BAITULMAL DALAM KONSEP AWALNYA
Tulisan ini merupakan bagian awal dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian awal ini, kita akan mengetengahkan pemahaman tentang Baitulmal tersebut dari segi kebahasaan dan peristilahan.
Kata Baitulmal (bait al-mâl; بيت المال) merupakan bentuk idhâfah (dalam bahasa Indonesia sama dengan “kata majemuk”), yang terdiri dari mudhâf (bait) dan mudhâf ilaih (al-mâl). Kalau dua kata ini diartikan secara terpisah, maka ia akan berarti khusus dan berbeda dengan arti (makna) yang terbentuk dari penggabungan kedua kata ini. Untuk memahami lebih lengkap pengertian Baitulmal, berikut akan dikemukakan pengertian masing-masingnya.
1. Pengertian Bait
Kata bait, secara etimologi, berarti “Tempat bermukim atau tempat tinggal, apakah terbuat dari kulit binatang (kemah; tenda) atau dari susunan tanah liat (batu bata)”.[1] Ia berasal dari akar kata bâta (بات) yang berarti suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat bermalam.[2] Dalam bentuk jamaknya ia dapat ditemui dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah “أبيات”, “بيوتات”, dan “أباييت”. Menurut sebagian ahli bahasa, dua kata yang terakhir ini khusus digunakan untuk rumah orang-orang terhormat (bangsawan).[3]
Secara fenomenologis, kata ini memberikan makna kedekatan, keramahan, keamanan dan kedamaian secara psikologis. Kata ini dapat menggambarkan perasaan kedamaian, kedekatan dan terlindungi yang dialami oleh seseorang saat ia mendatangi istrinya. Hal itu diungkapkan dengan:
بات بيتا الرجل
Secara letter late ia berarti “seorang pria telah membuat sebuah rumah”. Maksudnya ia telah memiliki seorang istri. Ia sama dengan “home” dalam bahasa Inggris, di mana ketika diucapkan, maka makna psikologis yang tercermin darinya adalah suasana keakraban, kehangatan, saling perhatian dan kasih sayang yang dapat diandalkan dalam menghadapi semua persoalan; bukan semata bangunan kayu dan semen atau dari bahan apapun ia dibangun.[4]
Dalam al-Qur’an, kata bait[5] merujuk pada tempat tinggal (rumah), baik manusia atau binatang, tanpa kehususan, kecuali dalam bentuk ma’rifahnya; yang berdiri sendiri (tidak dalam kalimat idhâfah) ditujukan khusus buat Ka’bah, dan yang menjadi mudhâf ilaih dari kata ahl ditujukan buat keluarga Rasul. Kata bait yang berarti rumah, misalnya, terdapat pada surat Yunus: 87:
وأوحينا إلى موسى وأخيه أن تبوأ لقومكما بمصر بيوتا واجعلوا بيوتكم قبلة … (يونس: ٨٧)
“Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang ….”[6]
Kata bait yang berarti Ka’bah terlihat dalam surat al-Baqarah: 127:
وإذ يرفع إبراهيم القواعد من البيت وإسماعيل ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم (البقرة: ١٢٧)
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdo’a): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[7]
Kata bait yang berarti keluarga Rasul, misalnya dalam surat Hud: 73:
قالوا أتعجبين من أمر الله رحمة الله وبركاته عليكم أهل البيت إنه حميد مجيد (هود: ٧٣)
“Para malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?” (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”[8]
2. Pengertian al-Mal
Kata al-mâl (المال) sendiri, dengan bentuk jamak al-amwâl (الأموال), merupakan “Nama bagai segala sesuatu yang menjadi objek kecenderungan (disenangi) manusia”.[9] Ibnu Manzhur mengartikannya dengan “Segala yang dimiliki manusia”( ما ملكته من جميع الأشياء).[10] Ia berasal dari akar kata mawal (مول). Dalam pen-tashrif-annya berubah jadi mâla - yamûlu - mawlan (مال – يمول - مولا), dan berarti “menjadi memiliki harta” (صار ذا مال) atau “seseorang yang bertambah banyak hartanya” (كثر ماله). Menurut kaum materialis, kata itu khusus digunakan untuk unta, kambing, lembu, kerbau dan hewan ternak lainnya yang dianggap sebagai barang yang menentukan kekayaan seseorang. Untuk itu, baik dalam bentuk mu’annats ataupun muzakkar, ia tetap dapat digunakan tanpa harus merubah hurufnya.[11]
Menurut Ibn al-Atsir, pada awalnya kata al-mâl itu digunakan untuk sesuatu yang dimiliki, seperti emas dan perak, namun kemudian digunakan untuk segala sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki manusia secara materi. Penggunaan kata ini pada awalnya, di kalangan bangsa Arab, terbatas hanya pada unta, sebab untalah yang menjadi harta mereka yang terbanyak.[14]
Wahbah al-Zuhayliy memberikan pengertian lebih luas dari ulama sebelumnya. Ia mengatakan, secara bahasa al-mâl itu berarti:
كل ما يقتنى ويحوزه الإنسان بالفعل سواء كان عينا أم منفعة[15]
Segala sesuatu yang dikumpulkan (diusahakan) dan diperoleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya, baik berupa benda (materi) maupun manfaat (hak).
Dari pengertian ini terlihat bahwa yang disebut harta (dimiliki manusia) hanyalah yang diusahakannya, seperti emas, perak, binatang ternak, tanam-tanaman dan sebagainya (berbentuk materi), serta hak untuk memanfaatkan suatu benda, seperti pemanfaatan rumah, pakaian, kendaraan dan sebagainya (berbentuk hak). Sedang yang tidak diusahakan manusia, tidak bisa dikatakan harta, secara lughawi, seperti burung yang terbang di udara, ikan di air, tetumbuhan di hutan dan barang tambang yang masih dalam tanah.
Walau dalam al-Qur’an kata mâl[16] muncul dengan bentuk beragam, namun tatap merujuk pada kekayaan material, seperti dalam surat Hadid: 20:
اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب ولهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في الأموال والأولاد (الحديد: ٢٠)
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permain-an dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.”[17]
Secara terminologis, kata mâl juga mendapat perhatian serius bagi ulama fikih, karena pemahaman tentang hakikat harta sangat menentukan sikap dan tindakan terhadapnya, baik yang berhubungan dengan benda itu sendiri atau dalam rangka menjalin hubungan (sosial dan ekonomi) dengan sesama manusia. Ada beberapa pengertian mâl itu, yang dapat dikelompokkan jadi dua pengertian, yaitu yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah dan Jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanâbilah), sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiah
Ulama Hanafiah, seperti dikutip Wahbah al-Zuhailiy dari kitab al-Bahr al-Râ’iq, memberikan pengertian terhadap mâl sebagai berikut:
هو كل ما يمكن حيازته وإحرازه وينتفع به عادة[18]
Segala sesuatu yang biasanya mungkin untuk disimpan dan dikuasai serta dimanfaatkan.
Berangkat dari pengertian ini, bagi ulama Hanafiah sesuatu baru bisa dianggap sebagai “mâl” apabila memenuhi dua persyaratan,[19] yaitu:
Pertama, mungkin untuk disimpan dan dikuasai. Karenanya hal-hal yang bersifat non-materi tidak bisa dianggap sebagai mâl, seperti ilmu, kesehatan dan harga diri. Juga bukan kelompok mâl segala sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, seperti angin, panas matahari dan cahaya bulan.
Kedua, mungkin dimanfaatkan menurut kebiasaan. Karenanya segala yang tidak bisa dimanfaatkan, seperti bangkai dan daging busuk, atau tidak basa dimanfaatkan secara mandiri, seperti biji gandum, tetesan air atau segenggam tanah, tidak disebut mâl, karena ia tidak memiliki manfaat secara mandiri. Sementara “kebiasaan” (عادة) menghendaki adanya pengulangan (kontinuitas). Karenanya pemanfaatan benda dalam keadaan darurat, seperti makan bangkai dalam keadaan sangat lapar, tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan benda itu sebagai mâl, karena pembolehan memakannya didasarkan pada pengecualian.
Dengan definisi ini, maka segala sesutu yang dalam kebiasaan semua atau sebagian orang bisa dimanfaatkan dapat disebut mâl, seperti minuman keras dan daging babi, sebab orang yang tidak beragama Islam memanfaatkannya secara luas. Kalau sebagian besar manusia tidak me-manfaatkannya, seperti pakaian ketinggalan mode, ia tetap dapat disebut mâl, karena masih ada orang (walau sedikit) yang memanfaatkannya, kecuali kalau tidak seorangpun yang memanfaatkannya lagi.
b. Jumhur ulama
Jumhur ulama mengemukakan pengertian, seperti dikutip Wahbah, berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ulama Hanafiah:
Segala sesuatu yang mempunyai ukuran (nilai) dan mesti diganti dengan yang sebanding kalau ia rusak (hilang).
Jumhur hanya memberikan satu syarat penentu keberadaan sesuatu sebagai benda, yaitu “nilai”. Sesuatu yang bernilai harta, baik secara syara’, undang-undang maupun kebiasaan, maka itulah yang disebut dengan harta (mâl). Karena adanya unsur nilai ini dalam harta, apabila terjadi kerusakan yang disengaja terhadapnya, perusaknya harus meng-ganti dengan barang atau nilai yang sama dengan barang yang rusak itu.
Perbedaan definisi ini berpengaruh besar dalam cara pandang dalam menetapkan sesuatu sebagai benda (harta)[21], berikutnya juga berpengaruh pada pelaksanaan transaksi mu’amalah dan tatalaksana pergaulan kehidupan. Perbedaan mendasar berikutnya, berdasarkan pada definisi di atas, adalah dalam persoalan penentuan keberadaan hal-hal yang bersifat non-materi, namun menentukan keberadaan dan mempengaruhi kecenderungan manusia, seperti hak[22] dan manfaat[23].
Bagi ulama Hanafiah, mâl hanyalah benda material yang dapat diinde-ra. Sedang hak dan manfaat (jasa) bukan mâl, tetapi termasuk kelompok milik. Namun bagi Jumhur, mâl tidak hanya benda materi, melainkan juga manfaat. Malahan, menurut mereka, manfaat itulah unsur penentu keberadaan sesuatu sebagai mâl; dengan kualitas dan kuantitas manfaat itulah diukur nilainya.
Implikasi perbedaan ini adalah kalau seseorang menggunakan satu barang tanpa izin pemiliknya untuk kemudian dikembalikan (ghasab), bagi Jumhur ulama, pelakunya dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat bernilai mâl. Sementara bagi ulama Hanafiah, orang tersebut tidak bisa dituntut ganti rugi, sebab manfaat tidak bernilai mâl, dan dalam hal ini ia tidak mengambil benda tersebut; ia hanya memanfaatkannya. Namun demikian ulama Hanafiah tetap tidak membolehkan penggunaan harta dengan cara ini, sebab manfaat, sebagai hak milik, tetap dapat dijadikan mahar dalam perkawinan.[24]
Dari dua pengertian mæl di atas, pengertian terkuat adalah pengertian yang dikemuakan jumhur.[25] Hal ini didukung beberapa sebab, diantaranya:
Pertama, dalam berbagai nash dipahami bahwa hak dan manfaat itu dapat diganti dengan harta, seperti dalam al-Qur’an surat al-Thalaq: 6 berikut:
... فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن (الطلاق: ٦)
“… Jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya,….”[26]
Kedua, ulama Hanafiah sendiri menganggap manfaat dapat dijadikan mahar perkawinan. Sementara mereka mendefinisikan mahar dengan sejumlah harta yang jadi hak isteri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya.[27] Kerenanya, sebagian ulama menganggap mahar sebagai ganti kesediaan si perempuan untuk menyerahkan dirinya kepada (calon) suaminya (di-qiyas-kan dengan transaksi mua’amalah biasa).[28]
Ketiga, kalau kecenderungan manusia yang jadi patokan utama dalam penentuan suatu benda sebagai mâl, ternyata hak dan manfaat lebih digan-drungi manusia dibanding benda material. Hal ini terbukti dari perebutan dan persaingan kekuasaan (hak untuk menguasai) antara berbagai bangsa. Semua itu memperlihatkan secara transparan betapa mâl non materi memberikan daya pikat yang jauh lebih “menyilaukan” dibandingkan mâl yang bersifat material.
Keempat, berdasarkan tiga argumentasi di atas, definisi ulama Hanafiah tidak mampu menjelaskan semua afrad yang tercakup dalam lafaz mal (غير جامع), seperti jasa. Selain itu, definisi tersebut juga tidak bisa menghalangi masuknya afrad-afrad lain, seperti minuman keras dan daging babi, yang tidak termasuk ke dalam kelompok mal (غير مانع). Karenanya, definisi yang lebih syumul dan mâni’ adalah definisi Jumhur ulama.
Gabungan dua kata بيت dan المال membentuk satu pengertian etimologis yang berbeda dari artinya secara mandiri, yaitu “rumah harta”[29] atau “tempat penyimpanan harta” (خزينة المال)[30] atau “Departemen keuangan”.[31]
Pengertian secara terminologis dari Baitulmal dapat ditemukan dalam berbagai literatur yang menjelaskan terntang ketentuan-ketentuan yang harus diberlakukan terhadap harta dan ketentuan-ketentuan yang menjelaskan tentang lembaga kenegaraan. Muhammad Rawwas Qal’ahji mendefinisikannya dengan:
بيت المال هو المؤسسة التى ترد إليها وتنفق منها أموال الدولة[32]
Baitulmal adalah sebuah departeman yang menampung keuangan negara dan dari sanalah semua kebutuhan keuangan negara akan dibelanjakan.
Taqiyuddin An-Nabhani menekankan definisinya pada fungsi yang dijalankan Baitulmal, yaitu sebagai penyimpan, pemelihara dan penyalur harta umat Islam. Menurutnya Baitulmal itu adalah “Pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak Muslimin”.[33]
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, Baitulmal adalah “Lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syari’at. Baitulmal dapat juga disamakan dengan kas negara yang ada dewasa ini”.[34]
Tim penyusun Ensiklopedi Islam Indonesia mengemukakan pengertian Baitulmal secara sederhana, yaitu “Baitulmal merupakan suatu lembaga yang diadakan dalam pemerintahan Islam untuk mengurus keuangan negara”.[35]
Al-Mawardi menegaskan, bahwa Baitulmal itu lebih menekankan sisi fungsi atau keberadaannya (جهة) bukan bangunan atau tenpat penyimpanan (مكان) kekayaan nagara itu.[36] Karenanya yang terpenting adalah berfungsi atau tidaknya lembaga bersangkutan, bukan ada atau tidaknya gedung penyimpanan harta tersebut (seperti terlihat pada pengertian etimologis Baitulmal), walau keberadaan gedungnya tetap perlu sebagai gudang penyimpanan harta Baitulmal.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Baitulmal adalah lembaga keuangan yang mengelola, menampung, memelihara dan mendistribusikan seluruh kekayaan negara.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Dalam pandangan para fenomenolog, rumah (home; tentu juga بيت) merupakan dan mestinya menjadi habitat manusia. Artinya menjadi tempat ia berakar, dengan perlindungan dan keamanan sebagai unsur utama. Perbedaan antara toko (gudang) dan rumah adalah “tempat diam”-nya. Kalau orang tua tidak mempunyai perhatian untuk anak, kalau tidak ada damai di rumah, tidak ada aturan atau orang tua sering absen, anak bisa mencari tempat makan dan tidur, tapi dia tidak mempunyai “tempat diam”. Pada waktu itu, tidak ada bedanya antara toko dan rumah. Tujuan utama manusia dalam membuat rumah adalah untuk melindungi diri dari iklim (hujan, salju, angin, matahari), menciptakan keamanan dan intimitas. M.A.W. Brouwer, Psikologi Fenomenologis, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), cet. Ke-2, h. 77-81
[5] Kata ini muncul sebanyak 26 kali; dalam bentuk mufrad-nya (bait; بيت/بيتا) mucul sebanyak 13 kali, dalam bentuk ma’rifah (dengan tambahan alif dan lam; al-bait; البيت) muncul sebanyak 12 kali, dalam bentuk jamaknya (buyût; بيوت/بيوتا/بيوتكم) sebanyak 31 kali,
[6] Dpag. RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 320
[7] Ibid., h. 33
[8] Ibid., h. 338
[9] Muhammad Amin (terkenal dengan nama: Ibn ‘Abidin), Rad al-Mukhtâr ‘ala al-Darr al-Mukhtâr Syarh Tanwir al-Abshâr, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), Juz, III, h. 224
[10] Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, 1996), Ed. II, jilid 13, h. 223. Louis Ma’luf, op.cit., h. 780
[11] Louis Ma’luf, Ibid.
[12] Ibid., h. 782
[13] Muhammad ‘Utsman Syabir mengutip pengertian yang dikemukakan oleh Ibn Nujaim (Hanafiah) yang berbunyi ما يميل إليه الطبع ويمكن ادخاره لوقت الحاجة (segala sesuatu yang menjadi kecenderungan manusia dan mungkin untuk memanfaatkannya pada waktu dibutuhkan). Muhammad ‘Utsman Syabir, al-Mu’âmalât al-Mâliyah al-M’âshirah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (al-Ardan: Dâr al-Nafâ`is, 1996), h. 11
[14] Al-Imâm Mjd al-Din al-Mubârak bin Mhd. al-Jazariy bin al-Atsir, al-Nihâyah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), Juz III, h. 373. Lihat juga: Ibn Manzhur, loc.cit.
[15] Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1984), h. 40
[16] Muncul sebanyak 47 kali; dalam berbentuk mufrad muncul sebanyak 13 {6 kali berbentuk mâl (مال): dan satu kali berbentuk mâli (مالي)}, berbentuk ma’rifah (+ alif dan lam; al-bait; المال), muncul sebanyak 4 kali, berbentuk jamak sebanyak 27 kali {5 kali berbentuk amwâl (أموال), 20 kali berbentuk amwâl(u/a/i)-hu/im (أموالهم), dan 2 kali berbentuk amwâl(i/a)nâ (أموالنا)}, dan berbentuk al-amwâl (الأموال) muncul sebanyak 3 kali.
[17] Departemen Agama RI., op.cit., h. 902
[18] Wahbah Zuhaili, op.cit., h. 40. Definisi ulama Hanafiah yang dikemukakan Ibn Jujaim, dikutip Muhammad ‘Utsman Syabir, dikritik Wahbah Zuhaili. Menurutnya definisi ini kurang (ناقص) dan tidak mencakup (غير شمول). Dengan definisi ini, maka sayur-sayuran dan buah-buahan termasuk kelompok harta. Padahal jika tidak dipetik, maka sayur-sayuran dan buah-buahan itu akan mengalami pembusukan dalam waktu cepat. Kemudian, kelemahan lainnya adalah menjadikan kebiasaan, yang selalu saja tidak stabil, sebagai penentuk keberadaan suatu benda untuk disebut sebagai “harta”, karena ada beberapa jenis benda yang dalam kebiasaan orang-orang tertentu dianggap sebagai “harta”, padahal bagi orang lain itu dianggap sebagai harta. Selain itu, biasanya tetumbuhan, walaupun belum diolah dan dikumpulkan, seperti yang ada di dalam hutan, tetap saja dapat dianggap sebagai harta kekayaan seseorang. Ibid., h. 41
[19] Ibid., h. 40-41
[20] Ibid., h. 42. Ibn al-Najjâr, seperti dikutip Muhammad ‘Utsman Syabir, mendefinisikan berbeda, yaitu: ما يباح نفعه مطلقا أو اقتناؤه بلا حاجة (segala sesuatu yang boleh diman-faatkan atau disimpan ketika tidak dibutuhkan). Muhammad ‘Utsman Syabir, loc.cit.
[21] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “harta” berarti “(1) Barang-barang (uang dsb.) yang menjadi kekayaan; barang-barang milik seseorang. (2) kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Departemen P & K., Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 342
[22] Hak adalah sesuatu yang ditetapkan syara’ (undang-undang) bagi seseorang karena kemampuannya dalam mengefektifkan kemampuan realnya atau kemampuannya dalam mengemban suatu kewajiban. Wahbah Zuhaili, op.cit., h. 42
[23] Manfaat adalah faidah yang dihasilkan dari zat suatu benda, seperti pemukiman yang muncul dari rumah, pengangkutan yang muncul dari kendaraan dsb. Ibid.
[24] Ibid. Lihat juga dalam Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 2, h. 525-526 (selanjutnya disebut Hukum Islam)
[25] Kesimpulan sama dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dan Muhammad ‘Utsman Syabir. Lihat Wahbah Zuhaili, op.cit., h. 42 dan Muhammad ‘Utsman Syabir, op.cit. h. 11. Berbeda halnya dengan Yusuf Qardawi , ia lebih cenderung pada ulama Hanafiah. Menurutnya, karena lebih dekat dengan pengertian yang dikemuakakn dalam kamus-kamus bahasa Arab dan dapat diterapkan melalui nash-nash zakat. Hanya sesuatu yang konkrit, bukan manfaat, yang dapat dipungut dan disimpan di perbendaharaan negara serta didistribusikan kepada yang berhak. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis, Judul Asli: Fiqh al-Zakah, Penerjemah: Salman Harun, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1993), cet. Ke-3, h. 124
[26] Departemen Agama RI., op.cit., h. 946
[27] Hukum Islam, op.cit., Jilid 3, h. 1042
[28] Ketika ‘Ali menikahi Fatimah, Nabi mengatakan:أعطها شيئا (berilah ia sesuatu). Syihâb al-Din Abi al-Fadhl Ahmad ‘Ali bin Muhammad bin Hajar al-Kanâniy al-‘Asqalâniy al-Qâhiriy, Subul al-Salam, (Bandung : Dahlan, t.th.), Juz III, h. 149. Qiyas yang digunakan ulama adalah dengan memahami bahwa anjuran Nabi untuk memberi mahar (walau sebuah cicin temba-ga) dengan عضو مستباح بمال (gantilah kerelaaannya dengan harta). Ulama lain menganggapnya sebagai ibadah, karenanya ia wajib. Untuk itu, tidak ada batasan minimal. Kewajiban itu terpenuhi dengan memberikan sesuatu yang mewakilinya. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubiy al-Andalusiy (selanjutnya disebut Ibn Rusyd), Bidayâh al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (t.tp.: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 14-17
[29] M. Abdul Mujieb, (dkk.), Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 36
[30] Louis Ma’luf, op.cit., h. 55
[31] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar, Judul Asli: Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khatthab, Penerjemah: M. Abdul Mujieb, dkk., (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 52. Dalam Kamus Istilah Fiqih M. Abdul Mujieb mengartikannya dengan Gedung Perbendaharaan Negara. Lihat: loc.cit.
[32] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khatthab, (Beirut: Dar al-Nufas, 1984), cet. Ke-4, h. 167
[33] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Judul Asli: An-Nidlam al-Iqtishad fi al-Islam, Penerjemah: Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 253
[34] Hukum Islam, op.cit., Jilid I, h. 186
[35] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Indonesia , Ensiklopedia Islam Indonesia , Jilid I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 222
[36]Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Baghdadiy al-Mawardiy, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyah, (t.tp. Dar al-Fikr, 1960), h. 213 (selanjutnya disebut: al-Ahkam).
0 komentar:
Posting Komentar