BAITULMAL PADA MASA UTSMAN BIN ‘AFFAN
Tulisan ini merupakan bagian keenam (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan mengetengahkan pertumbuhan dan perkembangan Baitulmal tersebut pada masa Utsman bin ‘Affan (576-656).
Utsman bin ‘Affan[1] memerintah selama 12 tahun kurang 8 hari. Pemilihan terhadapnya (bertepatan dengan Tgl. 1 Muharram 24 H/7 November 644 M) diawali dari pembentukan majelis syura oleh Umar[2] (meninggal karena dibunuh Abu Lu’lu’ah Fairuz), terdiri dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf (sepupu Utsman), Sa’ad bin Abi Waqash, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam (menantu Abu Bakar), Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar (tanpa hak suara).[3] Umar juga menetapkan aturan dalam pemilihan khalifah, sebagai berikut:
a. Apabila mencapai mufakat memilih satu orang, maka orang itu akan ditetapkan sebagai khalifah.
b. Bila lima orang dari mereka telah mufakat memilih seseorang dan yang seorang menolak, maka kepalanya segera dipenggal.
c. Apabila empat orang telah mufakat dan dua orang menolak, maka keduanya harus dibunuh.
d. Apabila terdapat dua bagian sama, maka yang menjadi khalifah ialah yang mendapat suara ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf.[4]
Setelah terjadi persaingan ketat beberapa hari dan mendengarkan pendapat tokoh penting di Madinah, plihan akhirnya mengerucut pada Ali dan Utsman. Perbedaan pendapat tidak hanya tentang tokoh perorangan yang akan dipilih, tapi juga tentang konsepsi tugas yang harus dilaksanakan. Ketika Ali ditawari jabatan dengan syarat harus melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, ia secara terus terang mengatakan bahwa ia harus diberi kebebasan mempergunakan penilaiannya sendiri dalam hal-hal yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan tuntutan keadaan. Tapi ketika Utsman ditawari dengan persyaratan serupa, ia menerimanya tanpa syarat.[5]
Utsman memulai pemerintahannya ketika Islam sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan memperlihatkan tanda-tanda akan munculnya ledakan hebat. Dengan kesempatan dan keuntungan yang sangat besar yang diperoleh (terutama) oleh orang-orang Makkah di seluruh wilayah Islam yang baru ditaklukkan, menimbulkan kecemburuan dari berbagai suku lain, sehingga memicu munculnya semangat untuk menuntut kebebasan regional dan upaya melepaskan diri dari pengaruh pemerintah Madinah. Sementara khalifah tidak mempunyai otoritas ataupun alat yang efektif untuk mengendalikan perubahan tersebut.[6]
Utsman[7] berkeinginan memperoleh otoritas lebih dari yang mungkin diperolehnya (melebihi otoritas khalifah sebelumnya). Ia berusaha meningkatkan kekuasaan dalam mengawasi gubernurnya. Selaku tokoh dari suku Umayyah, tidak ada yang dinilainya lebih pantas untuk memegang jabatan gubernur daripada kerabatnya sendiri. Di Damaskus, Mu’awiyah, kemenakannya, sudah jadi gubernur dan cukup memuaskan. Karenanya Utsman menambah wilayah kekuasaannya sampai ke Homs , Palaestina, Yordania dan Libanon.[8] Di Mesir, Amr bin ‘Ash (gebernur sebelumnya yang berpikiran bebas) diganti dengan saudara angkatnya, Abdullah bin Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh[9] (pengawal dan letnan Amr sendiri). Gubernur Kufah dipercayakan kepada Walid bin ‘Uqbah[10] (yang tidak memiliki kemampuan dan pemabuk), tapi kemudian diganti dengan Sa’id bin al-‘Ash, masih kemenakannya. Untuk memegang jabatan gubernur Bashrah diserahkan kepada kemenakannya yang lain, Abdullah bin ‘Amir. Marwan bin Hakam, saudara sepupunya, diangkat sebagai sekretaris negara.[11]
Langkah berikutnya adalah melakukan ekspedisi guna meningkatkan pendapatan Baitulmal. Di Mesir, Ibn Abi Sarh membawa pasukan memasuki wilayah Afrika Utara. Di Bashrah, Abdullah bin ‘Amir berhasil menaklukkan sisa wilayah kerajaan Persia , dan dari Kufah beberapa ekspedisi bergerak ke utara menyerbu beberapa propinsi di sekitar Laut Kaspia.[12]
Selanjutnya Utsman membujuk kelompok qurra`[13] (veteran perang yang mengelola tanah sawad) di Kufah agar mau pindah ke Makkah dan Madinah.dengan memberikan imbalan terhadap tanah yang mereka tinggalkan dengan tanah fai’ yang ada di Makkah dan Madinah (mirip tukar guling). Tapi kemudian kelompok qura` sadar bahwa basis ekonomi mereka sedang dihancurkan Utsman, dan pada tahun 655 M/ 34 H mereka mencegat Sa’id bin al-‘Ash di kampung Jara’ah, sepulangnya dari Madinah, dan meminta Utsman mengangkat Abu Musa al-Asy’ari menjadi gubernur lagi di Kufah. Ia juga menyamakan (penuh) posisi ahl riddah dengan kaum Muslimin lain.[14]
Di Mesir, Ibn Abi Sarh juga membuat heboh. Ia memperbesar bagian anggota pasukan baru dari ghanimah dengan tujuan memperbanyak pasukan. Anggota pasukan lama, yang dapat bagian lebih kecil, sangat keberatan dengan kebijakan itu. Karenanya mereka meminta pembagian yang sama, seperti yang telah dilakukan khalifah sebelumnya. Selain itu, Ibn Abi Sarh, dengan kebijakan yang kaku, juga mengeluarkan kas negara terlalu banyak untuk pengembangan angkatan laut.[15]
Di Madinah, Utsman sendiri membagikan dan mengelola secara bebas 1/5 ghanimah milik Baitulmal. Bagian itu dijadikan sebagai pembayar gaji dan sisanya dijadikan biaya hal-hal yang dianggapnya menjaga kebaikan bersama. Marwan bin Hakam, kemenakan dan penasihat dekatnya, banyak mengguna-kan uang negara untuk “membeli” dukungan politik dari tokoh-tokoh yang berpengaruh agar mendukung kebijakan-kebijakan Utsman.[16]
Kebijakan Utsman yang sangat menurunkan kredibilitasnya di mata umat Islam, di antaranya menambah tunjangan beberapa orang kerabatnya sebesar 100% di minggu pertamanya sebagai khalifah, memanfaatkan harta Baitulmal yang berasal dari zakat untuk pembiayaan perang dan keperluan di luar yang telah ditentukan al-Qur’an, memberikan jatah khusus buat kerabatnya: memberikan 1/5 ghanimah dari Afrika kepada Marwan bin Hakam;[17] memberikan 300 ribu dinar masing-masing kepada Ibn Harits dan Abdullah bin Khalid bin Usaid al-Amawiy. Ia juga membagi dan menjual tanah negara, yang sebelumnya tidak dibagi Umar, kepada keluarganya.[18]
Ahmad Amin menyebutkan kebijakan Utsman lain yang sangat mele-mahkan posisinya, di antaranya mengembalikan al-Hakam bin Abi al-‘Ash dari pembuangan;[19] memberikan tanah wakaf Rasul (dimaksudkan untuk perdagangan di Madinah) kepada al-Harits bin al-Hakam (saudara Marwan bin Hakam); melarang kaum Muslimin, kecuali bani Umaiyah, menggembalakan ternak di padang pengembalaan Madinah; memberikan hadiah 200.000 dirham buat Abu Sufyan, 100.000 kepada Marwan bin Hakam (dikawinkan dengan anaknya, Ummu Aban), membagi kharaj dan jizyah yang dibawa Abu Musa al-Asy’ari dari Irak kepada kerabatnya; membuang Abu Dzar ke Ribzah (oase terpencil di Sahara); membiarkan Ibn Mas’ud (penanggung jawab Baitulmal di Kufah) dipukul di depannya sampai patah tulang rusuknya, dan (paling fatal) surat Marwan (dengan stempel khalifah) kepada gubernur Mesir untuk membunuh orang-orang yang tidak sependapat dengannya.[20]
Kebijakan yang dilakukannya dengan maksud baik, akhirnya membuah-kan ketidak-puasan sebagian besar umat Islam. Abdullah bin Arqam, yang telah menerima kepercayaan mengelola Baitulmal, keberatan dengan kebijakan yang dilakukan Utsman, akhirnya ia menolak menerima upah dari pekerjaannya, malahan ia menolak hadir dalam pertemuan publik yang dihadiri khalifah.[21] Utsman meninggal (dibunuh) di tengah tuntutan ketidak puasan utusan yang berasal dari Irak dan Mesir, setelah ± 50 hari diadakan diskusi dan perdebatan yang tidak menghasilkan apa-apa.
Selain pengelolaan keuangan melalui kebijakan yang di atas, perubah-an yang dilakukan Utsman terhadap Baitulmal adalah dalam pendistribusian zakat, menurutnya zakat boleh dibagikan langsung oleh muzakkiy kepada mustahiq zakat. Ia juga memperlakukan suku Barbar sama seperti terhadap ahl kitab, terhadap mereka ditetapkan kewajiban jizyah.[22] Selebihnya ia hanya meneruskan bentuk Baitulmal yang diterimanya dari Umar, baik dalam pemasukan, pengeluaran, pengorganisasian dan sebagainya. (tulisan selanjutnya klik di sini)
[1] Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin ‘Abd al-Syams bin ‘Abd Manaf. Dari pihak ayah, silsilahnya bertemu dengan Nabi pada ‘Abd Manaf. Sementara silsilahnya dari pihak ibu adalah: ‘Utsman bin Urwa binti Kuraiz bin Jabir bin Habib bin ‘Abd al-Syams. Ia dilhairkan 5 tahun setelah kelahiran Rasul dan ia meninggal dalam usia 82 tahun. Muruj al-Dzahab, op.cit., h. 366
[2] Ada beberapa kelemahan mejelis ini, diantaranya: pertama, ia bukan badan yang mirip dengan lembaga pemiihan. Kedua, ia dibentuk bukan dewan negara yang akan memberikan nesehat kepada Amirul Mu’minin yang akan datang, sebab ia bubar dengan sendirinya setelah terpilihnya Utsman. Ketga, ia bukan representasi dari umat Islam, ia hanya lembaga orang-orang Makkah. Sejarah Islam, op.cit., h. 88-91
[3] Munawir Sjadzali, op.cit., h. 25
[4] Sayyid Abu al-Hasan ‘Ali ibn Husain al-Radhi al-Musawi, Nahjul Balaghah, Kumpulan Khotbah, Surat dan Ucapan-ucapan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (kw), Penerjemah: O. Hashem, (Jakarta: YAPI, 1990), h. 55 (selanjutnya disebut Nahjul Balaghah)
[5] Ibid., h. 55. Ibn Khaldun, op.cit., h. 165. Munawir Sjadzali, op.cit., h. 25-27. Penolakan Ali untuk tunduk total pada kebijakan pendahulunya, dalam hal-hal yang diputuskan melalui ijtihad, menunjukkan bahwa ia menyadari keharusan adanya perubahan untuk memenuhi tuntutan yang sedang berkembang. Sejarah Islam, op.cit., h. 89-90
[6] Ibid., h. 87-88
[7] Ia memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan yang dimanfaatkan keluaganya, sangat sabar, pemurah dan sangat lemah lembut, terutama terhadap keluargnya. Hal ini diungkap oleh hampir seluruh buku sejarah, diantaranya Abul A`la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Pemerintahan Islam, Judul Asli: al-Khilafah wa al-Mulk, Penerjemah: Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1992), cet ke-4, h. 408-409 (selanjutnya disebut: Al-Maududi).
[8] Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 118. Al-Maududi, Ibid., h. 138. Di masa Umar ia hanya memerintah Damaskus dan Yordania saja. h. 411
[9] Ia telah murtad setelah Islamnya, dan termasuk orang yang disuruh bunuh oleh Nabi ketika penaklukkan Makkah, walau sudah berlindung di bawah tirai-tirai Ka’bah. Utsman bin ‘Affan yang memintakan pengampunannya kepada Rsulullah. Ibid., h. 140
[10] Ahli tafsir menyebutkan ia adalah penyebab turunya surat al-Hujurat ayat 6 yang menjelaskan tantang perintah Allah untuk mengklarifikasi berita yang datang dari orang fasik. Ia pernah diutus Rasul untuk memungut zakat dari bani Musthalaq. Karena tidak berani, ia kembali dan mengatakan bahwa ia diusir dan hampir dibunuh oleh bani Musthalaq. Kemudian Rasul mengirim pasukan ke sana , namun bani Musthalaq menjelaskan bahwa tidak pernah ada utusan Rasul yang datang memungut zakat. Berkaitan dengan kejadian itu, turunlah ayat 6 surat al-Hujurat. Ia juga seorang pemabuk. Ia pernah mengimami shalat subuh sebanyak 4 rakaat, dan ketika selesai ia mengatakan: “Apakah kalian ingin aku menambahnya?” Ibid., h. 143-144
[11] Mu’awiyah, Walid dan Marwan termasuk kaum tulaqa` (orang-orang yang dibebaskan dari tawanan; penghuni Makkah yang sampai saat-saat terakhir mermusuhi Nabi dan dakwahnya). Ibid., h. 139-140. Selain Ma’wiyah, orang-orang yang diangkat Utsman, di masa Umar hanya dipercayakan pada jabatan-jabatan kecil saja; ibn bin Abi Sarh paling tinggi hanya sebagai pejabat pedalaman di Mesir; Walid hanya pejabat atas wilayah bni Taghlab. Demikian juga dengan Said bin ‘Ash dan Abdullah bin Amir hanya diberi jabatan kecil-kecil. h. 412
[12] Khurasan dan Afrika dikuasai umat Islam di masa Utsman. Abu Yusuf, op.cit., h. 28
[13] Sebutan Ahl Qurra` (dervasi dari q-r-y; desa/kampung) merupakan pengganti dari Ahl Ayyam, yaitu penakluk Irak pertama dan tidak termasuk ahl riddah. Mereka minta kepada Umar sebutan mereka dirubah, karena kalah gengsi (juga berpengaruh dalam perolehan tunjangan) dari Ahl Qadisiyah, hampir menyamakan mereka dengan ahl riddah. Sejarah Islam, op.cit., h. 72
[14] Umar memang merahbilitasi ahl riddah, tapi ia menjauhkan para pemimpin mereka dari jabatan-jabatan strategis dan mereka juga tidak mendapat bagian dari tunjangan umum yang diberikan Umar. Utsman malahan mengangkat al-Asy’as bin Qais (salah seorang pimpinan pemberontah riddah) sebagai komandan pasukan di Azerbeijan. Sejarah Islam, op.cit., h. 96
[15] Untuk kasus ini, Utsman mencoba menelusurinya dengan mengirim ‘Ammar bin Yasir ke Mesir. Laporan ‘Ammar sangat memojokkan posisi Ibn Abi Sarh. Sejarah Islam, op.cit., h. 98. ‘Ammar sendiri, sesampai di Mesir, dicaci dan dipukuli Ibn Abi Sarh dan pendukungnya sampai pingsan. S.H.M. Jafri, op.cit., h. 125. Abdullah bin Wahab bin Saba ` atau Ibn al-Saudah (propa-gandis penentang Utsman), menurut sebagian sejarawan modern, adalah tokoh legenda. Aktifitas tersebut dilakukan oleh ‘Ammar yang juga memiliki nama kecil al-Saudah. Jafri, Ibid., h. 130
[16] Marwan menjadi sasaran kritik sebagai orang yang melakukan korupsi kekayaan Baitulmal. Tapi memperhatikan cara hidupnya yang sederhana, kelihatannya tuduhan ini tidak cukup kuat. Ibid., h. 99-100. Ketika Utsman terbunuh, ia dan beberapa anggota suku Umayyah lari ke Syiria, bergabung dengan Mu’awiyah, dengan membawa kemeja Utsman yang bernoda darah dan jari Nailah (isteri Utsman) yang terputus saat pembunuhan. S.H.M. Jafri, op.cit., h. 133
[17] Riwayat lain menyebutkan 1/8 dari 1/5 bagian lainnya. Menurut Ahmad Amin malahan seluruh rampasan Afrika Utara (dari Tripoli sampai Tanger) diberikan kepada Abdullah bin Sarah (sarudara sesusu Utsman), Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Judul Asli: Yaum al-Islam, Penerjemah: Abu Laila dan Muhammad Tohir, (Bandung: CV. Rosda, 1987), h. 89
[18] Ketika Utsman menetapkan kebijakan seperti ini, mayoritas sahabat berusaha menasehatinya, tapi kebanyakan nasehat itu tidak memberikan pengaruh berarti terhadapnya. Malahan Abu Dzar al-Ghifari, yang terkenal jujur, kritis dan tegas, dikeluarkan dari Madinah karena kritikan pedas yang sering disampaikannya kepada Utsman. Quthb, op.cit., h. 241-246
[19] Ia adalah paman Utsman dan ayah Marwan, memeluk Islam setelah penaklukan Makkah dan datang ke Madinah. Rasul mengasingkannya ke Thaif (Marwan berusia 8 th. dan ikut bersama ayahnya), karena ia seringkali membocorkan pembicaraan rahasi Rasul dan para sahabat besar; dan sangat sering meniru gerak-gerik Rasul. Ia pernah minta kembali ke Madinah di masa Abu Bakar dan Umar, tapi tidak dikabulkan. Al-Maududi, op.cit., h. 141
[20] Ahmad Amin, op.cit., h. 89-90
[21] Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 57-58
[22] Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 37
0 komentar:
Posting Komentar