BAITULMAL PADA MASA ABU BAKAR (573-634 H)
Tulisan ini merupakan bagian keempat (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan mengetengahkan pertumbuhan dan perkembangan Baitulmal tersebut pada masa Abu Bakar.
Rasul meningggal tanpa menunjuk pengganti (orang/lembaga) dalam urusan duniawi ---urusan wahyu sudah berakhir dengan meninggalnya Rasul (8 Juni 623 M).[1] Sementara Islam masih belum mapan di tengah orang-orang yang baru memeluknya dan tidak mudah melupakan pengalaman masa pra-Islam mereka. Selain itu, kondisi perekonomian, khususnya perdagangan, benar-benar sangat memprihatinkan setelah peperangan sebelumnya.[2]
Dalam situasi genting ini, Abu Bakar[3] adalah satu-satunya tokoh yang bisa menjembatani kepentingan dan diterima orang banyak.[4] Dari pemilihan yang dilakukan di Saqifah baniy Sa’idah, dengan peranan besar Umar dalam meyakinkan orang banyak untuk menerima beliau.[5]
Persoalan utama yang dihadapi Abu Bakar adalah pembangkang membayar zakat, para nabi palsu dan orang-orang murtad (riddah).[6] Mengatasi ini, Abu Bakar bersikap tegas memerangi mereka, dengan Khalid bin Walid sebagai pimpinan utama (633 M/11 H). Peperangan yang mulanya ditujukan menumpas pembangkang, berubah jadi penaklukan ke daerah perba-tasan kerajaan Persia (Sasaniah)[7] yang kaya. Tidak dapat dipungkiri penak-lukan itu memiliki motif ekonomi, yaitu memperoleh ghanimah. Abu Bakar melihat upaya Khalid merupakan pemecahan ideal, walau bukan satu-satunya, dalam mengatasi resesi ekonomi persemakmuran Madinah. Terakhir, Khalid, atas perintah Khalifah, bergabung di Palestina dengan pasukan yang dipimpin Amr bin ‘Ash menghadapi pasukan Romawi (Bizantium).[8] Khalid diangkat sebagai pimpinan, lebih banyak atas pertimbangan kemampuan militernya, bukan atas perintah dari Madinah. Pasukan gabungan ini, berjumlah ± 24.000 orang, berhasil mengalahkan pasukan Romawi di Ajnadain (634 M/13 H).[9]
Dalam dua tahun kekhalifahannya, Abu Bakar berhasil melaksanakan tujuan utamanya, yaitu mengembalikan keutuhan pemerintah Madinah. Selain Makkah, Madinah dan wilayah sekitarnya yang sudah dikuasai Rasul, ia juga memperkokoh kekuasaan Islam di Yamamah, Bahrain, Aman, Yaman, serta memperluasnya dengan menaklukkan Syam, dengan pengecualian dua ben-teng Romawi di Casarea dan Palestina. Di akhir kekhalifahannya (hayatnya), ia tengah menunggu hasil ekspedisi pasukan yang dikirimnya ke Yarmuk, tapi ia tidak sempat mendengar kemenagan Khalid dan pasukannya. Ia juga ber-hasil mengislamkan suku-suku yang sebelumnya menentang Islam. Kegagalan Abu Bakar hanya ketidak mampuannya mengakhiri kemacetan perdagangan.[10]
Untuk menjalankan pemerintahannya, Abu Bakar mengangkat Zaid bin Tsabit dan ‘Utsman bin ‘Affan sebagai sekretaris pribadi. Ia mengangkat qadhi di berbagai daerah; Umar bin Khaththab di Madinah, ‘Itab bin Usaid di Makkah, ‘Utsman bin Abi al-‘Ash di Tha`if, al-Muhajir bin Abi Umayyah di Shan`a, Ziyad bin Lubaid di Hadramaut, Ya’la bin Umayyah di Khawlan, Mu’az bin Jabal di Jund, dan al-‘Ala` bin al-Hadhramiy di Bahrain. Sebagai pelaksana kebijakan eksekutif dipercayakan kepada sebagian sahabat, seperti Abu ‘Ubaidah, ‘Umar bin al-‘Ash, Khalid bin Walid dan Syurahbil bin Hasanah.[11] Penanggung jawab Baitulmal ditunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah.
Pada awalnya, Abu Bakar tinggal di daerah Sikh (pinggir Madinah). Enam bulan kemudian ia pindah ke kota Madinah dan bersamaan dengan itu dibuatlah sebuah rumah sebagai tempat penyimpanan kekayaan negara (Baitulmal). Selain itu, tidak banyak perubahan dilakukannya dari masa Rasul dalam pengelolaan Baitulmal, baik pos pemasukan maupun pengeluaran.[12] (tulisan selanjutnya klik di sini)
[1] Munawir Sjadzali, op.cit., h. 21. Perbedaan tentang pengganti Nabi jadi perdebatan besar dan telah memecah umat Islam, setidaknya, jadi dua bagian besar, yaitu Sunni dan Syi’ah. Faktanya pengganti beliau adalah Abu Bakar. Ada beberapa tradisi kepemimpinan Arab yang menjelaskan kenyataan itu, pertama, para pemimpin muncul dan diakui karena mereka telah membuktikan kemampuannya, seperti Abu Sofyan di kalangan Quraisy dan Muhammad di kalangan Muslim. Kedua, tidak lazim di kalangan mereka menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada orang muda yang msih belum diketahui dengan pasti kemampuannya. Karenanya tidak cukup alasan untuk memunculkan Ali (30 tahun) sebagai pengganti Rasul, selain kenyataan bahwa masyarakat Madinah memperlihatkan sikap seolah-olah tidak ada (tahu) penujukan terhadapnya (di Ghadir Khum, daerah antara Makkah dan Madinah). Ketiga, menetapkan salah satu angggota keluarga (ahl bait) terbaik sebagai pemimpin. Untuk menerapkan konsep Ahl Bait, kelihatannya masih terlalu dini dan tidak mengarah kepada Ali, sebab Ahl Bait Nabi yang tertua dan cukup terpandang saat itu adalah Abbas yang baru masuk Islam. Untuk memperluas cakupannya di kalangan Quraisy, maka yang lebih mungkin adalah Abu Sofyan yang masih sangat muda keislamannya dan termasuk musuh utama Rasul sebelumnya. Sejarah Islam, op.cit., h. 21-25
[2] Susunan kekuasaan di tanah Arab masih bercorak pra-Islam dengan sedikit perobahan; kekuasaan tanpa kesukuan. Sejumlah suku dalam persemakmuran Mdinah terlihat resah, sebelum Rasul meninggal, dan berusaha menuntut kembali kebebasan bertindak. Madinah sendiri terancam perang saudara antara suku Khazraj dan ‘Aus. Tanda ini jelas terlihat dengan pertemuan yang langsung diadakan oleh suku Khazraj langsung sore hari meninggalnya Rasulullah. Ibid., h. 23
[3] Nama lengkapnya Abu Bakar ‘Abdullah bin ‘Usman Abu Quhafah bin ‘Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’id bin Taym bin Marrah bin Ka’ab. Dari ayah dan ibu, silsilahnya bertemu dengan Nabi pada Marrah. Ibunya adalah Salma (Umm al-Khair) binti Shakhr bin ‘Umar bin ‘Amir bin Ka’ab bin Sa’id bin Taym bin Marrah. Ia lahir 3 th. setelah tahun gajah dan meninggal hari Selasa 21 Jumadil Akhir 13 H (63 tahun). Ia memerintah selama 2 th. 3 bln. 10 hari. Abi al-Hasan ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali al-Mas’udiy, Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawhar, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), Juz II, h. 326-327. Selanjutnya disebut: Muruj al-Dzahab.
[4] Penunjukan Abu Bakar sebagai imam shalat, juga tidak memiliki arti terlalu penting, karena dalam kesempatan lain, Nabi sering mewakilkan tugas strategis-keduniaaan kepada orang tertentu (perlu diingat jabatan khalifah lebih bernuansa duniawi; pen), seperti pemerintahan Madinah ketika beliau ada urusan ke luar kota . Sejarah Islam, op.cit., h. 21. Ibn Khaldun juga melihat faktor penerimaan masyarakat dan kemampuan individualnya yang lebih menen-tukan, bukan penunjukannya sebagai imam shalat, ‘Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldรปn, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 160 (selanjutnya disebut Ibn Khaldun)
[5] Khalifah, selain tidak memiliki otoritas kenabian, hanya memiliki otoritas keduniawian dalam batas minimum saja; untuk mempertahankan ummah selama tindakannya mengikuti al-Qur’an dan Sunah. Terbukti sampai 6 bulan masa kekhalifahannya, Abu Bakar masih melanjutkan pekerjaannya sebagai padagang dan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (khalifah paroh waktu). Bukti lain, Khalid bin Walid dalam peperangan yang dilakukannya lebih banyak mengikuti keinginan dan instink pribadi. Ia tidak terlalu perduli dengan perintah dan teguran yang diberikan Abu Bakar (Khalifah yang berasal dari Bani Tamim), Ibid., h. 25-26 dan 33
[6] Ibn Katsir al-Dimsyiqiy, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), juz 5, h. 302-329. Penduduk Yamamah , Bahrain , Aman, dan Yaman, telah beriman saat Nabi hidup. Musailamah (Yamamah) mengaku Nabi dan minta pembagian kekuasaan dengan Rasul (fifty fifty). Nabi mengangkat al-Munzir bin Sawiy sebagai gubernur Bahrain . Ketika ia meninggal (tak lama setalah Nabi), penduduk Bahrain menolak kekuasaan Madinah. Aman dipe-rintah Ja’far bin al-Julandiy dan ‘Ibad bin al-Julandiy. Saat Nabi meninggal Luqaid bin Malik al-Azdiy mengaku sebagai Nabi dan sebagian penduduk Aman mengikutinya. Melihat itu, dua ber-saudara itu lari ke pegunungan dan melapor kepada Khalifah. Di Yaman Nabi mengangkat Bazin al-Farisiy, bermarkas di Shan`a. Ketika ia meninggal, kekuasaannya dibagi 8, di Shan`a diperintah Syahr bin Bazin, di Ma`rab Abu Musa al-Asy’ari, di Hamadan ‘Amir bin Syahr al-Hamdaniy, di ‘Akka al-Asy’ariyin al-Thahir bin Abi Halah, di Najran Umar bin Hazm, di Hadhramaut Ziyad bin Lubaid al-Bayadhiy, di Sakasuk dan al-Sukun Ukasyah bin Tawr dan Bani Mu’awiyah Muhajir bin Abi Umayyah. Mu’az bin Jabal, sebagai guru utama, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketika Rasul meninggal, ‘Abhalah (Aswad al-Unsi), mukim di Najran mengaku sebagai Nabi dan mengusir Umar bin Hazm dan Umar bin Sa’id bin al-‘Ash. Keduanya melapor ke Madinah. Tahun 11 H, Abu Bakar mengirim Khalid untuk memerangi Musailamah, al-‘Ala` bin al-Hadhramiy ke Bahrain, dan Huzaifah bin Muhshan ke Aman dan Yaman sampai akhirnya penduduk yang tersisa kembali memeluk Islam dan melaksanakan kewajiban zakat. al-Muntazham, op.cit.. jilid IV, h. 80-87. Muhammad al-Khudhari Bek, Itmam al-Wafa` fi Sirah al-Khulafa`, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), h. 29-3 (selanjutnya disebut Itmam al-Wafa`)
[7] Kerajaan Sasaniyah (Persia Sasanid) dengan ibu kota Ctesiphon (Madain) dan Zoro-astrianisme sebgai agama negara, terdiri dari tanah plateau (Iran ) yang dihuni bangsa berbahasa Indo-Eropa berbudaya Asiatik anti Hellenik. Susunan organisasi angkatan perang telah menguasai sendi-sendi ekonomi dan militer yang padu, hingga akhir abad keenam struktur feodalisme tua kerajaan ini hancur, digantikan oleh despotisme militer yang loba. Bernard Lewis, op.cit., h. 36-37
[8] Kerajaan Romawi, dengan ibu kota Konstantinopel, beragama Katolik Yunani (Greek) dan Kristen, yang sampai masa perluasannya masih merupakan daerah administrasi Roma. Hampir seluruh daerahnya berkebudayaan Hellenik dan sedikit pengaruh budaya Yunani, dengan basis kekuatan di plateau Anatolia yang tinggi. Ke selatan terhampar propinsi-propinsi Syiria dan Mesir yang penduduknya ---sebagian Aramaik, sebagian lagi Coptik--- dipecah belah oleh ras dan memi-liki kebencian kepada Romawi karena beban pajak yang sangat berat dan diibaratkan dalam gereja Monophysit (heterodox) sebagai golok yang diarahkan kepada kredo Ortodox kerajaan Romawi. Di Palestina, orang Yahudi (mayoritas) merupakan elemen penting dan lebih menderita dibandingkan penduduk Kristen Heterodox. Ibid., h. 36
[9] Sejarah Islam, op.cit., h. 33-37
[10] al-Muntazham, op.cit.. jilid IV, h. 78-123. Sejarah Islam, op.cit., h. 37
[11] Ibid.. h. 72-73. Pada periode awal ini, belum dikenal istilah wazir (Menteri). Tapi fungsi itu telah dijalankan; di masa Abu Bakar dijabat oleh Umar; di masa Umar dijabat oleh Utsman dan Ali. Ibn Khaldun, op.cit., h. 185
[12] Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 44
0 komentar:
Posting Komentar