MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Selasa, 24 Mei 2011

KONSEP JAMINAN PADA ASURANSI SYARI’AH

Kata jaminan berasal dari akar kata jamin. Dalam bentuk kata kerja aktif, menjamin, ia punya tiga makna, yaitu: 1) menanggung (keselamatan, ketulenan, kebenaran dari orang, barang, harta benda dsb). 2) berjanji akan memenuhi kewajiban (membayar utang dsb). 3) menyediakan kebutuhan  hidup.[1] Setelah mendapat akhiran -an, jaminan, maka ia juga memberikan tiga makna, seperti dapat ditemui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[2] yaitu: 1) tanggungan atas pinjaman yang diberikan. Dalam hal ini ia merupakan sinonim dari kata agunan. 2) biaya yang ditanggung oleh penjual atas kerusakan barang yang dibeli oleh pembeli untuk jangka waktu tertentu. Dalam makna ini, kata jaminan merupakan sinonim dari kata garansi. 3) janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban pihak lain, apabila utang atau kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Makna yang terakhir ini lebih sering dipakai dalam bidang ekonomi. Untuk konteks asuransi, makna yang lebih mendekati dari tiga makna jaminan di atas adalah makna yang terakhir ini.


Seperti terlihat pada definisi di atas, asuransi syari’ah sendiri juga dipadankan dengan tiga kata dalam bahasa Arab, yaitu takaful, ta`mîn, atau tadhâmun. Selain kata ta`mîn, dari beberapa kamus bahasa Arab yang telah penulis telusuri, kata takâful dan tadhâmun, dengan timbangan tafâ’ul ini, tidak muncul sama sekali. Akan tetapi bukan berarti makna kebahasaan kata itu tidak bisa dilacak sama sekali. Pelacakan makna itu dilakukan dengan mengikuti aturan dalam kaidah kebahasaan (grammatikal).
Secara grammatikal, kata takâful dan tadhâmun memiliki timbangan (dalam bahasa Arab disebut wazan; الوزن) yang sama, yaitu التَّفَاعُل. Akar kata dari dua kata itu, yaitu kata kafala (كَفَلَ) sebagai akar kata takâful dan kata dhamina (ضمِن) sebagai akar kata tadhâmun, bisa dikatakan memiliki makna yang sama dan identik. Ibn Manzhur,[3] misalnya, menjadi dua kata tersebut (كَفَلَ dan ضمِن) secara begantian untuk menjelaskan makna yang lainnya. Dalam hal ini, keduanya berarti "mengumpulkan, menanggung dan menjamin".[4] Penggunaan kata kafala dengan makna dhamina (menanggung atau menjamin) ini dapat dilihat dalam al-Qur’an sura Âli 'Imrân [3] ayat 37 (وكفلها زكريا). Penggalan ayat ini dibaca dengan dua qirâ`aħ: Pertama dengan huruf fa` bertsydid (وكَفَّلها زكريا), ini yang populer di Indonesia. Kedua, dengan huruf fa` tanpa tasydid (وكَفَلها زكريا). Qirâ`aħ pertama berarti Allah menjaminkan Maryam kepada Zakariya (ضمَّنها إِياه), sehingga terjaminlah pemeliharaannya (dalam versi Indonesia diartikan dengan: Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya). Qirâ`aħ kedua berarti Zakariya menjamin semua kebutuhannya (ضمِن القـيام بأَمرها).[5] Karena dua akar kata itu adalah sinonim, maka makna keduanya bisa dilacak dengan menelaah makna salah satunya. Dalam hal ini, penulis akan melacak makna keduanya dari kata takâful.
Mengikuti kaidah kebahasaan, ketika kata kafala dan dhamina berubah bentuk sesuai dengan timbangan tafâ’ul (takâful dan tadhâmun), maka keduanya bermakna “saling menanggung” atau “saling menjamin”. Sebab, perubahan bentuk itu menghasilkan perubahan makna, dan timbangan tafâ’ul ini digunakan untuk merefleksikan adanya pekerjaan timbal balik antara dua subjek atau lebih (لمشاركة أمرين فصاعدا).[6]
Dengan makna kebahasaan seperti itu, cukup relevan kalau dua kata itu digunakan sebagai istilah yang menggambarkan jaminan pada asuransi syari’ah. Di mana jaminan yang terdapat pada asuransi syari’ah memang diberikan oleh semua peserta yang terlihat di dalamnya. Akan tetapi, sebagai sebuah pemaknaan secara kebahasaan, dua kata itu tidak memberikan indikasi sama sekali bahwa jaminan yang dimaksud adalah jaminan material. Malah, kalau dirujuk pada jaminan Zakariya terhadap Maryam di atas, maka jaminan itu bersifat sangat umum, yaitu jaminan menyeluruh, mulai dari kebutuhan material, pendidikan, keamanan dan sebagainya.
Dalam terminologi ulama fikih klasik[7] sendiri, kata takâful lebih mendekati pemahaman jaminan paralel. Di mana ada dua pihak yang sama-sama melakukan penjaminan. Akan tetapi, penjaminan yang mereka lakukan bukan antara satu dengan lainnya, melainkan yang satu menjamin pihak lain yang terlebih dulu telah menjamin pihak lain.[8] Dalam kasus ini, makna takâful tersebut masih dalam bentuk makna dasarnya, dan secara kebahasaan hal itu juga tidak bisa dikatakan salah. Sebab, kata dengan timbangan tafâ’ul, selain memang memunculkan makna musyârakaħ, dalam beberapa kasus juga tidak memberikan perubahan makna terhadap kata dasarnya sama sekali.[9]
Kata ta`mîn, yang juga ditempatkan sebagai sinonim dari jaminan atau asuransi pada definisi di atas, berasal dari akar kata amana (أمن), yang berarti aman (الأَمان والأَمْنُ; lawan dari takut; الخوف) dan amanah (الأَمانةُ; lawan dari khianat; الخِيانة).[10] Secara psikologis, rasa aman yang tercermin dari kata amana disebabkan karena adanya kepercayaan bahwa ia akan terpelihara dari sesuatu yang menakutkan. Pemahaman itu dapat dilacak dari kata amîn (yang juga jadi julukan Nabi, الأَمين, biasa di-Indonesiakan dengan orang terpercaya), yang berarti orang yang memelihara atau orang yang menjaga (الحافظ).[11]
Secara grammatikal, kata ta`mîn merupakan kata yang mengikuti timbangan taf’îl (التفعيل, mashdar lainnya adalah الفعَّال). Timbangan ini memberikan pamahaman sangat (للمُبالغة) dan berulang kali (للتكثير).[12] Contoh pengggunaan kata dengan timbangan ini terdapat dalam surat al-Nisâ` [4] ayat 164 (وكلم الله موسى تكليما)[13] atau al-Naba` [78] ayat 28 (وكذبوا بآياتنا كذابا)[14] Oleh karena itu, secara teoritis, perubahan kata amana menjadi kata ta`mîn (mestinya) memberikan makna sangat percaya atau sering percaya.
Kata ta`mîn dalam terminologi ulama fikih klasik[15] digunakan sebagai ungkapan bahwa suatu subjek telah membaca amin (آمين)[16] setelah selesai membaca seluruh rangkaian surat al-Fatihah, sama seperti kata tahmîd (التحميد) digunakan sebagai uangkapan dari bacaan al-hamd lillah (الحمد لله). Dengan makna seperti ini, sesungguhnya ta`mîn itu berarti permintaan atau doa, sebagaimana secara kebahasaan doa juga bisa disebut ta`mîn.[17] Menurut Ibn Hajar[18] ta`mîn (bacaan amin) tersebut berfungsi sebagai penyimpul dari pembentangan (ayat) sebelumnya (التخليص بعد البسط). Artinya, bacaan amin itu memang doa dan si pembaca amin dalam orang yang berdoa.
Dalam konteks doa’ secara umum, ta`mîn (bacaan amin) yang dilakukan seseorang, setelah orang lain membaca doa, akan menghasilkan balasan yang sama bagi keduanya. Hal itu didasarkan pada pemahaman terhadap firman Allah dalam surat Yûnus [10] ayat 89 yang menjelaskan perkenan Allah terhadap doa Musa dan Harun. Padahal pada ayat 88 disebutkan bahwa yang berdoa (mohon kehancuran Fir’aun dan pengikutnya) hanyalah Musa. Harun sendiri hanya melakukan ta`mîn.[19] Al-Thabariy[20] menguatkan hal ini dengan sebuah riwayat yang berasal dari Ibn Zayd bahwa orang yang mengaminkan (ta`mîn) suatu doa menjadi berserikat dengan pembaca doa tersebut.
Sampai di sini, sepertinya masih belum terlihat hubungan jelas antara ta`mîn dengan jaminan atau asuransi. Al-Munawiy[21] memang menyebutkan adanya sebuah akad jaminan keamanan atau ta`mîn, akan tetapi akad tersebut dilakukan antara non muslim, yang menetap atau akan memasuki wilayah Islam, dengan pimpinan (imam) umat Islam atau wakilnya. Akad jaminan ini disertai dengan penyerahan sejumlah uang atau harta setiap tahunnya atas dasar kerelaan orang tersebut. Akad itu sendiri lebih populer dengan sebutan jizyaħ (الجزية), yang secara bahasa berarti izin (المجازاة). Sementara orang yang meminta perlindungan itu disebut dengan al-musta`min (المستأمن).[22] Keberadaan akad seperti ini didasarkan pada permintaan jaminan keamanan yang dilakukan oleh orang-orang Quraysy ketika Rasulullah dan pasukannya datang untuk menaklukkan kota Makkah. Riwayat tersebut cukup panjang, bagian yang relevan dengan diskusi ini berbunyi sebagai berikut:
عن بن عباس قال لما نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم مر الظهران قال العباس قلت والله لئن دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم مكة عنوة قبل أن يأتوه فيستأمنوه إنه لهلاك قريش فجلست على بغلة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت لعلي أجد ذا حاجة يأتي أهل مكة فيخبرهم بمكان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليخرجوا إليه فيستأمنوه  قال نعم من دخل دار أبي سفيان فهو آمن ومن أغلق عليه داره فهو آمن ومن دخل المسجد فهو آمن قال فتفرق الناس إلى دورهم وإلى المسجد[23]
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Ketika Rasulullah sampai di Marr al-Zhahran (sebuah tempat di dekat kota Makkah), al-‘Abbas berkata: ‘Demi Allah, kalau Rasulullah memasuki kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka meminta perlindungan, sungguh akan hancurlah suku Quraysy’. Ibn ‘Abbas berkata: ‘Saya duduk di atas keledai Rasuluullah SAW dan saya katakan kepada Ali: ‘Saya mengetahi orang-orang yang ada keperluan memasuki kota Makkah’. Lalu Ali menyuruh mereka memberi tahu pendudk Makkah tempat Rasulullah berada, supaya mereka menemuinya untuk minta perlindungan… Nabi bersabda: ‘Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia dilindungi (آمن), siapa yang menutup pentu rumahnya, maka ia dilindungi, dan siapa yang memasuki mesjid, maka ia dilindungi’. Setelah itu, penduduk Makkah bersegera memasuki rumah mereka dan mesjid”. (HR. Abu Dâwud dan al-Bayhâqiy)
Dengan memahami hal di atas, terlihat bahwa ta`mîn memang bisa dijadikan sebagai akad perlindungan. Walau dalam hadis di atas perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan keamanan pada saat perang, akan tetapi tentu saja perlindungan itu bukan hanya terbatas untuk kondisi perang saja. Akad yang sama juga bisa dipakai untuk meminta jaminan terhadap keamanan pengiriman barang, misalnya, agar sampai ke tujuan dengan selamat, sebagaimana yang biasa dilakukan pada asuransi angkutan. Untuk jaminan tersebut bisa dibebankan biaya tertentu, sebagai imbalan bagi orang yang memberikan jaminan.
Bahasan di atas memberikan kesimpulan bahwa cukup beralasan kalau jaminan pada asuransi syari’ah dipadankan dengan kata takâful, tadhâmun dan ta`mîn sebagai sinonim. Karena memang ada keterkaitan makna antara ketiga kata itu dengan jaminan yang terdapat pada asuransi pada umumnya, termasuk asuransi syari’ah. Berikutnya, tentu muncul pertanyaan, bagaimana bentuk teknis jaminan yang ditawarkan oleh asuransi syari’ah?.


[1] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi III, Cet. III, h. 456
[2] Ibid.
[3] Ibn Manzhur, op.cit., Juz 11, h. 590 (untuk kata kafala) dan Juz 13 h. 257 (untuk kata dhamina)
[4] Di antara sebab penamaan salah seorang nabi dengan Dzul Kifliy adalah karena ia menjamin (kifl) melakukan shalat sebanyak 100 kali dalam sehari sampai beliau meninggal dunia. Ibid., Juz 11, h. 588
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubiy (disebut: al-Qurthubiy), al-Jâmi' al-Ahkâm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syu'ub, 1372 H), Juz 4, h. 70. Isma'il bin 'Umar bin Katsir al-Dimasyqiy (disebut Ibn Katsir), Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), Juz 1, h. 360-361
[6] Abu Muhammad ‘Abdillah Jamal al-Din bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Abdillah bin Hisyam al-Anshariy, Awdhah al-Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik, (Beirut: Dar al-Jil, 1979), Juz 4, h. 395. Jamal al-Din Abi ‘Umar dan ‘Utsman bin ‘Umar al-Duwayniy (disebut: al-Duwayniy), al-Syafiyah fi ‘Ilm al-Tashrif, (Makkah al-Mukarramah: al-Maktabah al-Makiyyah, 1995), h. 20. Abi al-Qasim Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyariy, al-Mufashshal fi Shin’ah al-I’rab, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1993), h. 371. Baha` al-Din ‘Abdillah bin ‘Uqayl al-‘Aqiliy al-Mishriy al-Hamdaniy, Syarh Ibn ‘Uqayl, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), Juz 4, h. 263
[7] Sepanjang penelusuran penulis, kata takâful hanya digunakan masing-masing satu kali oleh dua ulama fikih, yaitu: Muhammad al-Khathib al-Syarbayniy (disebut: al-Syarbayniy), Mughniy al-Muhtaj, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 2, h. 205. 'Abd al-Hamid al-Syarwaniy (disebut: al-Syarwaniy), Hawasyiy al-Syarwaniy, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 5, h. 262
[8] Sebagai contoh, seseorang bernama Eka menjamin kepada Enda untuk menghadirkan barang atau orang pada saat yang dijanjikan. Namun bisa jadi karena Enda belum mempercayainya secara penuh, lalu dimintalah pihak lain, anggap saja bernama Teguh, untuk memberikan jaminan bahwa Eka akan memenuhi jaminan yang telah diberikannya itu. Dalam hal itu, yang terjadi bukan saling jamin antara Eka dengan Teguh, dan bentuk penjaminan yang mereka lakukan pun masih murni sejalan dengan konsep kafâlaħ yang dikemukakan ulama.
[9] Sebagai contoh adalah kata tajâhala yang berarti “membodohi”. Kalaupun ada makna lain darinya, makna itu hanya menunjukkan kelebihan (ketinggian dan sebagainya) subjek terhadap objek pekerjaan yang dilakukan. Lihat dalam: al-Duwayniy, loc.cit.
[10] Ibn Manzhur, op.cit., Juz 13, h. 21
[11] Abu al-sa’adat al-Mubarik bin Muhamamd al-Jaziriy (disebut: al-Jaziriy), al-Nihayah fi Gharib al-Hadîts wa al-Atsar, (Beiru: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979), Juz 1, h. 71
[12] Abi bakar Muhammad bin Sahal al-Siraj al-Nahwiy al-Baghdadiy, al-Ushul fi al-Nahw, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1988), Juz 3, 116
[13] Dalam al-Qur’an terjemahan Indonesia ayat ini diartikan dengan: Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung
[14] Dalam al-Qur’an terjemahan Indonesia ayat ini diartikan dengan: dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh- sungguhnya.
[15] Al-Raziy, op.cit., h. 20. al-Kasaniy, op.cit., Juz 1, h. 207. Muhamamd Amin (disebut: Ibn 'Abidin), Hasyiyah Radd al-Mukhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn 'Abidin), (Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H), Juz 1, h. 476. Ahmad bin Ghanim bin Salim al-Nafrawiy al-Malikiy (disebut: al-Nafrawiy), al-Fawakih al-Diwaniy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H), Juz 1, h. 178. Ibrahim bin 'Ali bin Yusuf al-Fayruz Abadi al-Syiraziy, al-Muhadzdzab, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, h. 72. al-Syarbayniy, op.cit., Juz 1, h. 160. Ibn Qudamah I, op.cit., Juz 1, h. 290. Ahmad 'Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Haraniy (disebut: Ibn Taymiyyah), Kutub wa Rasa`il wa Fatawa Ibn Taymiyyah fi al-Fiqh, (t.tp.: Maktabah Ibn Taymiyyah, t.th.), Juz 22, h. 278
[16] Sebagai ulama malah secara tegas membatasi bahwa al-ta`mîn itu adalah bacaan amin. Muhammad ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Rahim al-Mubar Kafuriy Abu al-‘Ala, Tuhfah al-Ahwadziy bi Syarh Jami’ al-Turmudziy, (Beirut: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz 2, h. 58. Muhammad bin 'Abd al-Baqiy bin Yusuf al-Zarqaniy, Syarh al-Zarqaniy, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1411 H), Juz 1, h. 259.
[17] Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdillah bin ‘Abd al-Barr al-Nimriy, al-Tamhid li li ma fi al-Muwatha` min al-Ma’aniy wa al-Asanid, (Maroko: Wizarah ‘Umum al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1387 H), Juz 7, h. 11
[18] Ahmad bin 'Ali bin Hajar Abu al-Fadhal al-'Asqalaniy, Fath al-Bariy, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1379 H), Juz 2, h. 263
[19] Al-Thabariy, op.cit., 11, h. 160
[20] Ibid., 11, h. 161. Lihat juga: ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jawziy (disebut: al-Jawziy), Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1404 H), Juz 4, h. 58
[21] Muhammad 'Abd al-Ra`uf al-Munawiy (disebut: al-Munawiy), al-Ta'arif, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma'ashir, 1410 H), h. 243
[22] Pada dasarnya, al-musta`man dipahami sebagai orang yang meminta perlindungan terhadap musuhnya dalam keadaan perang, baik ia seorang muslim atau kafir harbiy. Al-Qawnuniyy, op.cit., h. 185. Yahya bin Syaraf bin Mura al-Nawawiy (disebut: al-Nawawiy), Tahrir Alfazh al-Tanbih, (Damaskud: Dâr al-Qalam, 1408 H), h. 325. Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba'liy al-Hanbaliy (disebut al-Ba'liy), al-Muthli' 'Ala Abwab al-Muqni', (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1981), h. 221
[23] Sulayman bin al-Asy'ats Abu Dawud al-Sajastaniy (disebut: Abu Dawud), Sunan Abi Dawud, (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 3, h. 162. al-Bayhâqiy, op.cit., Juz 9, h. 118. Lihat juga: Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhim Abadiy Abu al-Thayyib, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dâwud, ((Beirut: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), Juz, 8, h. 180. al-Syawkaniy I, op.cit., Juz 8, h. 169

0 komentar:

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP