MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Sabtu, 01 Mei 2010

BAITULMAL PADA MASA ALI BIN ABI THALIB

Tulisan ini merupakan bagian ketujuh (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan mengetengahkan pertumbuhan dan perkembangan Baitulmal tersebut pada masa Ali bin Abi Thalib (603-661).


Ali bin Abi Thalib[1] memerintah selama 4 tahun 9 bulan dan 8 hari. Selama 35 tahun seblum menjabat khalifah (masa kekhaliafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman), ia menjalani hidup yang sangat terpencil dari kekuasaan. Ketika Abu Bakar dan (lebih sering) Umar jadi khalifah, ia selalu bersedia diajak bermusyawarah dan memberikan pendapat, kalau diminta, tentang berbagai persoalan umat Islam, walau ia dan bani Hasyim tidak pernah diberi jabatan terhormat dalam kekhalifahan.[2]
Ia diangkat jadi khalifah (24 Zulhijjah 34 H) lima hari setelah meninggalnya Utsman. Masa pemerintahannya adalah masa-masa paling sulit dalam periode khalifah rasyidin. Ia harus berhadapan dengan tiga pemberontakan sahabat Rasul yang awalnya membai’atnya (Thalhah, Zubair dan anaknya, Abdullah bin Zubair) dan pengacauan terencana Mu’awiyah, yang ingin mempertahankan kekuasaan bani Umayyah.[3]
Untuk efektifitas pemerintahannya, Ali pindah ke Kufah (36 H/bulan Oktober 656 M hanya berjarak ± 4 bulan dari pengangkatannya)[4] bersama para pendukungnya dari Bashrah (kebanyakan dari bani Tamim). Selain itu, ia juga seringkali melakukan perjalanan ke berbagai propinsi untuk melakukan pembenahan dan peninjauan keadaan rakyat.[5]
Pemberontakan yang dilakukan Thalhah, Zubair dan Abdullah bin Zubair, juga diikuti A’isyah, berakhir dalam peperangan Perang Unta, karena pertempuran terbesar terjadi di sekitar unta kendaraan A’isyah (di Khoraiba). Setelah perang ini, Ali berkesempatan mengkonsolidasikan kekuasaannya di Hijaz, Irak dan Mesir. Ia mengganti para gubernur bermasalah yang diangkat Utsman.[6] Ia juga menarik semua pemberian-pemberian terhadap para pejabat yang merugikan rakyat, dan mendistribusikan pendapatan Baitulmal dengan adil, tanpa membedakan status maupun rasnya.
Setelah membenahi Kaldea dan Mesopotamia, ia terpaksa menghadapi Mu’awiyah[7] di Shiffin (657 M/38 H) dalam pertempuran yang mamakan waktu 3 bulan. Dengan kecerdikannya, Mu’awiyah berhasil selamat dari kekalahan dengan meminta diadakannya tahkim, dan dengan cara yang cerdik Mu’awiyah dapat mengalahkan Ali dalam tahkim tersebut.[8]
Semenjak perang Shiffin, terutama setelah pembelotan dan penum-pasan kaum khawarij, popularitas Ali jauh merosot. Keluarga orang-orang yang terbunuh di Nahawand memusuhinya. Di Kuffah sendiri, kekuatannya terpecah; sebagian penduduk Kufah mendukungnya dan sebagian menentang-nya.[9] Sekitar setahun setelah hasil tahkim diumumkan beliau meninggal, di mana dua hari sebelumnya (Januari 661 M/19 Ramadhan 40 H) beliau ditikam Abdurrahman bin Muljam al-Muradi waktu melaksanakan shalat subuh.[10]
Ia tidak melakukan perubahan terhadap kebijakan yang dilakukan Umar, malahan ia menyatakan di depan penduduk Najran bahwa: “Umar adalah seorang pemimpin yang cerdas, karenanya Saya tidak akan merubah hal-hal yang telah ditetapkannya”.[11] Tapi ia melakukan beberapa perubahan terhadap kebijakan Utsman, seperti penggantian gubernur dan penarikan pemberian-pemberian khusus yang disebutkan di atas.[12] Di mesir ia meng-ganti Ibn Abi Sarh dengan Muhammad bin Abu Bakar yang kemudian diganti-kan Qais bin Said bin ‘Ubadah, mengangkat Sahl bin Hunaif di Syam meng-gantikan Mu’awiyah, Utsman bin Hunaif di Bashrah menggantikan Abdullah bin ‘Amir, ‘Imarah bin Syihab di Kufah menggantikan Abu Musa al-Asy’ariy, ‘Ubaidillah bin ‘Abbas di Yaman menggantikan Ya’la bin Munabbih. Yang menjadi gubernur Makkah tetap Abdullah bin al-Hadhramiy.[13]
Kemajuan di bidang moneter di masa Ali adalah pencetakan mata uang (berbentuk koin) atas nama negara Islam, menggantikan mata uang Romawi dan Persia. Sayang sekali, karena ketegangan politik yang tinggi dan pendeknya masa pemerintahan Ali, uang tersebut tidak dapat beredar luas.[14] (tulisan selanjutnya klik di sini)



[1] Ia dilahirkan di Ka’bah 32 sesudah kelahiran Rasul, dan meninggal pada malam Ahad (63 tahun), setelah mengalami luka tusukan selama dua hari (Jum’at dan Sabtu). Muruj al-Dzahab, op.cit., h. 385. Hesain Ali Mahfuz, dalam risetnya, mencatat bahwa hadis “Ghadir Khum” telah diriwayatkan paling sekdikit oleh 110 sahabat, 84 Tabi’in, 355 ulama, 25 sejarawan, 27 ahli hadis, 11 mufassir, 18 teolog dan 5 filolog yang kebanyakan berasal dari kelompok Sunni. S.H.M. Jafri, op.cit., h. 51. Banyak lain riwayat mengatakan bahwa hadis tersebut dha’if, dibuat-buat kelompok rafidhah, salah satu pecahan Syi’ah. Nurcholish Madjid, dalam S.H.M. Jafri, op.cit., h. 10-13
[2] Nahjul Balaghah, op.cit., h. 52
[3] Ketika ia mendengar Ali dibai’at, Mu’awiyah menyurati Zubair bahwa ia telah membai’at Zubair dan Thalhah sebagai penggantinya, seluruh Syiria siap mendukung mereka, mereka harus menjatuhkan pemerintahan Ali dan menerima kekhalifahan yang menunggu di Damsyik. Dengan hasutanya, ia menyibukkan Ali dengan pemberontakan mereka dan mendapat waktu memperkuat kekuasaannya di Syiria. Ia mengumpulkan Mughirah bin Syu’bah, Marwan bin Hakam, Walid bin ‘Uqbah, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Amr bin ‘Ash dan Ziyad bin Abih (anak haram Abu Sufyan). Ia juga mengorganisir gerombolan gerilya pengacau untuk merampok, membunuh, meracun dan memerkosa yang beroperasi di propinsi Hijaz, Bashrah, Ray, Mosul dan Harath. Ibid., h. 60-63. Taktik serupa juga pernah dijalankan ayahnya, Abu Sofyan, setelah terjadi perang Badar, Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 174
[4] Perpindahan ini mempunyai dua arti penting, pertama, langkah ini mengakhiri masa Madinah sebagai ibu kota pemerintahan Islam dan, kedua, untuk pertama kalinya ia memimpin angkatan perang untuk berperang melawan sesama muslim. Bernard Lewis, op.cit., h. 52
[5] Sejarah Islam, op.cit., h. 195-106
[6] Ia akhirnya dibunuh oleh Mu’awiyah bersama Amr bin ‘Ash. Ibid., h. 63
[7] Ia merasa kekuasaannya sempuna, karena diangkat oleh Umar dan dikukuhkan oleh Utsman. Kekuasaanya disentralisasikan di propinsi Syiria didukung tentara yang kuat, terlatih dan disiplin dalam melawan pasukan Romawi. Tindakan pertamanya yang terang-terangan menentang Ali adalah menolak untuk meletakkan jabatan gubernur Syiria. Bernard Lewis, op.cit., h. 52-53
[8] Pertemuan untuk tahkim itu sendiri beru dilaksanakan lebih setahun kemudian (Januari 659) di Adhruh. Desakan utama di pihak Ali untuk tahkim berasal dari ahl qura`, dibawah pim-pinan Asy’as bin Qais, yang juga mendesak agar memilih Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil Ali dalam tahkim. Tapi kemudian mereka juga yang paling keras menentang tahkim, sebab ternyata perundingan yang dilakukan tidak memberikan keuntungan kepada mereka (untuk mengembalikan hak-hak khusus mereka di Sawad). Mereka jugalah yang memisahkan diri dari Ali, membentuk kelompok Khawarij dan berusaha menduduki wilayah-wilayah yang mereka anggap sebagai milik mereka. Mereka berhasil dicegat Ali di Nahrawan, sebagian disadarkan dan kembali ke Kufah, sebagian lain, yang tidak mau kembali, banyak yang terbunuh di sana. Ibid., h. 108-110
[9] S.H.M. Jafri, op.cit., h. 175-181
[10] Nahjul Balaghah, op.cit., h. 64-65. Sebagai seorang pahlawan Badar (dan perang-perang besar lainnya) yang menikahi puteri Nabi dan pewaris Khadijah (salah seorang konglomerat Arab) serta orang tua dari Hasan dan Husein (cucu Nabi), mereka kaya dengan hak-hak ekonomis. Namun semua hak milik mereka beralih ke tangan fakir miskin, orang-orang cacat dan yatim piatu, sementara mereka sendiri sering menanggung lapar. Satu-satunya kehidupan mewah mereka adalah beribadah bersama dengan anak-anak mereka. Ibid., h. 14
[11] Yahya, op.cit., h. 23-24
[12] Osborne (seorang orientalis) menyebutkan: Ali telah dinasehati untuk menunda pemecatan gubernur yang korup, tapi ia sendiri telah kokoh untuk menghadapi semua musuhnya… sikap luhur tak kenal kompromi ini menyebabkan ia kehilangan negara dan nyawanya. Tapi, ia tidak pernah menilai sesuatu melebihi keadilan dan kebenaran. Nahjul Balaghah, op.cit., h. 13
[13] S.H.M. Jafri, op.cit., h. 92. Usman bin Hunaif diterima dengan baik di Bashrah. Imarah bin Syihab kembali ke Madinah karena ditolah masyarakat Kufah. ‘Ubaidillah bin ‘Abbas tidak ditolak di Yaman, walau Ya’la bin Munabbih melarikan diri dan membawa banyak harta ke Makkah. Qais bin Sa’id memerintah dan menghadapi perpecahan masyarakat Mesir; sebagian menerima Ali dan sebagian menolak kepemimpinannya. Sahl bin Hunaif, ketika sampai di Tabuk, disuruh kembali oleh utusan yang dikirim Muawiyah. Itmam al-Wafa`, op.cit., h. 172-173
[14] Kadim as-Sadr, Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 128. Menurut riwayat lain, mata uang Islam pertama kali dicetak di masa khalifah Umar bin Khaththab. Lihat: Quthb, op.cit., h. 142. 

0 komentar:

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP