MEDIA UNTUK BERBAGI, JAUH DARI NIAT UNJUK GIGI NGGAK USAH SUNGKAN, SILAKAN DISEMPURNAKAN LEWAT KOMENTAR
readbud - get paid to read and rate articles

Sabtu, 01 Mei 2010

SUMBER PEMASUKAN BAITULMAL

Tulisan ini merupakan bagian kedelapan (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan menjelaskan sumber pemasukan Baitulmal pada periode awal, semenjak masa Rasulullah sampai berakhirnya masa Khulafa` al-Rasyidin. Walau berbagai sumber pemasukan itu muncul pada periode awal, akan tetapi ia tetap menjadi teladan dan jadi bahan kajian oleh ulama dan umat Islam berikutnya sampai saat ini.


Sebagai sebuah lembaga keuangan negara,[1] pemasukan Baitulmal berasal dari zakat, ghanimah, fai’, jizyah dan kharaj, ‘usyur (cukai), harta warisan yang tidak ada pewarisnya, harta waqaf, perusahaan, perdagangan dan perkebunan negara, tebusan tawanan perang, dan (dalam keadaan tertentu) utang negara.[2] Satu hal yang perlu ditegaskan, Baitulmal tidak menerima pendapatan kotor dari seluruh sumber pamasukan itu, melainkan hanya surplus yang tersisa setelah seluruh pendapatan dikurangi keperluan untuk pembayaran semua jasa setempat (di tingkat propinsi) dan pembiayaan militer.[3]

1.      Zakat
Zakat adalah setiap pungutan yang diambil dari orang-orang muslim yang kaya untuk diserahkan kepada orang-orang muslim yang miskin (faqir).[4] Ia merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam[5] yang didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Tawbah ayat 103 yang berbunyi:
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها (التوبة: 103)
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.[6]
Juga penegasan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267:
ياأيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض (البقرة: 267)
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.
Dari penjelasan al-Qur’an dan Hadis, dapat dipahami bahwa zakat diwajibkan terhadap seluruh aktifitas ekonomi utama, yang pada periode awal pemerintahan Islam berupa perdagangan, kerajinan (crafts), pertanian, perke-bunan, dan peternakan.[7] Kewajiban zakatnya juga beragam. Perdagangan dan kerajinan biasanya dapat diuangkan (dinar dan dirham), karenanya zakat keduanya mengikuti aturan zakat dinar dan dirham.[8] Sementara yang lain, seperti pertanian dan peternakan, lebih berbentuk barang hasil pertanian dan peternakan itu sendiri. Besarnya zakat untuk setiap aktivitas ekonomi itu memberikan indikasi pentingnya penyediaan makanan sehari-hari dan kebu-tuhan pokok masyarakat dalam berbagai musim, tarmasuk masa panceklik.
Zakat diwajibkan setelah hijrah (2 H) disetai penjelasan rinci tentang nisab, besar kewajiban dan pengelolanya. Sebelum periode Madaniyah me-mang sudah ada ayat yang berbicara tentang zakat, tapi itu baru berupa anjur-an, tanpa rincian nisab, besar kewajiban dan pengelolanya. Itu hanya ditujukan untuk menggugah tanggung jawab seseorang terhadap sesamnya yang beriman. Di Madinah persoalan zakat sudah harus diatur dengan hukum yang mengikat dan didukung oleh kekuasaan, di samping dorongan iman, karena umat Islam sudah membentuk sebuah jamaah yang memiliki daerah, eksistensi dan pemerintahan sendiri, tidak demikian halnya ketika mereka di Makkah.[9]
Keberadaan zakat sebagai pemasukan negara sempat terancam di awal kekhalifahan Abu Bakar dengan munculnya orang-orang yang menolak mem-bayar zakat. Tapi dapat diselesaikan berdasarkan prinsip tidak ada pemisahan antara ibdadat jasmaniah (shalat) dengan ibadah kekayaan (zakat), dan mereka diperangi. Setelah itu, pengumpulan zakat dilakukan dengan lancar.
Zakat dinar (uang emas) dan dirham (uang perak), kalau sudah lebih satu nisab (masing-masingnya 20 dinar[10] dan 200 dirham) dan memenuhi haul, wajib dizakatkan sebanyak 2,5%. Setiap penambahan dari 20 dinar atau 200 dirham dizakatkan 2,5% secara keseluruhan.[11] Contoh, seseorang memiliki 23 dinar, zakatnya adalah 2,5% x 30 dinar = 0,75 dinar.
Kalau seseorang memiliki dinar dan emas yang masing-masingnya tidak mencapai nisab, maka keduanya bisa digabungkan untuk dizakatkan dengan mengikuti perhitungan zakat dirham.[12] Contoh, seseorang mempunyai 10 dinar (sebanding dengan 100 dirham) dan 100 dirham, maka ia wajib mengeluarkan 5 dirham (2,5% dari jumlah keseluruhan).
Zakat barang tambang dan barang temuan (harta karun), baik berupa emas, perak atau barang apapun, adalah sebesar 20% tanpa harus memperhatikan nisabnya.[13] Hasil pertanian yang dikenakan zakat antara lain adalah makanan pokok seperti gandum, gerst (semacam gandum bahan bir), ksimis dan kurma. Empat jenis hasil pertanian ini merupakan makanan pokok masyarakat Hijaz di periode awal Islam. Mesti demikian, hasil pertanian itu baru dikenai wajib zakat apabila telah memenuhi karakteristik berikut:
a.       Panen yang kurang dari 5 wasq (setara 847 kg.) tidak dikenai zakat.[14]
b.    Zakat tidak dihitung dari penghasilan kotor; segala biaya produksi harus dihitung dan dikurang total jumlah produksi, dan zakat dikenakan terhadap sisa hasil pertanian yang merupakan penghasilan bersih.
c.     Zakat hasil panen yang didapat dari lahan yang bergantung pada hujan adalah 10%. Jika petani mendapatkan air dengan cara membuat bendungan irigasi, maka zakatnya dikurangin menjadi 5%.[15]
Kriteria pertama meengenyampingkan panen yang tidak melebihi 5 wasq dari kewajiban zakat. Dengan ketentuan nomor dua terlihat bahwa zakat tidak akan mengurangi keinginan meningkatkan produksi (menurunkan insentif berproduksi) bagi para petani. Hal itu diperkuat oleh kriteri ketiga, dimana pertanian yang membutuhkan biaya tambahan dalam pangairannya dikenai kewajiban lebih kecil dari pertanian yang tidak membutuhkan biaya tambahan. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa metode pengumpulan zakat tidak mengurangi insentif dan investasi pertanian.
Umar menyamakan madu dengan hasil pertanian (biji-bijian), karenanya madu yang diambil dari tempat yang mudah dicapai dizakatkan 1/10-nya dan yang diambil dari tempat sulit dikeluarkan 1/5-nya. Pendapat Umar ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Nahl (16): 68-69.[16]  
Kayu krom, adalah tumbuhan yang dijadikan sebgai pembatas kebun di Tha’if. Kayu fursak (mirip pohon mahoni) dan delima merupakan kayu yang lebih mahal harganya dari kayu krom. Ketiga kayu itu diusulkan oleh Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, karyawan Umar di Tha’if, untuk diambil zakatnya sebesar 1/10-nya. Tapi kemudian Umar menegaskan bahwa semua kayu itu tidak dikenakan kewajiban zakat, karena ketiganya termasuk jenis kayu yang bertulang (bersisik). Selain itu, ada hadis yang diriwayatkan dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal (ketika mereka berdua berdua diutus ke Yaman mengajarkan urusan agama) yang menegaskan bahwa tidak ada kewajiban zakat, selain terhadap jagung, gandum, anggur kering dan kurma.[17] Lengkapnya hadis tersebut berbunyi:
عن موسى بن طلحة قال عندنا كتاب معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه إنما أخذ الصدقة من الحنطة والشعير والزبيب والتمر (رواه أحمد)[18]
Dari Musa bin Thalhah, ia berkata: “Kami memiliki surat Rasulullah buat Mu’az (yang isinya): “Bahwa zakat itu hanya diambil dari jagung, gandum, anggur kering dan kurma”.
Hewan ternak dizakatkan tergantung jenisnya dengan rasio yang tidak sama. Pada masa awal, khususnya masa Rasul dan Abu Bakar, hewan yang dizakatkan terbatas hanya pada kambing (domba atau biri-biri), sapi dan unta.[19]  Karekteristik zakat hewan ternak adalah:[20]
a.       Jika hewan itu digunakan sebagai saran produksi, seperti kerbau yang untuk membajak sawah, hewan tersebut tidak dikenai zakat.
b.    Jika peternakan itu menggunakan lahan sendiri dan tidak memakan rumput dari padang rumput penduduk, maka ia tidak dipungut zakat.
c.     Jika jumlah domba, sapi dan unta secara berturut-turut kurang dari 4, 3 dan 5 ekor maka ia tidak dipungut zakat.
d.    Persentase zakat domba menurun perlahan seiring dengan meningkatnya jumlah domba dan tetap stabil pada kisaran 1%.
e.     Rasio zakat sapi tidak melebihi ½% dan tetap stabil walau persentase jumlah ternak meningkat. Namun, peresentase zakat sapi lebih besar dari persentase zakat kambing.
f.     Persentase zakat unta lebih besar dari zakat sapi. Artinya ketika nilai unit naik (dari domba ke sapi dan ke unta), maka persentasenya juga naik.
Karakteristik ini tidak menurunkan produksi peternak dan tidak mena-ikkan biaya produksi sebagai kompensasi atas dipergunakannya hewan terse-but. Dengan ketentuan biaya pangan (tidak makan di lahan umum), zakat tidak akan menghalangi untuk meningkatkan produktifitasnya, termasuk dengan pembebasan zakat bagi peternak kecil. Selanjutnya penarikan zakat tidak akan melemahkan insentif peternak untuk meningkatkan hasil ternaknya.
Di masa Rasul, kuda tidak banyak dimiliki umat Islam. Selain itu, ia merupakan kendaraan yang sangat penting untuk berperang, karenanya Rasul membebaskannya (juga budak) dari kewajiban zakat. Setelah berbagai penaklukan yang dilakukan Islam, kuda sudah jadi hewan yang banyak dimiliki umat Islam. Selain sudah dipelihara di berbagai peternakan, juga sudah diperdagangkan, khususnya di Syiria. Seekor kuda Arab Tahglabiy diperkirakan dilainya sebesar 20.000 dirham. Memperhatikan hal ini, Umar kemudian menetapkan kuda (perdagangan) sebagai salah satu hewan yang wajib dizakatkan[21] dengan menyamakan nisab dan kewajiban zakanya dengan unta. Apabila kuda-kuda itu termasuk jenis kuda Arab, setiap ekornya dibayar 1 dinar atau 5 dirham setiap 200 dirham (1/40-nya). Tapi jika bukan jenis kuda Arab, dibayar dengan memperhitungkan nilainya saja (1/40-nya)[22]
Dalam pengumpulan zakat, Umar juga memberikan beberapa petunjuk praktis, diantaranya memberikan keringanan terhadap zakat hasil tanaman, karena sebagiannya sangat dibutuhkan untuk kebutuhan pokok petani (terma-suk modal dan bibit), di samping itu tanaman tersebut juga terancam diserang hama. Umar juga memesankan kepada para pengumpul zakat (di antaranya Said dan Ya’la bin Umayyah) untuk menarik zakat secara adil (mengambil yang pertengahan). Hal itu dilakukan dengan menyuruh si pemilik harta membagi tiga barang yang akan dizakatkan. Kemudian si pemilik harta disuruh memilih satu bagian darinya dan pengumpul zakat memilih satu bagian dari 2 bagian yang tersisa, satu bagian terakhir tetap kepunyaan pemilik harta. Tidak hanya itu, Umar juga melarang mengambil barang atau hewan terbaik dan terpenting bagi pemiliknya, kecuali kalau pemiliknya ingin memberikan untuk membersihkan dirinya. Ia pernah memesankan:
Kembalikan suhlah (anak kambing/kibas yang masih menyusu) kepada mereka. Peternak memperhatikannya, karena itu jangan diambil dan jangan pula kalian mengambil akulah (hewan yang disiapkan untuk disembelih; gemuk) dan arrubba (kambing yang dipelihara di rumah untuk diambil susunya). Jangan pula mengambil mahid (kambing yang hampir melahirkan) dan kambing pejantannya.[23]
Dalam masa krisis, pemungutan zakat dilakukan sampai krisis tersebut berakhir, dan rakyat kembali memiliki kekayaan memadai. Hal itupun tetap dengan memperhatikan kemampuan rakyat. Contoh yang diberikan Umar adalah dengan mengklasifikasikan rakyat sesuai dengan kekayaan yang dimilikinya; pertama mereka yang mampu membayar zakat untuk masa (tahun) krisis dan tahun yang sedang berjalan; kedua mereka yang hanya mampu membayar zakat untuk tahun yang sedang berjalan.[24]
Pemasukan Baitulmal yang lain yang tidak kalah pentingnya dan ada persamaan dengan zakat, adalah sedekah, wakaf dan sejenisnya. Pemasukan jenis ini sangat penting sekali keberadaannya, terutama, di masa Rasul. Hampir seluruh kaum muslimin menjadi penyumbang dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan Islam, khususnya kota Madinah. Walau demikian, penyumbang terbesar adalah Utsman bin ‘Affan. Ia membeli sumur Rommah dari seorang Yahudi Madinah dengan harga ribuan dinar dengan uangnya sendiri kemudian menyerahkannya untuk keperluan kaum Muslimin. Ia juga mengeluarkan harta pribadinya (di masa Rasul) untuk membeli tanah guna perluasan mesjid Nabawi. Ia juga mempersiapkan pasukan dan menyumbang uang sebesar 1.000 dinar dalam menghadapi perang Tabuk. Di masa Abu Bakar, ketika terjadi bencana kekeringan, ia juga memberikan sumbangan yang dibawa oleh 1.000 ekor unta berupa jagung, minyak dan anggur kering sebagai shadaqah di jalan Allah untuk kaum fakir miskin.[25]

2.      Al-Ghanîmah
Al-Ghanîmah (ghanimah) adalah semua harta yang dimiliki umat Islam (melalui pertempuran) di dâr al-harb.[26] Ia bisa berbentuk tentara (al-Usrâ), perempuan dan anak-anak (al-Shabiy), persenjataan, lahan pertanian, dan harta lainnya.[27] Landasan hukumnya adalah surat al-Anfal (8) ayat 41:
واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن لله خمسه وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل إن كنتم ءامنتم بالله وما أنزلنا على عبدنا يوم الفرقان يوم التقى الجمعان والله على كل شيء قدير(الأنفال: 41)
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[28]
Dalam pembagiannya, kepala negara membagi jadi lima bagian. Se-perlima (khumus; 1/5), melalui Baitulmal, dibagi menjadi 5 bagian; hak Allah dan Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, kaum miskin, dan ibn sabil.[29] 4/5 sisanya dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, baik yang selamat atau terbunuh di medan pertempuran.[30] Mereka memperoleh bagian yang sama walau berbeda nasab, kehormatan dan posisi dalam perang.[31]
Pebagian 4/5 ghanimah ini menjadi bahasan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama.[32]  Menurut jumhur harta itu menjadi milik pasukan, baik mereka pergi dengan izin kepala negara atau tidak, karena keumuman ayat ghanimah tidak memberikan indikasi harus adanya izin kepala negara. Sementara menurut sebagian ulama, kalau mereka berangkat tanpa izin, maka semuanya diambil oleh kepala negara, karena seluruh pasukan yang dikirim Rasul, berangkat setelah mendapat izin dari baliau. Namun pendapat yang kedua ini merupakan pendapat yang dianggap lemah. Tapi semua ulama sependapat bahwa haram mengambil bagian sebelum dibagikan kepala negara.
Pasukan yang berhak penuh terhadap bagiannya adalah anggota pasukan laki-laki yang sudah baligh dan merdeka. Sebagian ulama berpendapat bahwa budak dan kaum perempuan yang ikut peperangan tidak mendapat bagian apa-apa. Imam al-Awza’i berpendapat bahwa mereka memperoleh satu bagian dari ghanimah. Penyebab perbedaan adalah keumuman ayat ghanimah (al-Anfal: 41), apakah keumumannya mencakup laki-laki dan perempuan; orang merdeka dan budak. Sementara itu sebagian sahabat, dalam pelaksanaannya, tidak mengikuti keumuman ayat itu. Umar pernah berkata: “Semua orang berhak atas harta rampasan ini, kecuali budak”.
Sementara Imam Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa mereka diberi hadiah dari ghanimah yang diperoleh, tapi tidak mendapat bagian khusus. Mereka mengemukakan alasan hadis penjelasan Ibn ‘Abbas terhadap pertanyaan tentang bagian perempuan yang ikut dalam peperangan (hadis ini juga diriwayatkan dari Umm ‘Athiyyah), yang berbunyi:
عن يزيد بن هرمز أن نجدة الحروري كتب إلى ابن عباس يسأله هل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغزو بالنساء وهل كان يضرب لهن بسهم فكتب إليه ابن عباس … وكان يغزو بهن فيداوين المرضى ويحذين من الغنيمة وأما بسهم فلم يضرب لهن بسهم (رواه الترمذي)
Dari Yazid bin Hurmuz: Najdah al-Hururiy menulis surat kepada Ibn ‘Abbas menanyakan apakah Rasulullah SAW pernah membawa kaum perempuan berperang dan membari mereka bagian dari ghanimah. Ibn ‘Abbas membalas suratnya: “Rasulullah pernah membawa kaum perempuan berperang dan mereka memelihara prajurit yang sakit, tapi mereka hanya diberi hadiah dari ghanimah, tidak mendapat bagian khusus darinya”. (HR. al-Turmuziy)
Awza’iy berpendapat bahwa mereka mendapat bagian khusus. Ia mengemukakan bahwa Rasul telah memberikan bagian khusus buat kaum perempuan di Khaibar, termasuk para isteri beliau. Anak-anak, yang hampir baligh, menurut Imam Syafi’iy mendapat bagian sama dengan pasukan lain. Sementara Imam Malik memberikan persyaratan, “kalau ia mampu berjuang”, maka ia mendapat bagian. Tapi kalau tidak, ia tidak mendapat bagian. Sementara sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak-anak hanya diberi hadiah, tidak mendapat bagian khusus.
Pejuang yang mendapat bagian, menurut jumuhur, adalah pejuang yang menyaksikan peperangan, walau ia sendiri tidak ikut berperang. Kalau ia datang setelah peperangan usai, maka ia tidak dapat bagian. Sebagian ulama berpendapat kalau ia terlambat karena mengurus urusan yang dipercayakan kepala negara, maka ia tetap dapat bagian; kalau terlambat karena urusan lain, ia tidak dapat bagian. Alasan yang mereka kemukakan adalah: Utsman yang tidak ikut perang Badar karena disuruh menjadi pengganti Rasul di Madinah mendapat bagian. Aban bin Sa’id yang terlambat dalam penaklukan Khaibar tidak diberi bagian oleh Rasul.
Dalam menentuan bagian untuk pasukan yang berhak penuhpun juga terjadi perbedaan pendapat. Rasul sendiri memberikan dua model pembagian. Pertama, di antaranya dalam perang Badar, Rasul membagi tiga; dua bagian diberikan kepada pasukan kavaleri dan satu bagian sisanya diberikan kepada pasukan infnateri. Kedua, pada perang Hunain dan penaklukan Khaibar, Rasul membagi empat; tiga bagian diberikan kepada pasukan kavaleri dan satu bagian kepada pasukan infanteri.[33]
Imam Hanafi menetapkan bagian pasukan infanteri dan kavaleri sama besar (masing-masing satu bagian), karena beliau menganggap tidak ada nilai lebih bagi binatang terhadap seorang muslim. Sementara Abu Yusuf, walau setuju dengan alasan yang dikemuakakan Imam Hanafi, lebih cenderung dengan satu bagian untuk pasukan infanteri dan dua bagian untuk pasukan kavaleri, dengan alasan pasukan kavaleri mempersiapkan diri lebih baik di bandingkan dengan pasukan infanteri.[34]
Dari contoh Rasul tersebut memberikan peluang ijtihad bagi kepala negara berikutnya, sesuai dengan situasi dan kondisinya, dalam penentuan bagian pasukan yang mengikuti pertempuran. Dengan situasi dan kondisi pada awal kemajuan Islam, di mana semua pasukan mempersenjatai dirinya dengan biaya sendiri, dan pasukan kavaleri mengeluarkan biaya jauh lebih besar dibanding pasukan infanteri, maka (untuk peperangan seperti ini) penulis lebih cenderung dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Yusuf. Hal itu diperlukan untuk menghargai dan memotivasi mereka dalam perjuangan yang telah dan akan dilakukan selanjutnya. Sementara dalam peperangan yang dilakukan dengan biaya yang sepenuhnya ditanggung pemerintah, menurut penulis (kalau diberlakukan pembagian ghanimah) yang lebih cocok adalah pembagian yang dikemukakan oleh Imam Hanafi untuk setiap anggota pasukan. Namun satu atau dua bagian harus tetap diserahkan kepada negara sebagai biaya pengadaan dan perbaikan perlengkapan perang.
Terhadap tawanan perang (الأسرى)[35] ada tiga pilihan; dibunuh, dijadikan budak (dibagikan), diminta tebusan, atau dibebaskan (dimaafkan). Kalau mereka dibagi, dilakukan dengan cara dan bagian yang sama dengan pembagian ghanimah.[36] Penyebab perbedaan ini berasal dari ayat mujmal dalam surat Muhammad (47): 4:
… حتى إذا أثخنتموهم فشدوا الوثاق فإما منا بعد وإما فداء حتى تضع الحرب أوزارها … (محمد: 4)
… Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti…”.[37]
Ayat ini memberikan kebebasan kepada kepala negara untuk memilih pembebasan tanpa syarat atau pembebasan dengan meminta tebusan dengan sesuatu yang diinginkannya. Sementara di dalam surat al-Tawbah (9) ayat 5 secara tegas Allah menuntut agar membunuh setiao orang musyrik di mana seja, tentunya termasuk yang sudah ditawan. Ayat tersebut berbunyi:
… فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم وخذوهم واحصروهم واقعدوا لهم كل مرصد فإن تابوا وأقاموا الصلاة وءاتوا الزكاة فخلوا سبيلهم … (التوبة: 5)
… maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan…”.[38]
Semantara tawanan anak-anak dan wanita, jika mereka ahli kitab;  tidak boleh dibunuh; mereka berstatus sebagai budak (dibagikan). Tapi jika bukan ahli kitab dan menolak masuk Islam, maka ia boleh dibunuh (menurut Syafi’iy) atau tetap dijadikan budak (menurut Hanafi). Saat dijadikan budak, seorang ibu tidak boleh dipisahkan dari anaknya yang masih kecil.[39]
Di samping itu, ada harta yang diperoleh seorang tentara dalam peperangan setelah membunuh lawannya, baik berupa pakaian meupun senjata dan kuda tunggangannya, harta seperti ini disebut salb.[40] Menurut Syafi’iy, Ahmad, Abu Tsaur, Ishaq dan Jama’ah Salaf, salb tidak dibagikan kepada pasukan lain, langsung jadi milik prajurit yang berhsil membunuh lawan tersebut, walau tidak ada pernyataan penyerahan, sebelum dan sesudah perang, dari kepala negara. Berkaitan dengan ini, Rasul menegaskan: “Barangsiapa berhasil membunuh musuh, dan ia mempunyai bukti, maka harta salb tersebut untuknya”. Hadis ini jadi justifikasi kepemilikan slab itu.[41] Sementara menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, prajurut tersebut tidak bisa memilikinya kalau tidak ada pernyataan pernyerahan dari kepala negara.[42]
Umar pernah membagi salb seperti membagi ghanimah. Bedanya, 1/5 bagian ghanimah adalah untuk Baitulmal, sementara pada salb 1/5-nya untuk prajurit yang membunuh lawannya. Hal ini pertama kali terjadi dalam perang melawan bangsa Persia. Saat itu Barra` bin Malik berhasil membunuh Marza-ban al-Zarrah dan mengambil 2 buah gelang, baju khas Persia serta sebuah karung berisi emas dan perhiasan. Ketika Umar mengetahuinya, ia berkata: “Kita tidak membagi harta salb jadi 5 bagian di masa Rasul, sedangkan harta salb Barra` sangat banyak, maka aku akan membaginya jadi 5 bagian”.[43]
Dalam kejadian lain, masih dalam perang melawan bangsa Persia, Zahrah bin Hawiyah berhasil membunuh dan mengambil salb Galineos (kapten tentara Persia) sementara Sa’ad bin Abi Waqash membiarkannya. Ketika diketahui Umar, ia menulis surat kepada Sa’ad:
Bersikap sahaja engkau dengan orang seperti Zahrah. Dia itu seperti apa yang telah dia ucapkan. Hanya ada sesuau yang tersisa dari peperangan yang engkau lewati yang merusak hatinya. Biarkan harta salb-nya, setelah itu berikan lebihnya kepada para sahabatnya sebagaimana engkau telah memberinya 1/5 harta rampasan.[44]
Ada beberapa pertimbangan yang jadi landasan keputusan Umar ini, di antaranya, seperti yang dikemukakannya, harta itu sangat banyak hingga mencapai di luar batas kewajaran. Para tentara biasanya tidak mungkin berangkat ke medan perang dengan membawa harta sebanyak itu. Kalau mereka melakukannya, maka harta itu bukanlah harta salb karena peperangan, tetapi menyerupai harta karun yang ditemukan, karenanya disamakan hukumnya dengan harta rampasan perang (biasa). Pertimbangan lain (versi Quthb Ibrahim) dikhawatirkan berita itu akan memecah konsentrasi pasukan tempur yang lain dan memicu mereka untuk membunuh musuh yang memiliki harta yang sangat banyak saja, dan bisa-bisa mereka melakukannya dengan mengabaikan rencana peperangan yang telah disusun sebelumnya.[45]
Lahan pertanian yang jadi ghanimah, penduduknya disuruh pindah (mereka juga ghanimah). Sebelum pemerintahan Umar, wilayah tersebut dibagikan kepada pasukan perang. Sementara setelah Umar menjadi khalifah, wilayah seperti itu diolah oleh penduduk setempat dan setengah dari hasilnya diserahkan kepada negara untuk dimanfaatkan pada kepentingan umum. Adapun harta bergerak, seperti pakaian prajurit musuh dan persenjataan serta kendaraannya, langsung dibagikan kepada pasukan yang ikut berperang, sebagaimana yang dilakukan Rasul dalam peperangan yang dilaluinya.[46]

3.      Al-Fai`
Al-Fai` (fai`) adalah semua harta yang ditinggalkan orang kafir dan tentara musuh sebelum mereka diserang pasukan Islam[47] atau yang diperoleh umat Islam dari orang kafir tanpa peperangan.[48] Yang menjadi dasar hukum perolehan fai` ini adalah surat al-Hasyr (59) ayat 7:
ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم … (الحشر: 7)
Apa saja harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari kota-kota, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin dan ibn sabil, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu….”.
Harta tersebut berubah kepemilikannya dari musuh Islam menjadi milik semua kaum Muslimin. Dalam pemanfaatannya, ulama juga berbeda pendapat. Jumhur berpendapat kepala negara memiliki wewenang penuh, seperti telah dilaksanakan di masa Abu Bakar dan Umar; tidak dibagikan kepada pasukan dan tidak diperjual belikan. Ia dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemashlahatan kaum muslimin, seperti gaji tantara dan pegawai serta membiayai sarana umum lainnya. Terhadap tanah fai` yang diserahkan pengelolaannya kepada perorangan, ditetapkan kewajiban kharaj.[49] Sementara menurut Imam Syafi’iy, di dalamnya terdapat 1/5 bagian milik Allah dan Rasul-nya, orang miskin, anak yatim dan ibn sabil, sama seprti gha-nimah, dan sisanya dimanfaatkan sesuai dengan pendapat kepala negara, bisa untuk keperluannya, keluarganya dan kemashlahatan umat secara umum.[50]
Berkaitan dengan harta fai` ini Rasul telah memberikan tauladan, yaitu ketika penaklukan terhadap bani Nadhir, dalam sebuah hadis:
عن عمر قال كانت أموال بني النضير مما أفاء الله على رسوله مما لم يوجف عليه المسلمون بخيل ولا ركاب فكانت للنبي صلى الله عليه وسلم خاصة فكان ينفق على أهله نفقة سنة وما بقي يجعله في الكراع والسلاح عدة في سبيل الله (رواه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي وأبو داود وأحمد)
Dari ‘Umar, ia berkata: “Harta bani Nadhir yang ditaklukkan tanpa perlawanan (jadi fai` bagi Rasulullah), semuanya menjadi milik Nabi SAW saja. Rasulullah memenuhi nafkah keluarganya selama satu tahun, sementara sisanya dibelikan tameng dan tombak sebagai persiapan jihad di jalan Allah”. (HR. al-Bukhariy, Muslim, al-Turmiziy, al-Nasa`iy, Abu Dawud dan Ahmad).
Dari sini jelaslah, bahwa harta fai` beserta seluruh hasilnya dikelola oleh kepala negara untuk kepentingan seluruh masyarakat, seperti menggaji pasukan dan pembangunan benteng-benteng, mesjid, dan lainnya untuk kebaikan, atau dijadikan sebagai kekayaan Baitulmal.[51]

4.      Al-Kharâj
Al-Kharâj (kharaj) adalah pungutan yang ditarik dari daerah yang ditempati atau dikuasai oleh umat Islam dengan peperangan.[52] Pungutan itu bisa berbentuk uang atau berbentuk hasil dari tanah tersebut atau bagian yang jelas dari hasil bumi (tambang) yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Terhadapnya dapat diberlakukan transaksi mu’amalah atau muzara’ah.[53]
Ulama berbeda pendapat tentang keberadaan kharaj, sebagian menya-makannya dengan jizyah, dan sebagian lain membedakannya. Di satu sisi, memang ada persamaan antara keduanya; sama-sama barasal dari pampasan perang (fai`), dibebankan setahun sekali kepada penduduk non-muslim, digunakan untuk kepentingan umum; serta gugur dengan Islamnya yang bersangkutan. Tapi juga ada perbedaan penting antara keduanya; jizyah merupakan pungutan yang ditetapkan kewajibannya berdasarkan nash (QS. 9: 29) sementara kharaj ditetapkan berdasarkan ijtihad; jizyah merupakan kewajiban terhadap individu, sementara kharaj diberlakukan terhadap tanah.[54]
Yang pertama menetapkan kharaj sebagai pos pemasukan Baitulmal adalah Umar bin Khaththab.[55] Hal ini bermula dari penaklukkan berbagai daerah subur (sawad) yang ada di sekitar jazirah Arab, seperti Syam, Irak, dan Mesir.[56] Pada awalnya Umar akan membagi harta rampasan (termasuk tanah) tersebut seperti dilakukan Rasul terhadap tanah Khaibar. Tapi kemudian beliau diingatkan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal.tentang akan munculnya sekelompok penguasa tanah yang sangat luas, sementara kelompok lain orang-orang yang gigih mempertahankan Islam tetapi tidak mendapat bagian apapun dari lahan pertanian.[57] Walau pada awalnya terjadi perdebatan sengit (penentang utamanya adalah Bilal bin Rabah dan Abdurrahman bin ‘Auf), tapi akhirnya kaum muslimin menyetujui putusan Umar yang didasarkan pada berbagai dalil, diantaranya surat al-Hasyr: 6-10 (tentang pembagian fai`). Menurut Umar, harta diberikan kepada penduduk desa dalam ayat 7 dan diberikan kepada kaum Muhajirin dalam ayat 8, sementara untuk kaum Anshar di dalam ayat 9 dan orang-orang setelah mereka di ayat 10.[58]
Ulama yang datang kemudian[59] berbeda pendapat tentang tanah yang berhasil dirampas dalam suatu peperangan ini. Menurut Imam Malik, tanah tersebut tidak dibagi, melainkan dijadikan sebagai tanah kharaj yang hasilnya dimanfaatkan untuk keperluan umat Islam, seperti gaji tentara (pegawai) dan pembangunan fasilitas umum, kecuali kalau kepala negara melihat bahwa membaginya lebih bermanfaat dari pada menjadikannya tanah kharaj. Imam Syafi’iy berpendapat bahwa tanah itu harus dibagi sama seperti pembagian ghanimah. Sementara menurut Imam Abu Hanifah hal itu diserahkan kepada kepala negara; apakah akan dibagi atau dijadikan tanah kharaj.
Penyebab perbedaan pendapat adalah perbedaan mereka dalam memahami surat al-Anfal: 41 dan al-Hsyar: 8. Surat al-Anfal: 41 menghendaki semua ghanimah (termasuk tanah) harus dibagi, sementara surat al-Hsyar: 8 memberikan isyarat bahwa umat Islam generasi pertama dan generasi berikutnya sama-sama berhak terhadap ghanimah (khususnya tanah) tersebut, seperti argumen Umar bin Khaththab, karenanya tidak boleh dibagi.
Imam Malik melihat bahwa ayat ini menjelaskan persoalan yang sama, karenanya surat al-Hsyar mentakhshish surat al-Anfal. Jadi, ghanimah dibagi seperti penjelasan surat al-Anfal, kecuali tanah yang mengikuti aturan dalam surat al-Hasyr, seperti yang dilakukan Umar terhadap tanah Sawad. Sementara menurut Imam Syafi’iy dua ayat ini membicarakan dua persoalan berbeda; tanah tidak termasuk dalam pembicaraan surat al-Hasyr, dan ia harus dibagi, seperti yang dilakukan Rasul terhadap tanah Khaibar. Ibn Rusyd mengatakan pemahaman seperti ini sangat lemah, karena kata ghanimah dan fai` merupakan dua kata yang merujuk dua objek yang berbeda.
Suatu daerah (tanah) ditetapkan sebagai tanah kharaj atau tidak tergantung statusnya. Al-Mawardi[60] membaginya jadi empat macam, yaitu:
a.       Daerah yang dihidupkan umat Islam adalah tanah‘usyur.
b.    Daerah yang pemiliknya masuk Islam (setelah ditaklukkan), ia menjadi pemilik yang paling berhak atasnya.
c.     Daerah yang direbut dengan kekerasan sama kedudukannya dengan gha-nimah; dapat dibagikan dan dimiliki para tentara yang merebutnya.[61]
d.    Daerah yang didapatkan dari kaum musyrik dengan damai.
Tanah kelompok pertama tidak bisa dirubah menjadi tanah kharaj. Yang masuk kelompok kedua, menurut Syafi’iy, dijadikan tanah ‘usyur, dan Abu Hanifah menyerahkannya kepada kepala negara; mau dijadikan tanah ‘usyur atau kharaj. Kelompok ketiga, menurut Syafi’iy, dapat dibagikan sebagai rampasan perang, dan darinya hanya ditetapkan ‘usyur. Tapi menurut Imam Malik, tanah tersebut menjadi tanah wakaf bagi semua kaum muslimin dengan kewajiban mengeluarkan kharaj. Sementara Abu Hanifah menyerahkan sepenuhnya kepada kepala negara. Untuk tanah yang termasuk kelompok empat, disepakati kewajiban kharaj terhadapnya.[62]
Selain ketentuan di atas, dalam penetapan kharaj, harus memperhati-kan betul kualitas dan kapasitas tanah tersebut. Hal yang harus diperhatikan dalam penetapan kharaj, seperti dikemukakan Abdurrahman Hasan, adalah:
Jenis tanah. Karena tanah bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk (tidak/kurang subur; pen).
Jenis tanaman. Ada yang harganya tinggi dan ada yang harganya rendah, maka tanaman juga menentukan harga.
Pengelolaan tanah. Jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan (dengan biaya rendah).
Kemudian, perlu juga diperhatikan hasil panen akhir, sebab kadang-kadang terkena hama atau dimakan binatang.[63]
Dengan demikian jumlah nominal kharaj juga berbeda terhadap tanaman yang berbeda. Penetapan jumlah nominalnya sebagai berikut:
a.       2 dirham dari setiap satu gantang gandum yang basah
b.      4 dirham dari setiap satu gantang jagung yang basah
c.       5 dirham dari setiap satu gantang anggur yang basah
d.      10 dirham dari setiap satu gantang kayu krom yang basah.[64]
Batas minimal lahan yang wajib mengeluarkan kharaj digunakan ukuran jarib (petak).[65] Untuk satu jaribnya dipungut sebesar satu qafiz (33 liter) dan satu dirham. Abu Yusuf menjelaskan rincian kharaj dengan mengguanakan ukuran jarib ini, sebagai berikut:
a.       10 dirham untuk satu jarib anggur dan pohon yang menjalar
b.      8 dirham untuk satu jarib kurma
c.       6 dirham untuk satu jarib tebu
d.      4 dirham untuk satu jarib gandum (jenis الحنطة)
e.       2 dirham untuk satu jarib gandum (jenis الشعير)[66]
Kepala negara bebas memilih apakah ia akan membagi-bagikan hasil kharaj ini kepada anggota pasukan yang ikut dalam penaklukan daerah tersebut atau membagikannya kepada seluruh umat Islam, baik yang ikut berperang ataupun yang tidak ikut berperang. Pungutan kharaj itu diambil setiap tahunnya terhadap orang-orang yang mengelola daerah (tanah) yang telah ditaklukkan itu, baik ia terhadap kaum muslimin ataupun kafir zimmiy. Sisa dari pungutan itu dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga mereka. Cara seperti inilah yang dilaksanakan oleh Umar bin Khattab terhadap daerah taklukannya, seperti Syam, Iraq dan Mesir.[67]
Pada masa Umar bin Khaththab, pungutan kharaj untuk tiap jaribnya (satu Jarib lebih kurang 60 hasta) berkisar antara dua dirham dan sepuluh dirham, tergantung keadaan tanahnya. Untuk daerah Sawad (Irak), di masa Umar, diperoleh sebesar 120 juta dirham. Sementara dari Mesir, pada waktu ‘Amru bin ‘Ash menaklukannya, diperkirakan diperoleh sebesar 24,4 juta dinar. Sementara tanah kekayaan negara yang dikelola dengan menggunakan sistem muzara’ah pada masa khalifah rasyidin (sampai masa Umayyah) mencapai 6 juta fidan, di mana sepertiganya berada di Mesir.[68]

5.      Al-Jizyah
Al-Jizyah (jizyah) adalah pungutan akhir tahun berbentuk harta yang diambil dari kafir zimmiy yang wilayahnya dikuasai oleh kaum Muslimin melalui peperangan.[69] Yang jadi landasan pemberlakuan pungutan ini adalah firman Allah di dalam surat al-Taubah (9) ayat 29, yang berbunyi:
قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون (التوبة: 29)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allan dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.[70]
Selain ayat di atas, Rasul juga mempertegasnya dengan wasiat khusus beliau terhadap para gubernurnya dan surat yang beliau kirimkan ke berbagai penguasa di sekitar Arab yang memberikan pilihan masuk Islam atau membayar jizyah, di antaranya kepada al-Munzir bin Sawiy, ‘Ibadillah al-Asbaziyin (penguasa Aman), penguasa dan masyarakat Yaman, al-Harits bin ‘Abd al-Kilal, Syuraih bin ‘Abd al-Kilal, Nu’aim bin ‘Abd al-Kilal, Heraklius (raja Romawi), Kisra (raja Persia) dan al-Najasyi.[71]
Jizyah itu sendiri terbagi tiga, yaitu jizyah ‘unwiyyah, jizyah shulhiyyah dan ‘usyriyyah. Jizyah ‘unwiyyah adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh para penduduk yang ditaklukkan (yang dibicarakan selanjutnya adalah jizyah jenis ini). Jizyah shulhiyyah adalah bantuan yang diberikan oleh penduduk yang tunduk melalui perdamaian terhadap pemerintah Islam, seperti yang dibayarkan oleh penduduk Mesir kepada pemrintah Madinah (semacam sumbangan wajib). Ia diterima berdasarkan kesepakatan yang didalamnya diberikan batas minimal, namun tidak menetapkan batas maksimal.[72] Sementara ‘usyriyyah adalah pungutan cukai perdagangan (dibicarakan lebih dalam pada bagian ‘usyur).[73]
Jizyah hanya dipungut sekali setahun (hawl), sebagai imbalan atas fasilitas ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan yang mereka terima dari pemerintahan Islam, termasuk janiman keamanan, baik terhadap diri, keluarga, kekayaan atau agama mereka. Ia gugur kalau kafir zimmiy tersebut memeluk agama Islam sebelum sampai hawl-nya.[74] Dengan dipungutnya jizyah, mereka tidak dikenai kewajiban untuk berperang mempertahankan keamanan negara. Kelompok pertama yang setuju membayar jizyah kepada Raslullah adalah bangsa Kristen Najran. Rasul juga mengumpulkan jizyah dari masyarakat Bahrain (Abu Ubaydah) yang menganut faham Zoroaster.[75]
Bentuk dan cakupan perlindungan yang diberikan Pemerintah Islam dapat dilihat dalam perjanjian yang dibuat Umar dengan Penduduk Iliya’ yang disaksikan (antara lain) oleh Khalid bin Walid, Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Muawwiyah bin Abi Sufyan yang disahkan tahun 15 H:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berikan jaminan atas jiwa, harta, rumah, tempat ibadah, orang yang jelek budi pekertinya dan seluruh keluarganya.  Gereja mereka tidak akan diambil alih dan tidak akan dihancurkan. Harta mereka tidak akan diambil, begitu juga harta mereka yang berharga dan tanda salib mereka. Mereka tidak dipaksakan untuk keluar dari agama mereka dan tidak seorangpun dari mereka akan mendapatkan gangguan. Tidak dibolehkan seorang Yahudi untuk tidanggal bersama mereka di Iliya.
Penduduk Iliya” harus memberikan jizyah sebagaimana penduduk Mada’in, dan mereka diwajibkan untuk mengeluarkan orang-orang Romawi dan para pencuri dari negeri mereka. Barangsiapa dari mereka akan berpergian ke luar daerah, maka dia akan mendapatkan jaminan keamanan atas dirinya, hartanya, sampai mereka tiba di tempat tujuan. Barangsiapa yang menginap, maka aman baginya dan akan mendapatkan hak yang sama dengan penduduk Iliya” dengan jaminan jizyah. Penduduk Iliya’ yang ingin membawa hartanya pindah bersama orang tersebut dan meninggalkan bai’at mereka serta salib mereka, maka mereka mendapatkan jaminan keamanan untuk diri mereka, bai’at mereka dan salib mereka sampai mereka tiba di tempat tujuan.
Barangsiapa yang ingin kembali kepada keluarganya, maka tidak diambil apapun atas diri mereka sampai mereka memiliki penghasilan. Semua yang ada di dalam surat ini adalah perjanjiian Allah SWT, dan merupakan jaminan Rasul-Nya dan para khalifah serta kaum mukminin.[76]
Selain jizyah, sebagai imbalan (non material) dari jaminan yang diberikan pemerintahan Islam, mereka harus mematuhi berbagai ketentuan, diantaranya adalah tidak membangun dan memperbaharui rumah peribadatan, baik di kampung muslim maupun di kampung mereka, tidak menghalangi kaum muslim masuk gereja (siang atau malam), melayani tamu muslim (ibn sabil) selama 3 hari, tidak memasang mata-mata di manapun, tidak mengjak dan memperlihatkan perbuatan syirik, tidak melarang kerabat mereka untuk masuk Islam, menghormati kaum muslim, tidak meniru pakai kaum muslim, tidak membuat dan mengimpan senjata, tidak menjual minuman keras, tidak memasang dan memperlihatakan tanda salib dan kitab-kitab atau atribut lain di daerah muslim, memukul loncong dan membaca doa dengan suara lirih, tidak menguburkan mayat di dekat kuburan kaum muslim, tidak mengambil budak kaum muslim, tidak memelihara budak, dan tidak memukul kaum Mizlim.[77]
Jizyah hanya diambil dari kaum laki-laki merdeka, berakal dan produktif. Anak-anak, kaum perempuan, fakir miskin, orang-orang yang tidak produktif (gila, lemah, sakit, sudah tua dan cacat) dan budak dibebaskan dari pungutan ini. Para pendeta (biarawan) juga dibebaskan dari pungutan ini, kecuali kalau mereka tergolong kaya.[78]
Dalam satu riwayat diceritakan, bahwa Umar bin Khaththab melewati perumahan suatu kaum. Di sana ada seorang peminta-minta yang buta, lalu Umar memegang lengannya dari belakang dan berkata: “Kamu berasal dari ahl kitab mana?” Ia menjawab: “Yahudi”. Kemudian Umar bertanya lagi: “Apa yang memaksamu sampai harus melakukan ini?” Ia menjawab: “Pemungutan jizyah, kebutuhan dan usia”. Kemudian Umar membawanya ke rumahnya lalu menyediakan tempat tinggal untuknya. Setelah itu Umar mengajaknya ke petugas Baitulmal dan mengatakan[79]:
Perhatikan orang ini dan orang-orang yang sama dengannya, demi Allah apakah keadaan mereka tidak menginsafkan kita, kita telah memungut (jizyah) ketika mudanya (produktif) dan mengabaikan ketika ia sudah tua dan lemah. Sesungguhnya sedekah itu adalah hak orang-orang miskin, dan orang ini adalah orang miskin ahl kitab, karenanya bebaskan ia dari jizyah dan orang-orang yang sama dengannya”.
Al-Qadhi Abu Yusuf menulis surat kepada Khalifah Harun al-Rasyid, seperti terdapat di dalam kitab kharaj Ia berkata:
Cukuplah bagimu (sebagai contoh), ya Amir al-Mu’minin, bagaimana Nabimu, anak pamanmu, bersikap membela dan menolong para ahl zimmah; Ia sangat mengutamakan hak mereka; tidak pernah menganiaya dan menyakiti mereka serta tidak pernah membebani mereka dengan beban yang melebihi kemampuan mereka; Ia tidak pernah mengambil sesuatupun dari mereka, kecuali kewajiban yang ditetapkan dengan cara yang benar.[80]
Pungutan jizyah itu diwajibkan terhadap mereka, khususnya ahl kitab, sebagaimana zakat diwajibkan terhadap kaum muslimin. Hal itu disebabkan karena mereka mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang sama dalam pemanfaatan fasilitas umum. Akan tetapi, jizyah tidak menjadi utang bagi ahl zimmiy. Jika mereka masuk Islam atau meninggal sebelum melunasi jizyahnya, ia atau ahli warisnya tidak dituntut untuk melunasinya.[81]
Pungutan itu diambil sesuai dengan kemampuan, kepatutan serta perkembangan ekonomi, baik kemampuan daerah itu secara keseluruhan maupun perekonomian individu yang akan dipungut jizyah.[82] Besarnya berkisar antara satu sampai empat dinar atau sepuluh sampai empat puluh dirham. Hasilnya digunakan untuk kepentingan umum.[83] Imam Abu Hanifah membagi pungutan tersebut terbagi tiga, yaitu 12 dirham, 24 dirham dan 48 dirham. Pungutan itu tidak boleh lebih dari 48 dirham (buat orang kaya) dan tidak beleh kurang dari 12 dirham (buat orang miskin), rinciannya adalah:[84]:
a.       Orang kaya, yaitu yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan tinggi seperti penukaran mata uang atau pemilik swalayan, pemilik barang-barang langka, pedagang dan dokter, dipungut 48 dirham pertahun.
b.    Kalangan menengah dipungut sebesar 24 dirham pertahun.
c.     Dan kalangan bawah (faqir) yang memiliki pekerjaan, seperti penjahit, penenun, penjual minuman dan semacamnya, diambil 12 dirham pertahun.
Imam Malik hanya membagi dua, sesuai dengan pembagian Umar bin Khaththab; untuk golongan kaya 4 dinar dan untuk golongan bawah 40 dirham, di samping harus melayani umat Islam yang datang sebagai tamu (minimal 3 hari). Imam Syafi’iy menetapkan: minimal satu dinar dan tidak batas maksimalnya, sesuai dengan kemashlahatan yang dibutuhkan. Imam Ahmad menetapkan satu dinar. Sementara al-Tsauri tidak memberikan batas minimal dan maksimal, semuanya diserahkan kepada kepala negara.[85]
Penyebab perbedaan mereka berawal dari perbedaan atsar yang menjelaskan tentang persoalan ini. Untuk persoalan ini, paling kurang ada 3 atsar yang menjelakannya, yaitu:
Pertama, hadis tentang perintah Rasul menyuruh Mu’az bin Jabal untuk mengambil jizyah sebesar satu dinar di Yaman, yang berbunyi:
عن معاذ ابن جبل قال بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليمن فأمرني أن آخذ … من كل حالم دينارا أو عدله معافر (رواه النسائي والترمذي وأحمد)[86]
Dari Ibrahim, ia berkata: “Telah beekata Mu’az: ‘Saya diutus Rasulullah SAW ke Yaman, lalu beliau menyuruhku untuk mengambil dari tiap orang yang penyantun (kaya) satu dinar”. (HR. al-Nasa`iy, al-Turmuziy, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik dan al-Darimiy).
Kedua, atsar yang menjelaskan bahwa Umar menetapkan jizyah untuk penghuni Sawad golongan kaya sebesar 4 dinar dan untuk golongan menengah (seperti juru tulis) sebesar 40 dirham. Atsar tersebut berbunyi:
عن أسلم مولى عمر بن الخطاب أن عمر بن الخطاب ضرب الجزية على أهل الذهب أربعة دنانير وعلى أهل الورق أربعين درهما مع ذلك أرزاق المسلمين وضيافة ثلاثة أيام (رواه مالك)[87]
Dari Aslam Mawla ‘Umar bin Khaththab, ‘Umar bin Khaththab menetapkan Jizyah terhadap golongan kaya (pemilik emas) sebesar 4 dinar dan terhadap golongan menengah (juru tulis) sebesar 40 dirham, ditambah kewajiban melayani (tamu) orang-orang Islam”. (HR. Malik).
Ketiga, masih atsar yang memberikan gambaran kebijakan Umar, ia menyuruh ‘Utsman bin Hunaif memungut jizyah dari penduduk Sawad di Irak sebesar 48 dirham, 24 dirham dan 12 dirham.[88]
Dari ketiga atsar di atas terlihat, bahwa kepala negara boleh meng-ambil kebijakan dalam penetapan besarnya jizyah dengan mempertimbangkan kemashlahatan dan tidak memperberat beban ekonomi rakyat.[89]
Dalam keadaan tertentu, misalnya untuk menjaga keutuhan dan keamanan negara, jizyah bisa diambil berlipat ganda. Hal ini pernah dilakukan Umar terhadap Bani Tughlab, kaum Nasrani dari bangsa Arab. Mereka adalah para penggembala dan petani yang hidup terpencar-pencar di berbagai pelosok daerah dan sangat berpotensi menjadi penggerogot kekuasaan Islam (baik dengan kekuatan sendiri atau minta bantuan/menghasut orang lain). Dalam kasus ini Umar menamai pungutan yang diambilnya dengan zakat, padahal sesungguhnya semua itu adalah sebagai ganti dari jizyah yang sebelumnya belum pernah mereka bayarkan.[90] Dengan tetap menghormati agama mereka (tidak memaksa keluar), Umar melipatgandakan kewajiban zakat; pada setiap 5 ekor unta dikenakan 2 ekor kambing, setiap 10 unta dikenakan 4 kambing dan seterusnya. Begitupula dengan kambing, sapi, biji-bijian dan bauh-buahan. Tumbuh-tumbuhan yang disiram dengan air hujan diambil 2/10-nya dan yang disirami dengan usaha diambil sebesar 1/10-nya. Bila salah satu penduduk Bani Tughlab masuk Islam atau tanhnya dibeli oleh orang Islam, maka tetap diambil pajak zakat-nya sebesar 1/10.[91]

6.      Al-‘Usyur (bea cukai)
Al-‘Usyur (sepersepuluh) adalah pungutan terhadap para pedagang yang berasal dari daerah Ardh al-Harb atau dari negara Islam itu sendiri.[92]
Pungutan terhadap para pedagang (‘Usyur; bea cukai) sebelum pemerintahan Islam juga telah diberlakukan, seperti yang dilaksanakan oleh bangsa Yunani. Pemerintahan Republik Athena menetapkan cukai sebesar 2,5% terhadap barang dagangan dan hasil bumi yang berasal dari luar negeri. Sistem ini dilanjutkan oleh bangsa Romawi, sehingga pemasukan pemerintahan Mesir Kuno bertambah besar pada waktu bangsa Romawi berkuasa. Salah satu hubungan dagang mereka, yang dipusatkan di Iskandariah, yang sangat berarti adalah dengan penduduk Nouba.[93]
Di awal pemerintahan Islam, pungutan semacam ini tidak dikenal. Ia baru dimulai dan diatur dengan rapi semenjak masa kekhaliafahan Umar bin Khaththab. Hal iti dimulai dari laporan yang dikirimkan Abu Musa al-Asy’ari bahwa para pedagang Muslim yang berdagang ke daerah Ardh al-Harb dipungut al-‘Usyur oleh penguasanya. Menjawab surat itu Umar memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari sebagai berikut:
Ambillah sebagaimana telah mereka ambil dari para pedagang Muslim; ambillah dari para pedagang kafir zimmiy sebagian dari al-‘Usyr; dan dari para pedagang Muslim ambillah satu dirham tiap-tiap 40 dirham. Jangan engkau mengambil tambahan kalau jumlahnya belum sampai 200 dirham. Kalau sudah sampai 200, maka ambillah sebanyak lima dirham.[94]
Pemungutan itu dilakukan sepersepuluh dari modal (barang) dagangan para pedagang kafir yang datang dari Dar al-Harb.[95] Berkaitan dengan ini, Imam Syafi’iy mengemukakan fatwanya, sebagai berikut
Kepala negara atau yang mewakilinya bisa menambah jumlah pungutan itu, lebih dari sepersepuluh, atau menguranginya, sampai seperlimanya. Malahan hal itu dapat dihilangkan sama sekali, kalau kemashlahatannya lebih besar dibanding kalau ia dipungut. Selanjutnya tidak dibolehkan memperbesar jumlah pungutan berulangkali dalam satu tahun. Kalau akan dilakukan penambahan, dalam tahun yang sama, maka terlebih dahulu harus dilakukan kesepakatan, di mana di dalamnya harus tercapai “kerelaan” kedua belah pihak. Pungutan semacam ini tidak diberlakukan bagi para pedagang tetap. Artinya para pedagang yang tidak berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.[96]
Pungutan yang diberlakukan itupun ditetapkan dengan memperhatikan keberadaan si pedagang di dalam negara Islam. Dalam hal ini, agama dan status kewarganegaraan si pedagang sangat menentukan. Bagi para pedagang muslim tidak dikenakan pungutan ini, mereka hanya dikenakan zakat atas barang dagangan sebesar 2,5% terhadap barang dagangannya yang mencapai satu nisab dan telah sampai haulnya. Karenanya, kalau pedagang muslim, yang telah menunaikan zakat barang dagangannya, memasuki suatu daerah (masih dalam negara Islam), maka ia tidak diambil cukainya. Hal itu tidak perlu dibuktikan (dikuatkan) dengan sumpah.
‘Usyur hanya diberlakukan terhadap pedagang kafir harbiy dan kafir zimmiy, karena mereka tidak dikenakan kewajiban zakat. Terhadap kafir zimmiy hanya dikenai pungutan sebesar 1/5 dari barang dagangan yang mencapai nilai 200 dirham. Adapun untuk kafir harbiy dikenakan pungutan sebesar 1/10 terhadap barang dagangan yang bernilai sama atau 20 mitsqal (emas). Kalau mereka membawa barang dagangan di bawah nilai tersebut, mereka tidak dikenai pungutan cukai. Seandainya mereka (termasuk kafir zimmiy) membawa dagangannya lebih dari sekali dalam setahun, maka mereka hanya dikenai pungutan pada pertama kali; selebihnya mereka dibebaskan dari pungutan. Selanjutnya, kalau pedagang kafir harbiy keluar dari negara Islam, setelah lewat sebulan dari pungutan sebelumnya, untuk kembali ke daerah dar al-harbiy, ketika ia masuk lagi ke daerah Islam dan membawa barang melebihi 200 dirham, maka ia dikenai pungutan ‘usyur sekali lagi.[97]
Persyaratan orang yang akan diangkat sebagai pemungut ‘usyur, seperti dikemuakakn oleh Abu Yusuf, adalah orang yang shaleh dan memahami ketentuan agama (secara mendalam). Selain itu, mereka harus diperingati agar tidak melewati batas dalam memperlakukan para pedagang, tidak menganiaya mereka, tidak mengambil melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dan memperlakukan semua orang dengan sama.[98]
Pelaksana pemungutan bea cukai memungutnya dalam bentuk uang atau barang di pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar, sebagaimana diberlakukan dalam negara modern. Pungutan tersebut dibuktikan dengan kwitansi. Dalam keadaan tertentu, pungutan tersebut diturunkan atau dibebaskan sama sekali. Hal ini merupakan tindakan sosial, trutama barang-barang makanan dan kebutuhan pokok lainnya, untuk menurunkan harga. Contoh penurunan tarif ini dilakukan oleh Umar bin Khaththab terhadap minyak dan biji-bijian hanya 1/5 yang dibawa pedagang kafir harbiy, karena saat itu kaum muslimin sangat membutuhkannya.[99]

7.      Tebusan tawanan
Salah satu pos pemasukan Baitulmal yang masih berkaitan dengan peperangan adalah tebusan pasukan musuh yang berhasi ditawan pasukan Islam. Salah satu contoh, hal ini pernah dilakuan di masa Rasul ketika terjadi perang Badar, beliau menetapkan tebusan untuk setiap anggota pasukan Quraisy yang tertawan sebesar 4.000 dirham. Bagi yang miskin atau tidak mampu melunasinya, diganti dengan mengajar 10 orang anak-anak kaum Muslimin.[100] Walau demikian, Rasul juga pernah membebaskan tawanan perang tanpa meminta tebusan sedikitpun. Hal itu terjadi dalam perang 

8.      Perusahaan
Pemasukan dari pos ini dimungkinkan dari pemberian kepercayaan oleh kepala negara kepada seseorang atau beberapa orang untuk mengelola kekayaan negara. Pengelola berhak atas sebagian keuntungan dari usaha yang dilakukan dan sebagian keuntungan lain diserahkan kepada negara.[101]
Kekayaan negara yang dikelola seseorang dapat diserahkan dengan fasilitas iqtha’. Artinya pemberian oleh negara kepada rakyat yang diambilkan dari Baitulmal, dalam rangka memenuhi hajat hidup mereka atau memanfaat-kan kepemilikannya. Pemberian untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat diambilkan dari bagian gharim (pos zakat). Sedang untuk memanfaatkan kepe-milikannya dapat diambilkan dari hak milik individu yang tidak dimanfaatkan atau harta yang tidak ada pemiliknya. Dengan adanya penyerahan ini, maka harta tersebut menjadi hak milik orang yang menerimanya.[102]
Janis kepemilikan perusahaan (industri) mengikuti jenis barang yang diproduksinya. Kalau barang yang diproduksinya tidak termasuk jenis barang milk umum (colective property),[103] maka kepemilikan industri tersebut jadi milik pribadinya, seperti pabrik kue, tekstil, mebel dan sebagainya. Tapi jika industri tersebut memproduksi barang-barang milik umum, seperti pertambangan, maka industri tersebut boleh dimiliki dengan pemilikan secara umum, mengikuti barang tambang yang diekspoitasinya. Pada dasarnya, negaralah yang berhak melakukan eksploitasi sebagai wakil dari rakyatnya, serta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi negara juga boleh menyerahkan pengeksploitasiannya kepada perorangan (swasta) dengan nilai kontrak yang disepakati.[104]

9.      Utang Negara
Utang termasuk salah satu sumber yang mungkin digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara yang betul-betul mendesak. Walau demikian, ia merupakan jalan terakhir, setelah cara lain tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karenanya utang harus dilaksanakan secara selektif tanpa menerapkan sistem bunga. Utang luar negeri tidak bisa dijadikan prioritas, selama masih bisa dilaksanakan utang dalam negeri.[105]
Instrumen utang ini juga dipakai oleh pemerintahan Islam periode awal. Dalam melayani tamu negara dan keperluan keluarga Rasul, tidak jarang Bilal berutang, yang kemudian dibayar Rasul,[106] Ketika menghadapi suku Hawazin, Rasul meminjam unta untuk transportasi dan 100 pakaian perang serta perlengkakpannya dari Sofyan bin Umayyah (zimmiy Makkah) dengan janji akan dikembalikan dalam keadaan baik.[107] Sedang di masa khalifah rasyidin, instrumen utang ini hampir tidak pernah digunakan, karena pada waktu itu Baitulmal mengalami surplus.

10.  Pemasukan lain
Sumber pemasukan Baitulmal yang lain di antaranya adalah harta yang pemiliknya telah meninggal namun ia tidak memiliki ahl waris, dan penghasilan-penghasilan karena hukuman  (kafarat atau denda), seperti denda yang harus dibayar seorang muslim yang batal puasanya, karena melakukan jima’ dengan isterinya di siang hari, ia harus memberi makan 60 orang miskin dalam jangka waktu tertentu untuk menghapus dosanya. Selain kafarat ini, masih banyak janis denda yang lain, seperti dâm dalam haji dan sebagainya. (tulisan selanjutnya klik di sini)




[1] Inggris, negara terbaik dan paling tertib di abad pertengahan, baru membuat lembaga keungan negara sekitar abad 11 (Islam di akhir abad 7 dan ditertibkan di awal abad 8). Edward “Sang Penakluk” (1022-1066) menyimpan hartanya (harta negara) dalam kotak di kamar tidurnya. Pada masa Henry I (1068-1135) sudah dibuat kantor bendahara raja dan di masa Henry II (1133-1189) bendahara raja sudah memiliki rumah sendiri di Westminster. Makanya gelar bendaharawan negara (Chamberlain) berasal dari kata king’s chamber (ruang tidur raja). Sabzwari: Ibid., h. 37
[2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid II, h. 138
[3] M. Abdul Mannan, op.cit., h. 235
[4] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 480. Dalam bentuk sederhana, Yusuf Qardawi mendefinisikannya: “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang tertentu”. Yusuf Qardawi, op.cit., h. 34
[5] Ulama sepakat, bahwa zakat wajib atas setiap orang muslim merdeka, telah baligh dan berakal dan memiliki harta satu nisab dengan sempurna. Tapi mereka berbeda pendapat dalam kewajiban pada anak yatim, orang gila, budak dan ahl zimmah. Ibn Rusyd, op.cit., h. 178. Tulisan ini akan difokuskan pada benda-benda yang dizakatkan, tidak akan memperdalam persoalan ini.
[6] Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf, t.th.), h. 297
[7] Persyaratan umum kekayaan (barang) yang diwajibkan zakat adalah (1) milik sempurna. Maksudnya: kewenangan lebih yang diberikan Allah kepada seseorang untuk menyimpan, memakai sesuatu dibanding orang lain. (2) berkembang (nama`; bertambah). Maksudnya ia bertambah (secara konkrit) akibat pembiakan dan perdagangan atau sejenisnya, dan ia berpotensi berkembang di tangan siapapun (bertambah tidak secara konkrit). (3) cukup senisab. Besarnya diperkirakan dengan kebutuhan pokok satu keluarga (suami, isteri, seorang anak atau seorang pembantu) dalam satu tahun. (4) lebih dari kebutuhan biasa. Dengan syarat ini (lebih satu nisab) seseorang sudah bisa dikatakan “kaya”. (5) bebas dari hutang. Karena ia melemahkan kepemilikan terhadap barang, dan ia tidak bisa disebut orang “kaya”. (6) berlalu setahun. Ini hanya berlaku buat “zakat modal”, yaitu ternak, uang dan barang perdagangan, dan tidak berlaku buat “zakat pendapatan”, yaitu pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia, harta karun dan lain-lain. Persyaratan itu berbeda untuk setiap komoditas yang akan dizakatkan, dan tidak terlepas dari perbedaan pendapat ulama. Lengkapnya lihat: Yusuf Qardawi, op.cit., h. 125-166
[8] Persyaratan barang perdagangan, sama dengan uang, adalah: sudah berlalu setahun, berjumlah minimal senisab (sekarang ± 85 gram emas), bebas dari hutang, dan lebih dari kebutuhan pokok. Ibid., h. 314. Penghitungan nisab barang dagangan dilakukan dengan menjumlahkan modal bergerak dan keuntungan. Ibn Rusyd, op.cit., h. 196
[9] Yusuf Qardawi, op.cit., h. 60-62
[10] Ini adalah pendapat jumhur Ulama. Menurut ulama lain nisab emas adalah 40 dinar. Sebagian lain berpendapat nisab emas ini mengikuti dirham, artinya emas yang setara dnegan nilai 200 dirham, apakah 20 dinar lebih atau kurang. Ibn Rusyd, op.cit., h. 186
[11] Masih menurut Jumhur ulama. Sebagian ulama lain berpendapat kalau ada penambahan dari nisah, namun bukan kelipatan 4 untuk dinar dan 40 untuk dirham, maka kewajiban zakat dihitung dari kelipatan 4 di bawahnya. Contoh, kalau seseorang memiliki dinar sebesar 23 dinar dan telah memenuhi haul, maka kewajiban zakatnya dihitung dari 20 dinar (2,5% x 20 dinar), maka ia wajib mengeluarkan sebesar 1 dinar. Ibid., h. 186-187
[12] Ini adalah pendapat Imam Malik. Penggabungan dimungkinkan karena kedua jenis benda itu pada hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, yaitu sebagai alat tukarnya terhadap benda lain, walau dengan simbol berbeda. Berbeda halnya dengan benda, seperti makanan pokok, ia adalah barang yang diperlukan untuk kebutuhan yang berbeda. Untuk yang terakhir ini, tidak bisa dicampurkan zakat beras dengan jagung, bagi orang yang makanan pokoknya salah satunya. Jumhur ulama berpendapat kedua jenis benda itu tidak bisa digabungkan. Ibid., h. 187
[13] Mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi. Imam Malik dan Syafi’iy berpendapat harus memenuhi nisab dan dikeluarkan sebesar 2,5%. Bedanya, Imam Malik tidak mensyaratkan adanya haul, dan Syafi’iy mensyaratkannya. Ibid., h. 188
[14] Jumhur berpendapat biji-bijian harus mencapai nisab baru dikenai kewajiban. Tapi Imam Hanafi mengatakan tercapainya nisab ini bukan ketentuan yang membatalkan kewajiban zakat biji-bijian. Ibid., h. 193
[15] Kadim as-Sadr dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 87
[16] Quthb, op.cit., h. 45-46
[17] Ibid., h. 47
[18] CD. Hdits al-Kutb al-Tis’ah, Musnad Ahmad, Musnad al-Anshâr, Hadis No.: 20985
[19]Persyaratan hewan yang akan dizakatkan adalah: sampai senisab, telah dimiliki selama satu tahun, digembalakan, dan tidak dipekerjakan.Yusuf Qardawi, op.cit., h. 170-174
[20] Kadim as-Sadr, op.cit., h. 91-92
[21] Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, Ibid., h. 50. Menurut sebagian ulama yang pertama kali mewajiban zakat terhadap kuda adalah Utsman bin ‘Affan. Quthb, op.cit., h. 46-47.
[22] Ada yang menetapkan nisabnya 3 ekor, ulama lain (termasuk Yusuf Qardawi) mene-tapkan 5 ekor dan ulama Hanafiah mendasarkan pada harganya. Yusuf Qardawi, op.cit., h. 230
[23] Ibid., h. 48
[24] Hal ini dilakukan dalam menghadapi krisis kelaparan pada tahun 17 H yang disebab-kan oleh kekeringan yang melanda negara-negara Arab dari ujung Selatan sampai ujung Utara sampai 9 bulan. Masa itu disebut dengan masa romadah (berdebu), di mana hujan hanya turun di satu samudera dan lava yang ada di lapisan perut bumi bergeser yang mengakibatkan lapisan tanah atas menjadi terbakar. Akhirnya tanah berubah menjadi hitam pekat dan jika ngin bertiup akan mengangkat debu-debu. Selama masa krisis, Umar meminta bantuan logistik dan dana ke berbagai daerah Islam yang ada di benua lain dan membagikannya sampai ke pelosok-pelosok. Ibid., h. 50-51. Kesan yang sangat menyolok dari aturan zakat ini adalah: dalam Islam, golongan kaya (yang mempunyai kelebihan) memikul beban utama perpajakan. M. Abdul Mannan, op.cit., h. 233
[25] Ibid., h. 246-247
[26] Abu Bakar Jâbir al-Jazâ`iri, Manhâj al-Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 357 (selanjutnya disebut: Manhâj). Lihat juga: Muhammad Jalal Syarif dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’thi Muhammad, al-Fikr al-Siyâsiy fi al-Islâm, (Iskandariyah: Dar al-Jami’an al-Manshuriyah, 1978),  h. 151. (selanjutnya disebut: al-Fikr al-Siyâsiy). Yahya, op.cit., h. 17
[27] Ahkam, op.cit., h. 131 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 255
[28] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 267
[29] Mengenai khumus ini golongan Syi’ah mempunyai pemahaman sendiri. Menurut mereka, khumus merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan dari segala sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis, baik melalui usaha atau tidak,  yang diberikan Allah kepada umat Islam. Landasan yang mereka gunakan adalah pemahaman terhadap frase “ghanimtum” dalam QS. 8: 41 ---secara etimologis dan merujuk pada beberapa hadis Nabi--- mencakup segala sesuatu yang bernilai ekonomis, karena ia diikuti oleh frase “min syai`in” yang berarti seluruh atau apapun. Di lain pihak, jumhur ulama membatasinya hanya rampasan perang dan kemudian diperluas hingga mencakup harta karun dan barang tambang. Ibid., h. 92-94
[30] Manhâj, op.cit., h. 358-359. Penjelasan 1/5 ghanimah yang diserahkan ke Baitulmal, lihat di sub-bab pos pengeluaran Baitulmal.
[31] Taqiyuddin Ibn Taymiyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah fi Ishlâh al-Râ’iy wa al-Ra’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 43 (selajutnya disebut Ibn Taymiyah)
[32] Manhâj, op.cit., h. 286-289
[33] Ibn Rusyd, op.cit., h. 18-19. Bagian kuda Arab dan kuda beban (induknya keledai) juga tidak sama. 2 bagian untuk kuda Arab dan 1 bagian untuk kuda beban, baik jantan atau betina. Tapi kuda jenis ini lebih kuat dan lebih tahan menempuh perjalanan panjang dibanding kuda Arab. Ia juga tidak bisa meringkik yang bisa menarik perhatian musuh. Ibn Taymiyah, op.cit., h. 44-45
[34] Salah seorang petugas yang ditunjuk Umar untuk membagikan ghanimah membagi-kannya untuk pasukan kavaleri dan infanteri masing-masing satu bagian. Ketika hal itu diajukan kepada Umar, beliau membolehkannya. Hal inilah yang dijadikan dalail oleh Imam Hanafi dalam mendukung pendapatnya. Manhâj, op.cit., h. 19. Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat Imam Hanafi yang berbeda, Imam Hanafi lebih memilih pemagian 3 bagian untuk pasukan kavaleri (2 untuk orang dan satu untuk kuda) dan 1 bagian untuk pasukan linfanteri. Ibn Rusyd, op.cit., h. 288
[35] Tawanan perang (الأسرى/سبي) adalah pasukan kafir yang ditawan dalam keadaan hidup. Lihat: al-Ahkam, op.cit., h. 131. Rasul pernah memperoleh tawanan perang laki-laki, perempuan dan anak-anak dari bani Hawazin sebanyak 6.000 orang. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 128
[36] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 484. Manhâj, op.cit., h. 359-369. al-Ahkam, op.cit., h. 50, atau dalam edisi Indonesianya: Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 103-104 (Selanjutnya disebut Tata Negara).
[37] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 830
[38] Ibid., h. 278
[39] Ahkam, Ibid., h. 134 dan Hukum Tata Negara, Ibid., h. 261
[40] Quthb, op.cit., h. 120
[41] Ibid.
[42] Ibn Rusyd, op.cit., h. 290. Pertimbangan utamanya adalah mengutamakan kemashlahatan daripada kemafsadatan yang ditimbulkannya. Ibn Taymiyah, op.cit., h. 44
[43] Harga salb itu diperkirakan 30.000 dirham, bahkan ada riwayat lain yang mengatakan harganya mencapai 40.000 dirham. Quthb, op.cit., h. 120
[44] Ibid., h. 122
[45] Ibid., h. 121
[46] Manhâj, op.cit., h. 484-485
[47] Manhâj, Ibid., h. 358. Al-Fikr al-Siyâsiy, loc.cit. Abu Yusuf menyamakan fai` dengan kharaj. Abu Yusuf, op.cit., h. 23. Yahya, op.cit., h. 17-19, karena surat al-Hasyar ayat 7-10, yang dijadikan Umar landasan kharaj merupakan penjelasan fai`, dalam banyak hal kata fai` digunakan dengan makna kharaj (Yahya menggunakannya secara bergantian dengan maksud yang sama). Menjelang wafat Umar mengatakan: ولئن بقيت ليبلغن الراعي بصنعاء نصيبه من هذا الفيء ودمه وجحه.. Abu ‘Ubaid memasukkan semua jenis pemasukan nagara di luar khumus dan zakat ke dalam kelompok fai`, seperti jizyah, kharaj, kharaj musamma (ditetapkan dengan perjanjian), dan ‘usyur (cukai) pedagang, baik kafir zimmiy maupun harbiy, Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 23
[48] Ibn Taymiyah, op.cit., h, 47
[49] Ibn Rusyd, op.cit., h. 294. Muhammad al-Baltaji dalam Quthb, op.cit., h. 90. Al-Fikr al-Siyâsiy, loc.cit. Tarikh al-Islam, op.cit., h. 484. Perbedaan fai` dan ghanimah, juga tidak begitu besar. Walau suatu daerah ditaklukkan dengan peperangan, tapi kepala negara tidak membagikan tanahnya, maka tanah tersebut berstatus sebagai tanah fai`. Demikian juga sebaliknya, suatu daerah yang ditaklukkan tanpa peperangan, tapi kepala negara membagikannya kepada orang-orang yang dianggap pantas, maka ia berubah status menjadi ghanimah. Lihat Yahya, op.cit., h. 19
[50] Ibn Rusyd, lok.cit.
[51] Quthb, Ibid. Manhâj, loc.cit.
[52] Manhâj, loc.cit. Tanah musuh yang tidak ada lagi pemiliknya (mati dalam peperangan), maka ia bukan tanah kharaj, melainkan menjadi tanah negara (fai`). Yahya, op.cit., h. 22. Abd al-Farraj mendefinisikannya dengan: “Sejumlah harta yang dipungut berdasarkan waktu tertentu”. Abd al-Farraj ‘Abd al-Rahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbaliy, al-Istikhrâj li Ahkâm al-Kharâj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), h. 4 (selanjutnya disebut: Abd al-Farraj)
[53] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 373-374
[54] Menurut sebagian pendapat, tanah kharaj (dikuasai dengan peperangan) tidak akan pernah berubah menjadi tanah ‘usyur, walau pemiliknya telah beragama Islam. Hukum Islam, op.cit., Jilid III, h. 902. Lihat Juga: Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 146, 149. Tarikh al-Islam, op.cit., h. 473. Yahya mempertegas bahwa jizyah adalah pajak perorangan dan kharaj (tanah kharaj) adalah pajak tanah, loc.cit. dan h. 24. Abd al-Farraj, op.cit., h. 11. Sebagai pengimbangnya, ada daerah yang disebut tanah ‘ushur, yaitu yang hanya dikenai kewajiban zakat. Abu Yusuf, op.cit., h. 60. Abu ‘Ubaid memasukkan jizyah ini sebagai bagian dari fai`. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 23
[55] Jauh sebelum Umar, Kaisar Qabaz bin Fairuz telah terlebih dahulu mengganti sistim pembagian tanah dengan kharaj terhadap daerah subur di Persia. Abd al-Farraj, op.cit., h. 8-9
[56] Tanah subur (sawad) yang diperoleh umat Islam di Irak saja mencapai 36 juta jarib (satu jarib ±4.200 m2). Abu Yusuf, op.cit., h. 36. Tanah ini akhirnya tetap dibagi pada masa Abbasiyah, yaitu di masa khalifah al-Manshur dan anaknya, al-Mahdi. Abd al-Farraj, op.cit., h. 11
[57] Mu’az bin Jabal berkata: “Demi Allah, kalau hal itu (pembagian tanah di Jabiyah) terjadi, pasti kami akan marah. Karena jika dibagikan, maka akan menjadi daerah yang sangat luas dan menjadi milik orang banyak, kemudian akan diambil menjadi milik seorang lelaki dan seorang wanita (setelah diperhitungkan, kalau dibagi, ternyata satu orang akan menguasai tanah 3 kali lipat yang biasa dikelola oleh seorang petani). Setelah itu akan muncul sekelompok orang yang membela Islam dengan gigih dan mereka tidak mendapatkan apa-apa, maka perhatikanlah hal-hal yang dapat memberikan keleluasaan kepada orang-orang yang sekarang dan orang-orang yang akan datang”. Quthb, op.cit., h. 50. Yahya, op.cit., h. 44. Abd al-Farraj, op.cit., h. 9
[58] Abu’ Ubaid, op.cit., h. 62-65. Penjelasan Umar (ringkasan): ayat 6 diturunkan berkaitan dengan Yahudi Bani Nadzir yang berencana akan membunuh Rasul. Setelah dikepung selama 15 hari, mereka menyerah dan meminta damai dengan persyaratan tidak seorangpun dari mereka diganggu dan mereka meninggalkan kota Madinah dan diizinkan membawa harta dan perhiasan yang bisa diletakkan di atas unta. Intinya, kaum muslimin tidak ingin berperang, akan tetapi Allah telah mengizinkan mereka memerangi orang yang hendak membunuh mereka.
Ayat 7 berkaitan untuk semua daerah yang berhasil dikuasai umat Islam; dibagi sesuai dengan ketentuan pembagian ghanimah (agar harta itu tidak beredar di anatra orang-orang kaya saja). Ayat 8 diturunkan untuk kaum muhajirin. Penafsirannya, apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu daerah harus diberikan kepada fakir miskin yang diusir dari rumah dan harta mereka.
Ayat 9 diturunkan untuk kaum Anshar. Penafsirannya, kaum Anshar yang lebih dahulu berdomisili di Madinah dan telah beriman sebelum kaum Muhajirin datang, dengan ikhlas dan rela menerima pembagian fai’ yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Mereka lebih mendahulukan kaum Muhajirin ketimbang diri mereka sendiri, walaupun mereka membutuhkannya. Sementara ayat 10 bersifat umum untuk orang-orany setelah mereka. Lalu Umar berkata: “Bagaimana aku akan membagikannya kepada kalian, lalu aku membiarkan mereka yang akan datang setelah kita dengan tidak memperoleh bagian”. Ibid., h. 82-84
[59] Ibn Rusyd, op.cit., h. 293
[60] Al-Ahkam, op.cit., h. 147-138. Lihat juga: Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 147. Tarikh al-Islam, loc.cit. Abu ‘Ubaid membagi tiga: (1) tanah yang pemiliknya telah beragama Islam (tanah ‘usyur), (2) yang ditaklukkan melalui perdamaian (kharaj sesuai perjanjian) dan (3) yang ditaklukkan dengan peperangan (berbeda pendapat dibagi atau tidak). Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 60
[61] Di antara wilayah yang direbut dengan perang adalah Sawad (dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash), Syam (Yazid bin Abu Syofyan, Syurahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid) kecuali Palestina dan Damaskus, Jalula (Mu’az bin Jabal), Nahawand (Sa’ad dan al-Nu’man bin Muqarran), Ahwaz dan Persia (Abu Musa, Utsman bin Abi al-‘Ash dan Utbah bin Ghazam) dan Maghrib (Abdullah bin Sa’ad bin Ibn Abi Sarh). Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 110-111
[62] Ahkam, op.cit., h. 147. Al-Ghazali menegaskan bahwa haram menetapkan pungutan kharaj terhadap orang muslim, al-Ghazali, op.cit., h. 148. Kadim as-Sadr mencoba memberikan solusi terhadap tanah yang diperoleh melalui peperangan yang diakhiri dengan damai. Kepemilikannya dapat ditentukan melalui perjanjian; apakah tetap menjadi milik orang kafir atau milik orang Islam. Status kepemilikan itu tidak menggugurkan kewajiban kharaj darinya, karena hekekatnya tanah tersebut adalah milik semua kaum muslimin. Kalau tetap milik orang kafir, pungutan kharaj yang diambil darinya memiliki karakteristik pajak. Jika tanah tersebut jadi milik muslim, maka kharaj yang ditarik darinya meiliki karakteristik sewa atas tanah. Tapi perbedaan ini sebetulnya tidak mempunyai arti ekonomis berarti, sebab dalam banyak kasus kharaj sebagai pajak sama besarnya dengan sewa tanah, karena keduanya tetap mempertimbangkan kondisi dan produktivitas tanah tersebut. Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 79.
[63] Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 73. Quthb, op.cit., h. 86. Al-Mawardi menambahkan syarat keempat, yaitu jauh/dekatnya dengan pasar, sebab hal itu juga sangat menentukan harga hasil pertanian tersebut. Ahkam, Ibid., h. 149 dan Hukum Tata Negara, Ibid., h. 290
[64] Walau ketentuan menyebutkan dengan besar dirham  (uang). Kharaj tetap bisa dibayar dengan barang hasil pertanian atau barang lain. Quthb, Ibid. dan h. 92. Abd al-Farraj, op.cit., h. 10
[65] Setiap jarib diperkirakan dapat disebarkan bibit ½ keranjang gandum dan 1/3 keranjang jagung atau 5 takaran atau 5 Kg. biji-bijian. Badawi Abdul Latif dalam Quthb, Ibid.
[66] Abu Yusuf, op.cit., h. 36. Ahkam, op.cit., h. 148 dan H. Tata Negara, op.cit., h. 288
[67] Manhâj, loc.cit. Di masa Umar, secara umum tanah dapat diklasifikasikan jadi 6 macam, yaitu tanah kharajiah, ‘usyur, hima (milik negara untuk kepentingan umum, seperti mengembalakan ternak), iqtha` (pemberian kepala negara kepada seseorang), wakaf dan tanah mawat. Masing-masing mempunyai aturan sendiri. M. Ridzuan Awang, op.cit., h. 18-21
[68] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 477-478
[69] Manhâj, op.cit., h. 359. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 31
[70] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 282. Ayat ini diturunkan di akhir periode Rasul, menjelang perang Tabuk. Sebelumnya orang non Islam hanya punya pilihan masuk Islam atau diperangi. Lihat Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 24-26
[71] Abu ‘Ubaid, Ibid., h. 26-30
[72] Di masa Umar standar minimal jizyah untuk rakyat Mesir sebesar 2 dinar bagi setiap lelaki, mengikuti syarat perdamaian Amru bin ‘Ash dengan Mukaukis. Quthb, op.cit., h. 66
[73] Ibn Rusyd, op.cit., h. 296-297
[74] Ibid., h. 296
[75] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 95
[76] Quthb, op.cit., h. 72-73
[77] Ini adalah janji yang dikemukakan oleh umat Kristen Syam kepada Umar ketika mereka meminta perlindungan saat daerah Syam ditaklukkan oleh Umat Islam. Ibid., h. 73-75
[78] Manhâj, loc.cit., Llihat juga: Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 149-150. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 41-42. Semua pengecualian ini bersifat ijtihadiyah. Ibn Rusyd, op.cit., h. 295
[79] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 483. Lihat juga: Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 150. Abu Yusuf, Al-Kharraj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), h. 126
[80] Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 150-151. Tarikh al-Islam, Ibid.
[81] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 481-482
[82] Manhâj, loc.cit.
[83] Manhâj, loc.cit.
[84] Ibid., h. 482. Lihat juga: Ibn Rusyd, op.cit., h. 295-296, Quthb, op.cit., h. 65-66, Abu Yusuf, op.cit., h. 122 dan Yahya, op.cit., h. 23
[85] Ibn Rusyd, Ibid.
[86] CD. Hadits, op.cit., Sunan al-Nasa`iy, Kitab al-Zakâh, Hadis No: 2408. Sunan al-Turmuziy, Kitab al-Zakâh, Hadis No.: 566. Musnad Ahmad, Musnad al-Anshâr, Hadis No.: 21027
[87] Ibid., hadis nomor 545
[88] Ibn Rusyd, op.cit., h. 296. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 44
[89] Ibn Rusyd, Ibid., h. 296. Umar pernah menunda pengambilan jizyah sampai kenaikan harga dan masa panen agar memudahkan pembayaran. Demikian juga ia pernah memperlambat penarikan kharaj dengan mengambil pengalaman seorang Gubernur Himsa. Quthb, Ibid., h. 66
[90] Untuk bani Tughlab ini, kecuali yang beragama Islam, Umar mengambil pajak terhadap semua harta mereka, seperti unta, sapi, kambing, buah-buahan dan biji-bijian. Padahal untuk ahl zimmah yang lain hal itu tidak diberlakukan sama sekali. Yahya, op.cit., h. 24-25.
[91] Quthb, op.cit.,  h. 69-70. Mereka juga dilarang membaptis (mengkristenkan) anak mereka. Kaum perempuan mereka dikenai kewajiban sama dengan kaum laki-laki. Harta anak-anak dikenai kewajiban juga. Ketika Umar menetapkan putusan ini, Ali tidak hadir (ia berpendapat lain); menurutnya mereka yang membangkang harus diperangi. Tapi karena Umar telah menetapkannya, ia tidak membantah dan tidak merubahnya. Abu, Ubaid, op.cit., h. 24
[92] Dâr al-Harb atau Ardh al-Harb adalah daerah luar kekuasaan Islam yang tidak ada perjanjian damai dengan pemerintahan Islam. Lihat: Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 148. Lihat juga: Tarikh al-Islam, op.cit., h. 479
[93] Quthb, op.cit., h. 99
[94] Al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit.. Lihat jugta: Tarikh al-Islam, loc.cit. Ahl Manbij (kaum dari dar al-harb), adalah kaum yang pertama kali menawarkan untuk membayar ‘usyur dalam rangka berdagang di wilayah Islam. Abu Yusuf, op.cit., h. 135
[95] Menurut Abu ‘Ubaid, pungutan itu dikecualikan dari barang-barang haram, seperti babi dan minuman keras, walaupun barang-barang tersebut dijadikan barang dagangan bagi kamu kafir. Sementara ulama lain, seperti al-Nakha’iy dan Hammad, membolehkan memungut uangnya dengan dilipat-duakan, bukan barangnya. Imam Abu Hanifah dan Muhamman bin al-Hasan hanya membolehkan ‘usyur terhadap minuman keras, tidak atas babi. Lihat: Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 54-56
[96] Al-Fikr al-Siyâsiy, Ibid. Lihat juga: Tarikh al-Islam, Ibid., h. 479-480
[97] Pungutan itu perlu diulang dengan pertimbangan bahwa ketika ia kembali ke dar al-harbiy, ia telah gugur dari jaminan hukum Islam, maka ketika ia hendak masuk ke dar al-Islam lagi, ia harus memenuhi kewajiban (lagi) untuk mendapat jaminan dan perlindungan hukum Islam. Abu Yususf, op.cit., h. 132-133
[98] Ibid., h. 132. Di antara orang yang diangkat Umar sebagai pemungut ‘usyur adalah (pertama kali) Ziyad bin Hudair (untuk daerah Irak dan Syam) dan Anas bin Malik. Ibid., h. 135
[99] Quthb, op.cit., h. 99-105
[100] Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 30
[101] Yahya, op.cit., h. 22. Sesuai dengan keadaan pada periode awal Islam, di mana hampir semua jenis usaha (kecuali perdagangan) berkaitan dengan tanah, maka jenis perusahaan yang mungkin dilakukan pada waktu itu juga yang berhubungan dengan tanah. Tapi saat ini, dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
[102] Taqiyuddin an-Nabhani, op.cit., h. 120-121
[103] Milik (kepemilikan) umum adalah izin al-Syar’iy kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk milik umum adalah: (1) yang merupakan fasilitas umum, di  mana kalau tidak ada dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarainya, (2) bahan tambang yang tidak terbatas, dan (3) sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan. Ibid., h. 237
[104] Ibid., h. 251-152
[105] Surtahman Kastin Hasan, op.cit., h. 167. Untuk kepentingan publik, seorang kepala negara, menurut Ibnu Taimiyah dan Qadhi Abu Ya’la, boleh meminjam terlebih dahulu dan dibayar dengan penerimaan zakat dan fai’ kemudian. Jenis kepentingan publik yang kepentingannya untuk publik, bukan untuk proyek kesejahteraan, misalnya mengatasi kebutuhan mendesak pemerintah. A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah, Penerjemah: Anshari Thayib, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 306
[106] Kadim as-Sadr, op.cit., h. 109
[107] Ibid., h. 106-108

0 komentar:

About This Blog

INFO PENTING

GRATIS Report Membocorkan Rahasianya Bagaimana Andapun Bisa Meraih 1 Juta Rupiah Pertama Anda Lewat Internet KLIK DI SINI

clickaider.com

Tracked by ClickAider

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP