BAITULMAL PADA MASA RASULULLAH SAW
Tulisan ini merupakan bagian ketiga (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan pertumbuhan dan perkembangan Baitulmal tersebut pada masa paliang awal, yaitu pada masa Rasulullah.
Dengan hijrahnya umat Islam, maka komposisi masyarakat Madinah jadi sangat kompleks. Selain penduduk yang sudah menetap sebelumnya, baik Yahudi maupun Arab (Anshâr), penduduk kota Madinah bertambah dengan orang-orang yang berasal dari berbagai suku Mekkah (Muhajirîn). Untuk mengantisipasi pertentangan penduduk Medinah (terutama sesama Muslim[1] dan Yahudi) dan menghadapi kemungkinan serangan orang-orang (kafir) yang ada di sekitar Madinah, terutama sekali kafir Mekkah, maka Rasul membuat sebuah perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah.[2]
Dalam piagam (konstitusi) tersebut diatur tata aturan yang berkaitan dengan persoalan ketatanegaraan, khususnya penyelesaian masalah yang mengancam keutuhan masyarakat Madinah, baik dari dalam maupun dari luar kota . Di antara aturan itu, sebagian besar termasuk dalam wilayah wewenang Baitulmal. Diantara persoalan yang diatur di dalam Piagam Madinah, yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang Baitulmal, adalah sebagai berikut[3]:
a. Kaum Muslimin adalah umat yang satu, yang hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain, karenanya harus saling membantu dalam membayar denda yang harus dibayarnya.
b. Kelompok masyarakat lain, seperti Bani ‘Auf, Bani al-Harits, Bani Sa’idah, dan Bani Jusyam, tanpa mengubah akidah mereka, bahu membahu membayar denda dan tebusan bagi warganya yang ditawan musuh.
c. Setiap warga hendaknya memberlakukan semua orang dengan baik dan sejajar, baik orang merdeka atau budak, kecuali orang yang membangkang dari kebenaran atau berusaha menyebarkan kezaliman, dosa, permusuhan dan kerusakan. Untuk yang terakhir ini, kaum muslimin diberi wewenang mengambil tindakan. Sebaliknya, ia dilarang membela orang tersebut.
d. Setiap kelompok masyarakat, termasuk Yahudi, yang mengakui dan patuh pada piagam tersebut, kecuali orang musyrik Quraisy, akan memperoleh pertolongan dan hak persamaan serta terhindar dari kezaliman dan makar merugikan. Selanjutnya, mereka saling membela dalam menghadapi pihak yang memerangi salah satu kelompok yang mengakui piagam tersebut.
e. Dalam menghadapi peperangan yang mengancam kota Madinah, orang-orang Yahudi dan Mukmin bersama menanggung biaya peperangan.
f. Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang mengakui piagam tersebut dan dikhawatirkan akan merusak kehidupan bersama, harus diselesaikan berdasarkan ajaran Allah dan Muhammad, utusan-Nya, dengan memperhatikan isi perjanjian yang telah disepakati.
g. Perdamaian antara orang Muslim dengan non-Muslim baru dinyatakan sah, kalau ketentuan dalam perdamaian itu telah dilaksanakan. Perdamaian tidak bisa dilakukan terhadap serangan yang disebabkan karena agama.
h. Piagam tersebut tidak memberikan peluang untuk melindungi para pelaku dosa dan kezaliman, baik berada di dalam maupun di luar kota Madinah.
Pentingnya piagam ini dirasakan ±40 tahun kepemimpinan Rasul dan khalifah rasyidin. Di awal kepemimpinan Rasul, hampir semua kebijakan dalam dan luar negeri didasarkan padanya, termasuk pengelolaan Baitulmal.
Pokok ajaran Islam, secara ekonomis, adalah kerja sama antara yang kaya (the have) dan yang miskin (the have not).[4] Prinsip ini dilaksanakan dengan memperkecil perbedaan antara mereka. Lebih lanjut hal itu diarahkan menuju peningkatan pendapatan dua kelas tersebut. Untuk mengatasinya tidak mungkin hanya dengan mengandalkan pertanian (sumber penghidupan dominan Madinah). Dalam konteks inilah jalur perdagangan yang selama ini dikuasai persemakmuran Makkah dan Yahudi Madinah menjadi sangat penting artinya.[5] Untuk itu, Rasul mengirim beberapa ekspedisi melawan pedagang Makkah. Ekspedisi itu sendiri bertujuan ganda; di satu sisi memperkokoh blokade terhadap kota Makkah, di sisi lain memperkuat tenaga, meningkatkan kemakmuran dan prestise ummah di berada kota Madinah.[6]
Dengan dikuasainya daerah sekitar Madinah, praktis hubungan dagang Makkah dengan pasar-pasar penting mereka di utara terputus dan menurunkan prestisenya. Hal itu diperparah dengan upaya penghancuran Madinah yang tidak terwujud. Rasul sendiri menyadari kemampun khusus orang-orang Mekah dalam perdagangan dan hubungan-hubungan dagang mereka, makanya beliau ingin Makkah ditaklukkan tanpa menghancurkan harga diri warganya.
Setelah kejatuhan Makkah (630 M), kegagalan suku-suku di sekitar-nya mempertahankan keberadaan mereka sebelumnya dan kedatangan suku-suku besar Arab untuk menyatakan kerja sama, telah membuktikan keber-hasilan Rasul membentuk sebuah sistim perekonomian yang sangat agamis.[7]
Untuk tugas pemerintahan diangkatlah sebagian sahabat sebagai gubernur, hakim, pengajar al-Qur`an, pemungut zakat dan jizyah. Di antaranya ‘Amr bin Hazm (th. 10 H) sebagai pengajar al-Qur’an dan pengumpul zakat di Najran, Abu Ubaidah bin Jarrah (pemungut jizyah di Bahrain ), Rafi’ bin Malik al-Anshari, Usayd bin Hudayr, Kalid bin Walid (Pemungut jizyah di Dumatut Jandal) dan Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash. ‘Attab bin Usayd (gubernur dan qadhi Makkah) serta Mu’az sebagai pengajar al-Qur’an dan aqidah. Utusan yang menemui Rasul setelah penaklukan Makkah, selalu didampingi sahabat untuk mengajarkan agama Islam dan memungut zakat. Rasul juga mengirim 26 duta (Muharram 7 H) yang membawa surat beliau ke enam negara. Ada yang dengan biaya sendiri, ada juga yang dibiayai Baitulmal.[8]
Sebagai negara yang merintis pembentukan pemetintahan dari nol, setelah sebelumnya mendapat embargo ekonomi dari suku Quraisy, kaum muslimin (Muhajirin) tidak memiliki harta dan pendapatan khusus. Langkah yang diambil Rasul untuk meningkatkan perkapita penduduk Madinah adalah dengan mendorong pelaksanaan muzara’ah dan musaqah (perjanjian pembagian panen) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Tindakan ini diambil dalam rangka memberikan lapangan kerja bagi kaum Muhajirin dan mening-katkan produksi lahan kaum Anshar. Selain itu, Rasul juga sangat men-dorong kegiatan industri, seperti penenunan, sektor jasa pengangkutan, kons-truksi jasa bangunan, pandai besi dan pengeksploitasian sumber daya air.[9]
Walau mengalami gangguan, Rasul dan sahabat tetap memperhatikan terhadap perdagangan; Zaid bin Haritsah masih berdagang (Madinah–Syiria) dengan modal penduduk Madinah.[10] Dengan penambahan lapangan kerja dan peningkatan produksi, akhirnya kesejahteraan umat Islam meningkat pesat dan dalam waktu 8 tahun sebagian mereka sudah memiliki kelebihan harta dari kebutuhan hidup selama setahun.[11] Dari sinilah kemudian zakat ditetapkan sebagai kewajiban bagi orang kaya untuk dikelola Baitulmal.
Zakat, pajak dan rampasan perang dimanfaatkan untuk memperkecil kesenjangan antara kaya dan miskin. Penyerahan dan pengumpulannya dikelola secara terorganisir oleh Baitulmal. Orang yang dipercayai mengurus keuangan rumah tangga Rasul, negara, dan tamu-tamu beliau, adalah Bilal bin Rabah, yang berkantor di mesjid Nabawiy. Rasul menyuruhnya mencari orang miskin untuk diberi makan dan pakaian. Di awal pemerintahan, tamu Rasul lebih banyak berasal dari orang miskin Madinah dan sekitarnya, tapi semenjak penaklukan Makkah, tamu beliau mulai bervariasi, baik kelas sosial maupun daerahnya, dan Rasul sering memberikan hadiah kepada mereka.[12]
Pengaturan pembagian ghanimah baru dimulai tahun ke-2 Hijriah, dengan turunnya surat al-Anfal (8) ayat 41. Tahun itu juga diwajibkan zakat fitrah. Sementara zakat, salah satu pos pemasukan Baitulmal, baru diwajibkan pada tahun ke-9 hijriyah dengan diturunkannya surat al-Taubah ayat 60.[13]
Di Badar (perang pertama dengan Quraisy), umat Islam berhasil menawan beberapa orang suku Qurasiy, yang ditebus 4.000 dirham perorang, tapi bagi yang tidak mampu diganti dengan mengajar 10 orang anak-anak muslim. Justifikasi fai` sebagai pemasukan Baitulmal terjadi tahun ke-4 H, ketika pengusiran Bani Nadzir. Jizyah disahkan tahun ke-6 H dari ahl kitab (Kristen) Najran. Wakaf pertama berasal dari Mukhairik (pendeta Yahudi yang masuk Islam), dengan menyerahkan 7 bidang kebunnya kepada negara.[14]
Ganimah yang diperoleh belum dikumpul di tempat khusus. Ia dibagikan kepada orang-orang yang ikut berperang, baik langsung atau tidak. Jizyah diambil dari Ahli Kitab dan Majusi (penduduk Bahrain ), kecuali daerah yang memiliki perjanjian khusus, seperti Najran (Ahli Kitab).[15]
Pembagian ghanimah disesuaikan dengan keadaan psikologis (keimanan) tentara dan medan perang. Pada peperangan awal yang diikuti para sahabat yang lebih mengutamakan syahid, harta tersebut dikumpulkan dulu untuk kemudian dibagikan kepada yang berhak.[16] Pada peperangan yang banyak diikuti oleh orang-orang Arab Badui, dimana keimanan mereka masih lemah dan lebih mengharapkan ghanimah, Rasul langsung mengumumkan, baik sebelum atau ketika perang berlangsung, bahwa yang berhasil membunuh lawan berhak memiliki seluruh harta kekayaannya.[17] Namun harta bersama pasukan lawan tetap dikumpulkan dan dibagi Rasul.[18]
Perlakukan Rasul terhadap tanah (sebagai bagian dari rampasan perang) berbeda dengan perlakukan Umar yang menjadikannya sebagai sumber penerimaan berbentuk kharaj. Diantara tanah yang dikuasai Rasul adalah tanah bangsa Bani Nadhir, Bani Quraizah, Khaibar dan tanah Makkah.
Selain Makkah,[19] semua tanah lain langsung dibagikan buat pasukan. Tanah Bani Nadhir diperoleh tanpa peperangan, dimanfaatkan Rasul untuk keperluan kaum muslimin.[20] Tanah Bani Quraizah diperoleh melalui pepe-rangan kecil dan dibagi menurut pembagian ghanimah (rinciannya di bawah). Tanah Khaibar (5 hari perjalanan dari Madinah), tersubur di Hijaz, sebagian dikuasai melalui peperangan yang diikuti 1.600 orang pasukan. Berdasarkan pejanjian yang ditawarkan penduduk Khaibar, tanah tersebut dibagikan,[21] namun pengolahan-nya tetap diserahkan kepada orang Yahudi Khaibar dengan ketentuan setengah hasilnya diserahkan kepada umat Islam. Perlakuan terhadap tanah khaibar ini tidak persis seperti kharaj, melainkan seperti muzara’ah, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan Musaqah.[22]
Pencatatan (administrasi) pemasukan negara belum jadi kebutuhan mendesak (tidak ada) di masa Rasul, karena beberapa alasan. Pertama, hal itu tidak dikenal pada masa itu. Kedua, umat Islam yang mampu tulis baca masih relatif sedikit, dan lebih sedikit lagi yang mengenal aritmatika. Ketiga, sebagian besar alat bukti pembayaran dibuat secara sederhana dan tidak tertulis, seperti sumpah. Keempat, sebagian besar distribusi zakat dilakukan secara lokal. Kelima, dalam banyak kasus ghanimah dibagikan langsung setelah peperangan. Sementara untuk pendistribusian, dalam banyak kasus diserahkan kepada para pengumpul zakat dan diperiksa sendiri oleh Rasul.[23] (tulisan selanjutnya klik di sini)
[1] Di antara sesama Muslim (Muhajirin dan Anshar), Rasul telah mempersaudarakan dengan perjanjian saling menjamin denda dan saling mewarisi (1 H), sebelum perang Badr. Sekitar 50 orang Muhajirin dipersaudarakan dengan 45 orang Anshar. Ikatan persaudaraan itu tidak beliau lakukan antara Ali dan diri beliau sendiri dengan golongan Anshar manapun. Maksudnya bahwa beliau bersaudara dengan semua golongan Muhajirin maupun Anshar. Akibat hukum saling menjamin dan saling mewarisi yang timbul dari ikatan persaudaraan itu dibatalkan setelah perang Badr dengan turunnya surat al-Ahzab ayat 6. Lihat: al-Muntazham, op.cit.. jilid III, h. 70-76
[2] Nabi sudah dikenal sebagai pedagang Makkah (pusat ekonomi dan persemakmuran Arab) dengan reputasi (julukan) “al-Amin”. Ia juga seorang organisator yang sangat paham dan terlibat dalam sistem persemakmuran Makkah dengan bukti kemampuan beliau menyelesaikan perselisihan peletakan Hajar Aswad di Ka’bah. Sementara Madinah tidak “diikutkan” dalam perse-makmuran ekonomi Makkah. Karenanya, penduduk Madinah sangat butuh orang yang mengerti dan mampu melibatkan Madinah dalam persemakmuran itu, atau membuat pusat persemakmuran baru dan menjadi penengah dalam meredakan kekacauan di kota Madinah. Hal ini terlihat dari pengakuan kerasulan beliau hanya diberikan sebagian kecil penduduk Madinah, sementara pengakuan beliau sebagai tokoh penengah hampir ditunjukkan oleh sebagian besar mereka. Untuk itu, mereka bersedia membayar dengan menampung Rasul (tenaga ahli dari Makkah) dan ± 70 orang pengikutnya. Mereka juga memberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan rencana kerjanya, termasuk dengan menyediakan landasan konstitusional wewenang mengelola persemakmuran Madinah. Walau ia tidak menyinggung persoalan perdagangan, tapi hal ini dianggap sudah mesti terjadi (karakter khusus gerakan agama di Arab selalu berkaitan erat dengan perekonomian, khususnya perdagangan, demikian juga sebaliknya). M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, Judul Asli: Islamic History, Penerjemah: Machnum Husein, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993), h. 10-15 (selanjutnya disebut: Sejarah Islam).
[3] Disarikan dari: Rasulullah SAW, Ibid., h. 39-42
[4] Sejarah Islam, op.cit., h. 11. Prinsip ini pada awalnya telah diterapkan dasarnya oleh nenek Nabi, Hasyim, untuk kemakmuran Makkah, namun menyisakan peluang kesenjangan seosial antara suku berpengaruh dengan suku yang tidak berpengaruh. Ibid, h. 19
[5] Awalnya Rasul berharap sambutan bersahabat dari bangsa Yahudi Madinah. Untuk itu beliau mengambil beberapa praktek agama Yahudi, seperti puasa pada hari Kippur dan menjadikan Yerussalem sebagai kiblat. Tapi mereka menolak, menghina dan memungkiri perjanjian yang sudah disepakati. Bernard Lewis, op.cit., h. 26. Selain itu mereka, sebelumnya menguasai perda-gangan Madinah dangan Tha’if sebagai salah satu pusat perdagangan aktif, melihat kehadiran Rasul sebagai peluang pengembangan ekonomi. Tapi hal ini kemudian disadari Nabi, maka semua praktek keagamaan mereka dibuang dan ikatan yang telah dijalin dilepaskan. Bani Qainiqa` adalah bangsa Yahudi paling berpengaruh dalam perdagangan Madinah, merekalah pertama kali diusir dari Madinah, kemudian diikuti bangsa Yahudi lain yang kemudian ternyata berusaha memusuhi dan mengha-langi usaha yang dirintis Rasul dan pengikutnya. Nasib buruk yang mereka alami, menjadi pengalaman sangat berharga bagi musuh-musuh Rasul. Sejarah Islam, op.cit., h. 16-17
[6] Ada dua karakter ummah yang dibentuk Nabi, di satu pihak ia adalah organisasi politik dengan Nabi sebagai pemimpinnya dan, di pihak lain ia memiliki arti keagamaan (urusan politik dan agama tidak bisa dipisahkan). Bernard Lewis, op.cit., h. 29. Menurut S.H.M. Jafri, dualisme karakter ini berakar dari budaya dan tradisi kesukuan Arab pra-Islam. Lihat: S.H.M. Jafri, Origin and Early Development of Shi’a Islam (Dari Saqifah Sampai Imamah; Asal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah), Penerjemah: Meth Kieraha, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), cet. Ke-2, h. 25-55. Di wilayah Arab, penyerangan dan penjarahan terhadap kafilah dagang merupakan gangguan yang biasa terjadi, kecuali dari suku yang memiliki perjanjian damai yang dilewati kefilah. Sementara Madinah, sebelumnya, tidak memiliki perjanjian serupa dengan Makkah. Untuk melakukan perjanjian itu, Makkah menyadari bahwa syarat perjanjian yang akan diajukan Rasul, kalau perjanjian itu diadakan, tidak dapat diterima, makanya mereka memusatkan perhatian untuk menghancurkan Madinah, khususnya membunuh Rasul. Sejarah Islam, op.cit., h. 18
[7] Mulanya pemelukan Islam bukan syarat untuk ikut anggota persemakmuran (ummah), tapi sekarang mereka harus menerima Islam, dan membayar pajak atau zakat, yang mirip dengan pajak sebagai untuk ikut dalam persemakmuran (perdagangan) Makkah. Sejarah Islam, Ibid., h. 18
[8] Kadim as-Sadr, dalam Adiwarman Karim (ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : The International Institute of Islamic Thought (IIT), 2002), cet. Ke-2, h. 98-99 (selanjutnya disebut Sejarah Pemikiran)
[9] Ibid., h. 69-73
[10] Ibid., h. 70.
[11] Salah satu bukti perhatian Nabi terhadap lapangan kerja dan peningkatan produksi, khususnya senjata adalah: Rasul mengutus salah seorang sahabatnya ke Persia menjemput empat ahli pembuat pedang, perisai, helm, tombak, panah dan busur berikut bahan baku yang diperlukan ---biji besi dan kayu Badamshak. Hasilnya, setelah perang Khandak, umat Islam telah memiliki dua senjata baru, yaitu Mangonel (alat pelempar batu, mirip meriam sekarang) dan Testudo (terbuat dari kayu dilapisi kulit seperti tameng atau perisai besar yang dimanfaatkan di kaki benteng sebagai pelindung lubang yang dibuat untuk menembusnya). Ibid., h. 101-102
[12] Bilal mengeluarkan hadiah kepada beberapa orang utusan suku masing-masing, diantranya: (1) tiap anggota utusan bani Murrah yang jumlahnya 13 orang menerima 10 ons perak, kecuali Harits bin Awf yang menerima 12 ons, (2) tiap anggota utusan bin Tsa’labah menerima 5 ons, (3) Bisr bin Mu’awiyah bin Tawr dari suku bani Buka` diberi beberapa domba betina, (4) tiap anggota utusan bani Hanifah yang jumlahnya 13 sampai 19 orang diberi 5 ons perak, dan (5) utusan dari bani Tujib yang jumlahnya 16 orang masing-masing menerima hadiah lebih besar dari hadiah utusan-utusan sebelumnya. Kadim as-Sadr, dalam: Ibid., h. 109
[13] Sebagian ahli hadis mengatakan zakat telah diwajibkan pada tahun ke-5 H. Hal itu diantaranya ditandai dengan telah terdapatnya kata-kata zakat dalam wahyu yang diturunkan pada periode Makiyah. Sabzwari, dalam: Ibid., h. 29-30
[14] Ibid., h. 28-32
[15] Dari kaum Nasrani Makkah, ditapkan sebesar 1 dinar tiap tahun. Yahya bin Adam al-Qursyiy, Kitab al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), h. 73 (selanjutnya disebut Yahya).
[16] Pada perang Badar, Rasul mengumpulkan seluruh ghanimah, yang diawali oleh perbedaan pendapat dalam pembagian harta tersebut. Setelah semua ghanimah terkumpul, Nabi membagikannya kepada orang-orang yang berhak, yaitu yang ikut berperang dan yang tinggal di Madinah yang menjalankan tugasnya masing-masing. Rasulullah SAW, op.cit., h. 56
[17] Perang Hunain hampir menghancurkan kejayaan Islam yang baru dirintis. Nabi sadar sebagian pasukannya berperang untuk mencari ghanimah dan tawanan, atau takut ditawan dan barang mereka dijadikan ghanimah (tidak sama dengan pasukan Badr). Karenanya Nabi mengumumkan bahwa siapa yang membunuh seorang kafir, dia berhak atas senjata dan pakaian perangnya. Ibid., h. 93
[18] Kadim as-Sadr memperkirakan jumlah tertinggi ghanimah di masa Rasul, termasuk khumus, safi , salb dan tebusan tawanan, adalah 6.200.000 dirham. Kontribusinya terhadap pendapatan umat Islam hanya 2%. Perkiraan itu tidak memperhitung-kan biaya ekspedisi, seperti senjata, transportasi, baju, makanan dll; serta mengenyampingkan kerugian akibat perang, baik langsung atau tidak. Biaya ekspedisi, setelah dikurangi dari 1/3 perkiraan, mencapai 60,33 juta dirham (±10 kali ghanimah yang diperoleh). Kerugian akibat ekspedisi sangat sulit diperkirakan. Ia berasal dari biaya tawanan (diperlakukan sangat “baik” untuk zamannya), penyerangan-penyerangan daerah pinggiran (termasuk lahan siap panen) oleh musuh Islam, dan kekalahan dalam peperangan. Ini menampik tuduhan sebagian sejarawan (umumnya akademisi Barat) bahwa ekspedisi umat Islam, khususnya periode Rasul, sangat dimotivasi oleh perolehan ghanimah, tidak benar sepenuhnya. Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 147-177
[19] Wilayah Hijaz, Makah, Madinah, Yaman dan wilayah Arab lainnya yang telah dikuasai dan telah ditentukan aturannya oleh Nabi, tidak bisa lagi diubah. Untuk daerah-daerah itu hanya berlaku zakat pertanian (1/10 atau 1/20). Abu Yusuf, op.cit., h. 58
[20] Setelah ditawarkan kepada kaum Anshar dan mereka menolak bagiannya untuk, dibagikan kepada para Muhajirin dan (menurut sebagian riwayat) kepada dua orang Anshar, yaitu Samak bin Kharasyah Abu Dujanah dan Sahl bin Hunaif. Yahya, op.cit., h. 33. Kaum Muhajirin yang mendapat bagianpun hanya mereka yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah (1.450 orang) dan hijrah ke Habsyah (40 orang). Yahya, Ibid., h. 41-42
[21] Ada lima wilayah utama di Khaibar, Katibah, Sulalim, Wathihah (dikuasai dengan damai), Shiqq dan Nathah (dikuasai melalui perang). Yang dikuasai dengan damai (penerima hasilnya) dibagi tiga; 2/3 (Sulalim dan Wathihah) untuk kaum Muslimin dan 1/3-nya (Katibah) untuk Rasul dan keluarganya. Yang dikuasai dengan perang dibagi jadi 36 bagian yang setiap bagiannya terdiri dari 100 bidang, setengahnya untuk nabi serta para deputinya dan sebagian lain dibagikan kepada pasukan yang ikut perang sesuai pembagian ghanimah. M. Ridzuan Awang, Undang-undang Tanah Islam; Pendekatan Perbandingan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994), h. 6. Lihat juga: Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitâb al-Amwâl, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), h. 61-62
[22] Di antara sebab Rasul menyetujui perdamaian tersebut adalah karena kebun dan kurma di daerah tersebut masih butuh tenaga untuk mengolahnya. Walaupun kum Anshar ahli dalam bidang pertanian, tetapi mereka masih membutuhkan tenaga orang Yahudi tersebut sebagai personil kekuatan pasukan Islam nantinya. Sementara tanah Makkah tidak dibagikan Nabi, melainkan dibiarkan tetap berada di tangan pemiliknya yang pertama. Yang dipercayakan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil jizyah dari bangsa Yahudi Khaibar adalah Abdullah bin Rawahah. Abu Yusuf, op.cit., h. 50. Quthb, op.cit., h. 78-80
[23] Bukti pemeriksaan pembukuan zakat terlihat dari kasus al-Lutbiqa yang dapat hadiah dari bani Sulaim dan disuruh Rasul mngembalikan. Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 35-36
1 komentar:
A YouTube Channel With Top Movies with Top Movies with Top
The channel is dedicated to all of the top movie fans. In youtube to mp4 my opinion, this channel is the best website for Oct 31, 2020 · Uploaded by Youtube Channel With Top Movies with Top Movies with Top
Posting Komentar