MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Sabtu, 01 Mei 2010

LATAR HISTORIS KEBERADAAN BAITULMAL

Tulisan ini merupakan bagian kedua (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan mengetengahkan kondisi sosiologis dan psikologis bangsa Arab pada saat Baitulmal tersebut lahir dan tumbuh.



Tanggung Jawab Ekonomis Pemerintahan Islam
Tugas ekonomis utama pemerintah Islam adalah mensejahterakan ummah (komunitas politik) secara adil. Karenanya upaya penanggulangan keamanan dalam negeri dan agresi dari luar, bukan satu-satunya upaya pemerintah. Ia harus disempurnakan dan diarahkan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, yang menuntut keterlibatan langsung pemerintah dalam pemajuan ekonomi.[1]
Pelaksanaan tugas tersebut, dalam terminologi ekonomis yang umum digunakan sekarang, dilakukan dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal[2] dan moneter yang sesuai dengan kebutuhan saat itu. Kebijakan itu bertujuan mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.[3] Secara umum kebijakan tersebut dilakukan dalam dua bentuk; pertama, mendorong masyarakat memulai dan meningkatkan aktivitas ekonomi, baik secara berkelompok atau perorangan. Kedua, kebijakan dan tindakan mengeluarkan dana kas negara (Baitulmal)[4]. Dua bentuk kebijakan itu telah dilakukan Rasul dan Khulafâ` al-Rasyidîn (khalifah rasyidin)[5].
Kebijakan itu secara khusus ditangani oleh Baitulmal. Baitulmal-lah yang mengelola pendapatan (pemasukan) dan pengeluaran negara (belanja negara), termasuk hutang negara. Selanjutnya, Baitulmal juga yang megelola masalah keuangan (moneter), baik pengadaan atau menjamin keseimbangan peredarannya.
Sebagai lembaga keuangan negara, Baitulmal tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan umat Islam sebagai sebuah komunitas sosial-politik,[6] yang terwujud setelah hijrah ke Madinah (Yatsrib).[7] Sebelumnya, komunitas yang dibentuk Rasul belum bisa dianggap sebagai komunitas sosial politik yang utuh. Walau dalam beberapa hal ia telah memainkan beberapa peran politik cukup signifikan, seperti kebijakan untuk melakukan aksi bersama dalam kegiatan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal itu belum bisa dikatakan sebagai indikasi adanya komunitas politik, terutama sekali karena mereka belum memiliki sebuah rumusan pikiran (idiologi) utuh yang dapat dijadikan rujukan dan lagalitas aksi yang dilakukan. Malahan hijrah itu sendiri dapat dianggap sebagai ujian terakhir, baik kepercayaan dan ketingian keimanan, pemikiran, kepentingan dan hubungan duniawi para pengikut Rasul, sebelum terbentuknya komunitas sosial politik.[8]
Gambaran sosiologis dan geografis pemrintahan Islam awal
Secara geografis dan demografis, kota Madinah (280 mil timur laut Makkah)[9] merupakan salah satu oasis (sumber ketenangan) subur dengan air berlimpah dan dikelilingi batu-batu vulkanis hitam. Di sebelah selatan terdapat pegunungan Uhud dan pegunungan ‘Asir di bagian barat dayanya. Harrah Waqim (timur) dan Harrah al-Wabarah (barat) merupakan dua tempat penting di kota Madinah. Bathan, Mudhaynib, Mahzur dan al-‘Aqiq merupakan lembah-lembah terkenal di sekitar Madinah yang membentang dari selatan ke utara kemudian bertemu di Ruumah pada titik pertemuan air bah.
Harrah Waqim (paling subur) dihuni orang Yahudi Banu al-Nadhir dan Banu Qurayzah.[10] Sementara Harrah al-Wabarah dihuni Yahudi Banu Qaynuqa. Selain tiga suku ini, terdapat suku Yahudi lain, seperti Banu Akrimah, Muhammar, Za’ura, al-Satibah, Jasham, Mu’awiyah, Murid, al-Qais dan Tsa’labah. Secara pasti, tidak diketahui berapa jumlah mereka, tapi beberapa ahli sejarah menyebutkan jumlah pejuang yang bisa disediakan tiga suku Yahudi besar di atas berjumlah 2000 jiwa. Dengan jumlah mayoritas, sebelum kehadiran bangsa Arab, suku Yahudi mendominasi kehidupan Madinah, baik politik, ekonomi maupun intelektual. Mereka mengembangkan kebudayaan penduduk asli Madiah, seperti dengan membangun benteng, keahlian di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kerajinan (tenun dan perkakas lain).[11] Namun mereka juga menerima pengaruh dari bangsa Arab setempat, seperti menguatnya solidaritas kesukuan (‘ashabiyah), kedermawanan, ketertarikan pada puisi dan latihan senjata.
Selain bangsa Yahudi, Madinah juga dihuni bangsa Arab yang datang kemudian namun menentukan dan (akhirnya) mendominasi Madinah, seperti suku Aws dan Khazraj.[12] Karena wilayah-wilayah subur sudah ditempati suku Yahudi, mereka terpaksa menempati wilayah gurun; suku Aws di wilayah al-Awali (lebih tinggi dan lebih subur) di samping suku Qurayzah dan al-Nadhir, dan suku Khazraj di wilayah yang lebih rendah, bertetangga dengan Banu Qaynuqa. Data pasti jumlah suku Aws dan Khazraj ini juga tidak ada, tapi saat membebaskan Mekkah (8 H) mereka bisa mempersiapkan 4000 prajurit.
Perbedaan kesuburan tanah memicu perseteruan berkepanjangan antara suku Aws dan Khazraj yang turut dipanas-panasi oleh bangsa Yahudi yang ingin kembali mendominasi kehidupan Madinah (diambil alih tahun 392 M), hingga menimbulkan beberapa kali peperangan. Perang terakhir adalah perang Bu’ath (5 SH) yang dimenangkan suku Aws (sebelumnya berulang kali kalah) yang beraliansi dengan Banu al-Nadhir dan Qurayzah. Tapi kedua suku ini kemudian menyadari tujuan orang Yahudi, dan mereka berdamai serta mengangkat “raja” Madinah, ‘Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul, yang berasal dari keluarga Khazraj dan bersikap netral dalam perang Bu’ath. Semenjak itu, mereka tetap mendominasi Madinah sampai Rasul hijrah.
Hijrah merupakan momentum penting dalam pembentukan, kemajuan umat Islam dan Madinah; dari sinilah dimulai penanggalan hijriyah sebagai bagian penting sebuah peradaban,[13] ia dapat dianggap sebagai kebijakan poli-tik-ekonomi umat Islam pertama untuk membentuk komunitas dengan aturan dan sumber daya pendukung sendiri; ia jadi bukti kesetiaan (integritas) terha-dap agama dan kepemimpinan baru; malah ia merupakan penentu terlepasnya umat Islam dari kungkungan kehidupan dan budaya Mekkah, untuk membentuk sebuah budaya dan perdaban sendiri yang maju dan terbuka.[14]
Perubahan dan kemajuan Madinah perlu diantisipasi dari hal-hal nega-tif dengan mengorganisirnya disertai sarana dan prasarana penunjangnya. Di siinilah Baitulmal memegang peranan penting. Sejarah keberadaan dan perkembangannya pada periode awal dapat dibagi jadi lima bagian, yaitu pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abu Thalib. (tulisan selanjutnya klik di sini)




[1] M. Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam; Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, Judul Asli: al-Iqtishad al-Islamiy, Penerjemah: MuhadiZainuddin dan A. Bahauddin Noersalam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), cet. Ke-2, h. 53-55. Peranan aktif negara dilakukan melalui penerapan undang-undang, menyeimbangkan perkembangan ekonomi, terutama mencegah pengangguran, gejolak konjungtur dan kemerosotan daya beli masyarakat, mengarahkan alokasi sumber daya, dan melakukan redistribusi pendapatan dan kekayaan hingga tidak muncul ketidakadilan seosial.  Besarnya peranan negara itu tergantung hasil kesepakatan pembagian fungsi antara pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat. M. Dawam Raharjo, dalam M. Rusli Karim, (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), h. 92
[2] Fiskal (fisc; Perancis:) berarti “Keranjang tempat uang”. Periatna Westra, dkk. (ed.), Kamus Administrasi, (Jakarta: PT. Gunung Agug, 1997), h. 125. Kebijakan fiskal (politik fiskal) adalah upaya pemerintah mengelola pendapatan negara, baik pemasukan maupun pengeluaran. Lihat: M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 119. M. Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: BPFE, 1996), edisi ke-4, h. 255, Sadono Sukirno, Pengantar Teori Ekonomi, (Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 1998), edisi ke-2, h. 422, dan Wirawan Martorejo, Teori dan Soal-soal; Prinsip-prinsip Ekonomi, Judul Asli: Theory and Problem of Principles of Econo-mics, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 78
[3] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Judul Asli: Islamics Economics, Theory and Practice, Penerj.: M. Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 230. Abul A’la al-Maududi menyebutkan bahwa tujuan negara yang dikonsepsikan al-Qur’an tidak bersifat negatif, melainkan bersifat positif; negara tidak banya bertujuan mencegah rakyat saling memeras, tapi juga melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara juga bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan seosial yang berkesinam-bungan yang telah diketengahkan Allah dalam al-Qur’an. Untuk kepentingan itu, akan digunakan kekuasaan politik dan, bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasi damai akan digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial maupun pendapat umum akan dijinakkan. Abul A’la al-Maududi, Sistem Politk Islam, Judul Asli: The Islamic Law and Constitution, Penerjemah: Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1990), h. 165-166
[4] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemiokiran, op.cit., h. 97
[5] Istilah khalîfah, dengan bentuk pluralnya khulafâ`, pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 M. dalam prasasti itu kata tersebut merujuk pada semacam raja muda atau letnan yang bertinda sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Dalam bahasa semitik ia kadang-kadang diartikan dengan “terus” atau melampaui, dan dalam bahasa Arab diartikan dengan “datang setelah” atau menggantikan. Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Judul Asli: The Political Language of Islam, Penerjemah: Ihsan Ali-Fauzi, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), h. 61 (selanjutnya disebut Bahasa). Bentuk institusional dari khalîfah biasa disebut dengan khilâfah (sinonim dari imâmah) yang berarti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan khalifah”. Ia berasal dari khalf yang berarti “wakil”, “pengganti” dan “penguasa”. Khulafâ` al-Rasyidûn berarti khalifah-khalifah yang terpercaya atau yang mendapat petunjuk. Ada yang menyebutnya seabgai khalifah yang amat taat dan setia kepada agama, khalifah besar dan khalifah ortodoks (berpegang teguh pada agama). Ia merupakan atribut yang digunakan untuk Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abu Thalib, yang berarti pengganti Rasul dalam kedudukannya sebagai kepala negara serta pemimpin agama dalam mempertahankan kemurnian ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, bukan dalam kedudukannya sebagai pembawa risala. (dalam perspektif seperti inilah gelar khalifah juga diberikan kepada Umar bin Abd al-‘Aziz (pen.). Hukum Islam, op.cit., Jilid 3, h. 918-920
[6] Sabagai konstitusi kehidupan, Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah, tapi juga mengatur seggala hubungan antara manusia (mu’amalah), baik secara individual maupun kolektif. Karena itu ia memerlukan basis teritorial dan komunitas (ummah) di mana aturan-aturannya disempurnakan dalam wahyu yang diturunkan di Madinah. Akram Diya` al-‘Umari, Masyarkat Madinah pada Masa Rasulullah, Penerjemah: Asmara Hadi Usman, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), h. 69 (selanjutnya disebut Masyarakat Madinah). Munawir Sjadzali menganggap fondasi utama bangunan negara Islam adalah bai’at (pertama dan kedua) yang dilakukan oleh utusan dari suku Khazraj di Aqabah tahuk ke-11 dan 12 kerasulan, yang juga jadi titik awal hijrah Rasul dan kaum muslimin. Muunawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Jaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), Edisi ke-5, h. 9
[7] Selain bernama Yatsrib dan Madînah, nama lain bagi Madinah (menurutYâqût 29 nama), diantaranya adalah Thayyibah (hawanya yang baik), al-Mihabbabah, al-Mahbub, al-Nahiyah, al-Mubarakah, al-‘Ashimah, dan al-Syarqiyyah. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam; al-Siyasiy wa al-Diniy wa al-Syaqafiy wa al-Ijtim’i, (Kairo, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1974), cet. Ke-8, h. 101 (selanjutnya disebut Tarikh al-Islam)
[8] Banyak kisah membuktikan hal ini, diantaranya riwayat Suhayb al-Rumi. Ketika ia bermaksud hijrah, kaum Qurays berusaha menghalanyinya dengan mengemukakan bahwa ia telah mengumpulkan banyak harta di Mekkah, kalau ia hijrah, semua itu akan tinggal dan terlantar. Tapi, Suhayb tetap hijrah dan meninggalkan semua hartanya. Abu Salamah dengan ikhlas meninggalkan isteri dan anak-anaknya hampir selama satu tahun, dan selama itu pula isterinya, Ummu Salamah, menangis setiap pagi di Abtah sampai sore. Hingga akhirnya ia bisa hijrah dengan peteranya dan bersatu kembali dengan suaminya. Ibid., h. 67-68
[9] Ibid., h. 53-58
[10] Diantara ahli sejarah ada yang menyebutkan bahwa suku bangsa Yahudi mulai pindah dari al-Sham (Syiria Raya) pada abad pertama dan kedua Masehi untuk menghindari dominasi Romawi yang telah berhasil menguasai Syria dan Mesir semenjak abad pertama sebelum Masehi. Perpindahan itu meningkat setelah Kaisar Titus (70 M) dan Kaisar Hadrian (132 dan 135 M) memberangus para pemberontak Yahudi. Ibid., h. 53-54
[11] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, Judul Asli: The Arabs In History, Penerjemah: Said Jamhuri, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet. Ke-2, h. 25
[12] Suku Aws dan Khazraj mempunyai hubungan (keturunan dari) dengan suku Azd Yaman yang pindah dari Yaman ke utara dalam periode yang berbeda, yang paling awal kemungkinan pada tahun 207 M, ketika Khuza’ah pindah ke Mekkah. Ibid., h. 56
[13] Tahun 17/16 H, melalui saran Ali, Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan Islam, menggantikan tahun gajah (fil) dan tahun lain. Awalnya Abu Musa al-Asy’ari mengkomplain surat Umar yang tidak bertanggal. Kemudian Umar mengumpul-kan para sahabat untuk membicarakannya. Ada saran untuk mengikuti penanggalan Romawi (dari masa Zulkarnain), Persi (setiap pergantian raja), dan waktu diangkatnya Muhammad sebagai rasul, atau semenjak hijrah. Umar memilih dan menetapkan peristiwa hijrah ke Madinah, yaitu 17 tahun sebelumnya (September 622M). Abi al-Farraj ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali bin Muhammad Ibn al-Jawzi, al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), Juz IV, h. 227 (selanjutnya disebut al-Muntazham). Tarikh al-Thabari, jilid III, h. 1250. Setelah Rasul hijrah, tiap tahun diberi nama khusus; tahun I setelah hijrah diberi nama idzn (permohonan), II amr (perintah), III tamhish (pembersihan), IV tarfi’ah (pengangkatan), V zilzal (goncangan), VI isti’anah (menghibur), VII istighlal (pengambilan besar-besaran), VII istiwa’ (pertengahan), IX bara’ah (terbatas), dan X wada’ (perpisahan). Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, Judul Asli: al-Siyaasah al-Maliyah li ‘Umar bin Khaththab, Penerjemah: Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 184 (selanjutnya disebut: Quthb)
[14] Secara sosiologis, hijrah bagi umat Islam sama artinya dengan Perang Salib bagi kaum Kristen Eropa. Dengan hijrah terbukalah wawasan masyarakat Islam tentang alam semesta. Ia mendorong Islam dan umatnya jadi agama dan masyarakat terbuka, yang tidak dikurung dinding-dinding asas, kepercayaan, konversi dan lambang-lambang-nya. Ia membuka jendela dirinya bagi masyarakat atau agama lain, berikutnya ia jadi faktor penentu perkembangan, pertumbuhan dan pendewasaan agama dan masyarakat Islam. Sejarah membuktikan bahwa keterkungkungan manusia, baik sebagai individu maupun komunitas, terha-dap tanahnya adalah faktor dasar pertahanannya dari kepunahannya, dan bertahannya agama serta pandangan kesemestaan (world view). Dengan kata lain, ia merupakan penyebab kebekuan dan ke-kerdilan. Hijrah setidaknya memberikan empat keuntungan, yaitu: (1) menyelamatkan kemerdeka-an dan kehormatan incividu, (2) menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dari lingkungan yang mendukung perjuangan di luar wilayah sosial politik yang zalim guna melakukan perjuangan menentang kezaliman tersebut, (3) mengembangkan pemikiran dan akidah di wilayah dan lingkungan lain, dan (4) mempelajari alam secara ilmiah. Ali Syari’ati, Rasulullah SAW Sejak Hijrah Hingga Wafat; Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, Judul Asli: Muhammad SAW Khatim al-Nabiyyin min al-Hijrah Hatta al-Wafat, Penerjemah: Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-3, h. 11-21 (selanjutnya disebut: Rasulullah SAW)

0 komentar:

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP