http://cutyuliati.blogspot.com/, Tanggal: 20 Oktober 2009
[14] Kesimpulan ini sebetulnya juga tidak berlebihan, karena M. Syâfi’i Antonio juga menyebutkan bahwa ada empat sumber keuntungan utama yang diperoleh oleh perusahaan asuransi syari’ah, yaitu bagi hasil atau fee dari investasi surplus underwriting (surplus dana tabarru’), bagi hasil investasi (dari mudhârabaħ dana tabungan peserta), dana pemegang saham, dan loading (kontribusi biaya dari peserta). M. Syâfi’i Antonio dalam: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Live and General); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta : Gema Insani, 2004), h. xix
[15] Karena jangka waktu pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dan lain-lain) biasanya berlaku untuk periode satu tahun maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving) sehingga seluruh premi yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam satu pool/fund untuk kemudian dikelola oleh perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dari total dana ditambah hasil investasi dan dikurangi beban-beban asuransi (komisi agen, premi reasuransi, klaim, dan lain-lain), apabila kemudian terdapat surplus maka surplus tersebut akan dibagihasilkan antara peserta dan perusahaan dengan nisbah yang sudah ditentukan di awal perjanjian.
[16] Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah (disebut: Fatwa DSN No. 53/2006)
[17] Misalnya seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa sebesar Rp 10 juta dengan masa pertanggungan 10 tahun. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-4 dan baru sempat membayar Rp 4 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh Rp 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar Rp 6 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar sehingga dalam sistem asuransi syariah diperlukan mekanisme untuk menghapus gharar tersebut dengan menyediakan rekening khusus untuk pembayaran klaim (rekening ini disebut juga dengan rekening tabarru).
[18] Pojokasuransi.com. Akad Mudharabah Dalam Asuransi Syariah, Di download dari: http://www.pojokasuransi.com/content/view/45/1/, Tanggal: 20 Oktober 2009
[19] Fatwa DSN No. 53/2006. Pada fatwa bagian kesepuluh, Pengelolaan, poin (3) hanya menetapkan fee sebagai imbalan perusahaan: “Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
[20] Sebagai ilustrasi sederhana, kalau satu cabang PT Takaful Indonesia memiliki 100 orang nasabah perokok yang masing-masingnya membayar premi sebesar Rp. 100.000 per bulannya, maka dalam waktu satu tahun terkumpul dana tabarru’ sebesar Rp. 15,780,000. Kalau dana itu diinvestasikan, dan memang biasanya selalu diinvestasikan, dengan Asumsi Tingkat Investasi 7% (pertahun), maka akumulasi dana tabarru’ dan hasil investasinya adalah Rp. 16,884,600. Itu adalah jumlah dana tabarru’ dari peserta perokok untuk satu cabang. Kalau, misalnya, PT Takaful Indonesia memiliki cabang sebanyak 50, tentu jumlahnya akan berubah menjadi Rp. 844,230,000. Sekali lagi, itu baru dana tabarru’ dari peserta perokok yang telah menjalani masa perjanjian selama satu tahun.
[21] Fatwa DSN No. 53/2006
[22] Takaful Indonesia , op.cit., h. 6-7
[23] Takaful Indonesia mengecualikan sebanyak 22 item, yang rata-rata mencakup lebih dari satu jenis penyakit. Takaful Indonesia , op.cit., h. 11-12
[24] Penyakit yang secara tegas dinyatakan di-cover ada sebanyak 24 jenis penyakit, yaitu Stroke, Kanker, Serangan Jantung Pertama, Operasi Jantung Koroner, Operasi Penggantian Katup Jantung, Fulminant Viral Hepatitis, Penyakit Hati Kronis, Pulmonary Arterial Hypertension (primer), Penyakit Paru-Paru Tahap Akhir, Gagal Ginjal, Anemia Apastis, Transplantasi Organ Tubuh Penting, Kehilangan Kemampuan Melihat (buta), Kehilangan Kemampuan Mendengar (tuli), Kehilangan Kemampuan Berbicara (bisu), Koma, Multiple Sclerosis, Kelumpuhan, Muscular Dystrophy, Penyakit Alzheimer, Penyakit Motor Neoron, Penyakit Parkinson, Operasi Pembuluh Aorta, dan Luka Bakar Besar. Takaful Falah (Asuransi Jiwa dan Kesehatan), Di download dari: http://www.asuransisyariah.net/2008/08/takaful-falah-asuranji-jiwa-dan.html, Tanggal: 20 Oktober 2009
[25] Takaful Indonesia , op.cit., h. 7
[26] Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), edisi ke-6, cet. Ke-7, h. 2. Bandingkan dengan: Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995), h. 1. Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 13
0 komentar:
Posting Komentar