MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Sabtu, 01 Mei 2010

BAITULMAL PADA MASA UMAR BIN KHATHTHAB

Tulisan ini merupakan bagian kelima (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan mengetengahkan pertumbuhan dan perkembangan Baitulmal tersebut pada masa Umar bin Khaththab.


Sebelum meninggal (634 M/13 H), Abu Bakar menunjuk Umar bin Khaththab (581-644)[1] sebagai penggantinya. Hal itu lebih banyak bersifat saran yang bisa ditolak seandainya umat Islam tidak menyetujuinya, ternyata mendapat dukungan dari umat Islam.
Kondisi umat Islam yang diterima Umar dari tangan Abu Bakar secara umum terbagi dua, yaitu orang-orang yang setia terhadap Pemerintah Madinah dan mantan pembrontak (ahl riddah). Para ahl riddah tidak diberi kepercaya-an sama sekali dan diberlakukan berbeda dengan orang-orang yang setia terhdap Madinah di masa krisisnya, misalnya Abu Bakar tidak mengabulkan permintaan mereka (suku Syaiban) untuk diikutkan menaklukkan Irak.[2]
Kebijakan Umar pertama dalam perbaikan ekonomi dan politik adalah merehabilitasi kedudukan ahl riddah, diantaranya dengan mendorong mereka untuk ikut serta dalam penyerangan ke wilayah Persia.[3] Kebijakan ini tidak mendapat penolakan dari para sahabat, dan sangat membantu perjalanan pemerintahannya, terutama sekali dalam meningkatkan kekuatan pasukan Islam dalam memperbesar perolehan ghanimah dari daerah-daerah Persia dan Romawi. Dengan kebijakan inilah Umar bisa menguasai seluruh wilayah kerajaan Persia dan merebut Syiria (Syam) dari kekuasaan Romawi .[4]
Selanjutnya Umar juga mendukung ekspedisi penaklukkan Mesir dengan mengirimkan pasukan ± 8.000/-5.000 orang di bawah komando Zubair bin ‘Awwam. Ekspedisi ini dimulai secara proaktif oleh Amr bin ‘Ash.[5] Amr sendiri tahu banyak tentang mesir dan telah lama berkeinginan untuk menguasai Mesir. Pasukannya terdiri dari suku-suku kecil[6] yang terjepit oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat di Palestina, padahal merekalah yang memperoleh kemenangan pertama. Karenanya mereka memutuskan untuk menaklukkan Mesir dengan harapan memperoleh harta dan posisi lebih baik. Sementara anggota pasukan Zubeir terdiri dari suku-suku yang baru masuk Islam (kelompok-kelompok dari Yaman, sebelah timur Mahra) yang sebelum-nya memiliki status sedikit lebih rendah dengan saudara-saudara mereka sesama penakluk, tapi segera memperoleh status yang sama dengan mereka.[7]
Tidak lama setelah keberangkatan Amr bin ‘Ash dengan pasukannya dari Palestina, 7.000 pasukan berangkat meninggalkan Syiria, yang terdiri dari suku-suku dari Makkah, Madinah, Tha’if dan suku-suku Qais, untuk melakukan penaklukan serupa. Hasilnya, dengan mudah mereka menaklukkan Mesopotamia, dan mereka perintah sebagai propinsi sendiri.[8]
Penaklukan[9] yang dilakukan Umar merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan khalifah Abu Bakar. Ia telah mengirimkan tentaranya yang dipimpin Khalid bin Walid untuk menaklukkan berbagai wilayah Irak. Diantara peristiwa (peperangan) penting yang terjadi di masa Umar adalah perang al-Qadisiyah, Mada’in, penaklukan Nahawand, perang melawan Romawi di Syam, dan pendudukan Mesir.[10]
Untuk menunjang kebijakan ekonomi, sekaligus jaminan keamanan, Umar menempatkan pasukannya di loji-loji (cantonments; penginapan).[11] Di Mesir mereka ditempatkan di Fustat (antara delta Mesir yang banyak penduduknya dan lembah sempit yang memanjang ke selatan; Kairo seka-rang), yang memungkinkan untuk menguasai seluruh Mesir. Di Irak mereka dipusatkan di Kuffah dan Bashrah. Kuffah (17 H/638 M) merupakan kota yang sangat strategis untuk mengirimkan bantuan ke Syiria, kalau-kalau terjadi perang. Bashrah dibagun (16 H) sebagai ganti dari pangkalan di Fars (propinsi Bahrain). Di Syiria dibangun kota Jabiyah (di bukit Golan) yang memungkinkan melakukan pemantauan terhadap serangan Romawi, baik dari darat (utara) atau dari pantai Syiria (Laut Tengah). Syiria sendiri dibagi jadi empat distrik militer (jund), mengikuti pembagian Romawi sebelumnya; Hims, Damaskus, Jordan, dan Palestina, dan anggota suku penakluk, dalam jumlah yang tepat, ditempatkan di setiap distrik. Mereka juga diperbolehkan ikut serta dalam kehidupan ekonomi masyarakat dengan cara yang wajar.[12]
Faktor pendukung penaklukan Romawi, khususnya Romawi Timur, di antaranya karena umumnya penduduk wilayah ini memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat (satu jenis/ras), memiliki bahasa yang berdekatan serta hubungan ekonomi yang kuat dengan bangsa Arab. Sebaliknya, mereka memiliki agama yang berbeda dengan bangsa Romawi (Kristen). Mereka juga dibebani dengan pajak yang sangat memberatkan. Dengan keadaan ini, mereka mengharapkan bantuan penduduk Arab untuk membebaskan mereka dari tekanan dan pengaruh bangsa Romawi. Sementara bangsa Persia memiliki perbedaan yang cukup menyolok dengan bangsa Arab. Mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan, bahasa dan agama dengan bangsa Arab. Karenanya, mereka berhadapan dengan bangsa Arab sebagai bangsa yang mandiri.[13]
Pada masa Rasul dan Abu Bakar, Baitulmal belum diorganisir dan dilembagakan secara khusus. Di masa pemerintahan Umar (setelah tahun 640 M) sistem kelem-bagaan Baitulmal mengalami perubahan sangat berarti. Ia mengeluarkan kebijakan baru dalam mengelola pemasukan negara yang mengalami peningkatan pesat di masanya, dengan membentuk sebuah departemen khusus yang disebut dengan “diwan”[14] yang kemudian lebih populer dengan nama Baitulmal. Pelaksanaan administrasi departemen ini dilakukan dengan mengadopsi sistem administrasi kerajaan Persia dan merekrut ahli pembukuan dan akuntannya. Perubahan itu sangat mendukung kelancaran administrasi negara dengan kekuasaan semakin luas dan keaneka-ragaman budaya serta kultur rakyatnya. Ia merampungkan sensur pendu-duk yang tidak tuntas dilakukan Rasul. [15] Umar mengambil kebijakan memindah-kan seluruh bangsa Yahudi ke luar jazirah Arab. Tanah Khaibar, sebelumnya dikelola bangsa Yahudi, dibagikan kepada kaum muslimin, setelah terlebih dahulu memindahkan bangsa Yahudi Khaibar ke Yaman.[16]
Pos pemasukan Baitulmal, selain Zakat, ghanimah dan jizyah, bertam-bah (berasal dari ijtihad Umar) dengan kharaj dan ‘usyur. Sampai akhir kekha-lifahannya, Umar berhasil meningkatkan devisa (pemasukan) negara dan me-nyisakan saldo yang sangat banyak. Tetapi saldo tersebut tidak dibiarkan bertahan dalam Baitulmal melebihi satu tahun, semuanya dibagi habis kepada yang berhak. Orang yang dipercaya sebagai bendahara negara di tingkat pusat adalah Abdullah bin Arqam.[17] Untuk efektifitas tugasnya, seiring dengan perluasan daerah Islam, dibentuk pula Baitulmal di setiap propinsi (distrik).
Ada beberapa faktor pendukung peningkatan devisa ini, diantaranya adalah: pertama, melakukan efektifitas dan efisiensi pengaturan sumber devisa negara yang sudah ada sebelumnya (zakat, ghanimah dan jizyah). Kedua, penambahan pos pemasukan baru yang sebelumnya belum dikenal dalam pemerintahan Islam, yaitu kharaj dan ‘usyur. Ketiga, bertambah luasnya daerah Islam, yang secara langsung menambah perolehan zakat, ghanimah, jizyah, kharaj dan ‘usyur. Keempat penerapan sistem desentralisasi keuangan, di mana harta yang diperoleh di suatu daerah dimanfaatkan dan dibagikan di daerah itu. Setelah pembagian dilakukan, kalau ada sisa, baru dikirimkan ke Madinah. Kelima, terjaminnya stabilitas ekonomi, sehingga mempercepat mobilitas ekonomi rakyat.[18]  (tulisan selanjutnya klik di sini)



[1] Umar bin Khaththab bin Nufail bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qarz bin Riyah bin ‘Abdullah bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab (memerintah selama 10 th 6 bln 4 malam). Dari ayah, silsilahnya bertemu dengan Nabi pada Ka’ab. Dari ibu: Umar bin Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah bin ‘Abdullah bin Umar bin Makhzum (13 th. lebih muda dari Rasul). Ia wafat hari Rabu 25 Zulhijjah 23 H (63 tahun). Muruj al-Dzahab, op.cit., h. 334. Ia dijuluki Saint Paul of Islam oleh dunia Barat. Sejarah Pemikiran, Ibid., h. 45. Ia yang pertama kali dipanggil ‘Amirul Mu’minin, ganti dari khalifah khalifah al-nabiy. Abdullah bin Jahasy-lah yang pertama menggunakan panggilan itu. Sebelumnya, Rasul dipanggil dengan ‘Amir Makkah dan ‘Amir Hijaz. Ibn Khaldun, op.cit., h. 178
[2] Al-Asy’as bin Qais al-Kindi, salah seorang pimpinan pemberontak di Yaman, ditahan dengan pengawasan ketat di Madinah. Sejarah Islam, op.cit., h. 38-39
[3] Rehabilitasi ini diikuti oleh penggantian Khalid bin Walid (yang sangat anti ahl riddah) dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di front Romawi, dan Sa’ad bin Abi Waqash di front Persia, yang hanya memiliki kemampuan cukup di bidang pemerintahan dan militer, namun memiliki hubungan luas di Arab Tengah dan kesediaannya bekerja sama dengan ahl riddah. Ibid., h. 42-46
[4] Dalam penaklukan Persia, Sa’ad menemukan gudang Kisra berisi 3 triliyun dinar dan berbagai barang berharga serta perhiasan yang tidak ternilai harganya. Qa’qa’ bin Amru berhasil merbut dari seorang pengawal Persia dua kotak berisi bermacam pedang dan rompi milik Kisra, Hercules, At-Turk dan Nukman serta raja-raja lain, baik yang pernah menjajah Persia atau yang mereka taklukkan. Ishmah bin Khalid ad-Dhabi menemukan dua karung; karung pertama berisi patung kuda dari emas dengan pelana dan tali kekang dari perak dan dihiasi lekukan dan tonjolan-tonjolan intan dan permata serta diwarnai dengan perak. Juga ditemui patung kuda perak yang diselingi bermacam-macam perhiasan. Karung kedua berisi patung unta perak yang diselingi emas. Perut dan tali kekangnya juga dari emas dan semuanyna dicampur dengan intan. Di atasnya ada patung penunggang laki-laki terbuat dari emas dan diselingi perhiasan. Juga ditemukan berbagai harta lain sebagai ghanimah, seperti beberapa keranjang yang dilapisi baja berisi perabotan emas dan perak, kapur barus yang banyak sekali. Harta tersebut dibagikan kepada pasukan (60.000 orang) masing-masing memperoleh 12.000 dinar, 1/5-nya dikirim ke Madinah yang dibawa oleh Basyir bin Khasyiyah. Sa’ad juga membagikan harta tersebut kepada penduduk sesuai dengan kerugian akibat perang. Para penunggang kuda pada perang Juala’ memperoleh sebesar 9.000 dirham dan infanteri mendapat 3.000 yang terdiri dari hewan ternak dari jumlah keseluruhan rampasan perang yang berjumlah 30 juta dirham. Setelah menduduki Takrit dan Mushul, kavaleri mendapat bagian sebesar 3.000 dirham dan infanteri 1.000 dirham. Quthb, op.cit., h. 58-61
[5] Amr adalah seorang pemimpin di masa Abu Bakar, dan Umar menugaskannya di bawah komando Abu Ubadah. Setelah penaklukan di Syam berakhir, ia ditempatkan dengan pasukan kecil di Palestina. Tindakan yang diambil oleh Amr ini dapat dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa umat Islam, terutama pimpinan pasukannya, tidak terlalu terikat dengan pemerintahan di Madinah. Sikap ini tidak dapat diartikan sebagai sikap tidak hormat terhadap khalifah, karena Amr sendiri memberikan pilihan bebas terhadap pasukannya untuk ikut atau kembali ke kampung masing-masing (sebagai tanda ia tidak mempunyai otoritas penuh terhadap mereka). Satu kelebihan Umar dibandingkan Abu Bakar, ia memiliki keberanian dan kepribadian yang sangat kuat untuk menopang kekuasaannya yang terbatas itu. Sejarah Islam, op.cit., h. 46-47 dan 81
[6] Mereka adalah kelompok-kelompok kecil di wilayah Hijaz paling utara yang bermukim di daerah perbatas Syiria; suku Quda’ah (penduduk asli padang pasir Syiria); suku-suku pertama yang berhijrah dari Yaman, seperti qabilah Tujib yang termasuk dalam suku Sukun. Ibid., h. 50-51
[7] Ibid., h. 46-51
[8] Ibid., h. 59. Lihat juga: Tarikh al-Islam, op.cit., h. 217. Dengan dikuasainya Messo-potamia, lengkaplah kekuasaan Islam terhadap daerah “Bulan Sabit Subur” (Fertile Crescent) atau Sawad. Bernard Lewis, op.cit., h. 42. Sawad adalah suatu daerah subur yang membentang dari ujung Teluk Persia sampai ke Mosul di bagian utara dan dari perbatasan padang pasir Syiria-Irak sampai ke Hulwan di bagian timur. Sejarah Islam, op.cit., h. 66
[9] Menurut Bernard Lewis penaklukan-penaklukan besar itu adalah ekspansi bangsa Arab, bukan Islam, yang didorong oleh kepadatan penduduk di jazirah; ia merupakan jalan keluar untuk mengatasinya dan menghasilkan gelombang migrasi bangsa Semit sampai ke daerah “Fertile Crescent” dan daerah-daerah di belakangnya. Ia lebih menonjolkan sifat duniawinya, yang terlihat pada figur-figur terkemuka, seperti Khalid bin Walid dan Amru bin ‘Ash, yang lebih mengutama-kan pencarian keuntungan. Agama hanya jadi simbol pemersatu dan memberikan perubahan psikologis bersifat temporer; sewaktu-waktu bisa membuat mereka lebih percaya diri dan mau menerima pengawasan. Bernard Lewis, op.cit., h. 44-45. Ibnu Khaldun, dengan menganalisa perbedaan jumlah pasukan yang sangat menyolok, terutama di Yarmuk dan Qadisiyah, menyimpulkan bahwa motivasi nasionalisme dan motivasi lain (termasuk ekonomi) tidak bisa diandalkan untuk memenangkan peperang itu. Motivasi utama yang membuat umat Islam menang dalam peperangan tersebut adalah agama mereka. Ibn Khaldun, op.cit., h. 125
[10] Perang al-Qadisiyah (4 hari: Muharram 12 H.) menelan korban 8.000 orang pihak kaum muslimin (dipimpin Saad bin Abi Waqash) dan ±30.000/20.000 orang pasukan Persia (dipimpin Rustam). Perang Mada’in (kelanjutan Qadisiyah) ditandai oleh penguasaan kota Persia dan seluruh isinya (termasuk istana kisra) oleh pasukan Islam setelah ditinggalkan Kisra (Yazdajar) dan pejabat tingginya. Penaklukan Nahawand (20 H; Fathul Futuh; kemenangan besar), basis kekuatan Kisra, dipimpin Nukman yang kemudian digantikan oleh Hudzaifah. Perang melawan Romawi di Syam, kelanjutan perang Yarmuk (dipimpin Abu Ubadah dan Khalid), memperluas kekuasaan Islam sampai ke Damaskus, Fajl, Hamah, Kinsirin, Ladhiqiyah, dan Halb. Sementara Amru bin ‘Ash menguasai Palestina, Bisa dan Tibra. Kekuasaan Islam terus bertambah sampai ke Ajnadain, Yufa, Nablus, Aqlan, Ramlah, Akka, Beirut dan Allad tanpa peperangan (kecuali Ajnadain). Terakhir Amru bin ‘Ash mengepung kota Baitul Maqdis dan menguasainya. Pendudukan Mesir (8 H) dilakukan oleh 4.000 pasukan yang dipimpin Amru bin ‘Ash. Sampai akhirnya Mukaukis (penguasa Romawi yang tinggal di Iskandariah) meminta perdamaian deng kaum Muslimin dengan syarat bangsa Romawi harus meninggalkan kota Iskandariah paling kurang dalam waktu sebelas bulan. Quthb, op.cit. h. 54-58
[11] Loji itu pada awalnya dibangun mengguanakan pohon Palem, tapi kemudian dipermanenkan. Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 55. Strategi yang diambil bangsa Arab dalam kampanye kemenangannya adalah dengan memanfaatkan kekuatan padang pasir, per-sis sekali dengan pemanfaatan kekuatan laut bagi imperialisme modern. Padang pasir adalah soal biasa dan dapat mereka masuki dan tidak demikian bagi lawan-lawannya. Mereka memperguna-kannya sebagai alat komunikasi bagi penyediaan dan pengerahan tenaga bantuan dan sebagai tempat pengunduran diri untuk bangkit kembali. Karenanya loji-loji yang dibangun juga didirikan di tepi padang pasir dan daerah-daerah terserak yang dapat ditanami. Bernard Lewis, op.cit., h. 43
[12] Sejarah Islam, op.cit., h. 46-51 dan 74-76
[13] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 217
[14] Pada bulan Muharam tahun 20 H, Abu Hurairah datang membawa ghanimah sebanyak 500.000 dirham ke Madinah, hingga sangat menyulitkan Umar untuk membaginya sendirian. Kemudian ia meminta usul sahabat dan disarankanlah untuk membentuk Diwan, seperti sudah di-praktekkan bangsa Persia. Abu Yusuf, op.cit., h. 45. Kata “diwan” berasal dari bahasa Persia, dalam bahasa Arabnya berarti “مجانين” (orang-orang gila). Awalnya, Kisra sedang menginspeksi kantor departemennya. Ia menemukan pegawainya sedang asik bercerita, lalu ia berkata (agak marah): “ديوانه”. Semenjak itu, tempat bekerja pegawai itu disebut dengan Diwan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa “Diwan” adalah salah satu nama setan bagi orang Persi. Kata itu digunakan untuk para ahli tulis (cendekiawan saat itu), karena kemampuan mereka yang sangat cepat mema-hami masalah dan berbagai persoalan yang paradok dan rumit (kabur). Ibn Khaldun, op.cit., h. 190
[15] Informasi sistem administrasi kerajaan Persia dieproleh Umar dari Hurmuzan, tahanan Persia yang masuk Islam dan menetap di Madinah. Ibid., Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 75-76
[16] Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 62
[17] Quthb, op.cit., h. 242. Di masa Nabi ia bertugas menyimpan data mengenai suku-suku dan sumber airnya. Sejarah Peikiran, op.cit., h. 46
[18] Ibid., h. 156-157

0 komentar:

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP