PEMEGANG WEWENANG KEKAYAAN BAITULMAL
Tulisan ini merupakan bagian kesepuluh (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan menjelaskan pemegang wewenang kekayaan Baitulmal pada periode awal, semenjak masa Rasulullah sampai berakhirnya masa Khulafa` al-Rasyidin. Walau demikian, topik ini tetap menjadi “teladan” dan jadi bahan kajian oleh ulama dan umat Islam berikutnya sampai saat ini.
Pemegang wewenang utama kekayaan Baitulmal ada di tangan khali-fah.[1] Dalam pelaksanaan tugasnya, ia mengangkat seorang penanggung jawab kekayaan negara (bendahara negara) yang dibantu para pegawai untuk bidang-bidang khusus, seperti petugas pemungut pajak, kharaj, dan ‘usyur. Tugas pegawai yang disebutkan terakhir ini, pada masa Rasul dan khalifah Abu Bakar, dilaksanakan langsung oleh para sahabat yang dipercayakan sebagai “gubernur”, yang juga bertugas sebagai penyebar agama Islam, hakim (qadhi) dan panglima perang, di daerah tertentu. Tapi ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, terutama sekali di masa Umar, untuk tugas tersebut ditunjuk pegawai khusus yang diberi tunjangan dari kas Baitulmal. Kewajiban pegawai tersebut diatur secara khusus oleh khalifah Ali bin Abu Thalib dalam surat yang ditujukannya kepada Malik al-Astar dalam pertemuannya dengan gubernur Mesir, diantaranya adalah:
1. Mengatur dan mengurus permasalahan dan kebutuhan masyarakat.
2. Memperbaharui kota tua dan membangun yang baru
3. Mengumpulkan kharaj.
Tidak dapat dipungkiri bahwa deskripsi tugas (kewajiban) di atas terkesan tidak spesifik buat petugas Baitulmal; di situ juga termasuk tugas yang harus dilaksanakan gubernur. Tapi dari ketetapan itu dapat dipahami bahwa tugas utama petugas Baitulmal adalah memelihara keseimbangan ekonomi masyarakat, terutama sekali pemenuhan kebutuhan pokok mereka (termasuk di dalamnya menstimulasi kegiatan ekonomi dan menjaga mekanisme pasar), memperhitung-kan dan mengatur pemasukan dan pengeluaran kebutuhan publik, dan melakukan pemungutan pajak (kharaj) serta membagikannya secara proporsional.[3]
Pemungut kharaj harus telah melalui seleksi dengan memperhatikan berbagai kriteria khusus, seperti: ia harus seorang yang faqih, berwawasan luas, senang bermusyawarah dengan dengan orang-orang yang mempunyai fikiran rasional, memiliki martabat yang tidak gentar dengan celaan karena menjalankan hukum Allah, dan tidak khawatir akan penganiayaan dan kesakitan kalau dikenai hukuman (karena menjalankan yang benar), adil, toleran (tasamuh).[4]
Di samping itu, seseorang yang dipercayakan untuk mengelola harta Baitulmal tidak diperbolehkan melakukan usaha perdagangan. Harits bin Wahab, salah seorang dari bani Laits Bakar bin Kananah, pernah ditegur keras oleh Umar karena ia melakukan usaha perdagangan, padahal ia telah ditunjuk sebagai salah seorang pengelola kekayaan Baitulmal.[5]
1. Perencanaan Ekonomi
Proses perencanaan ekonomi Islam, sama seperti perencanaan lain, merupakan rangkaian kegitan yang dimulai dari pengumpulan berbagai data dan informasi, untuk kemudian dimanfaatkan dalam mengeluarkan ketetapan dan kebijakan ekonomi dengan karakteristik Islam.
Karakteristik khusus ekonomi Islam, dibandingkan dengan sistem ekonomi lain, adalah landasan dan orientasinya yang selalu berhubungan langsung dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Semua rencana dan usaha yang dilakukan ditegakkan dari sumber aslinya untuk mewujudkan kemashlahatan umum dan keridhaan Allah di dunia dan akhirat. Ketentuan umumnya telah tercantum dalam al-Qur’an. Rasul telah menerapkannya sesuai dengan situasi dan kondisi di zamannya. Dalam pelaksanaan praktis dan taktis, pada waktu dan tempat berbeda, dituntut pemikiran rasional para pemeluknya.[6]
Perbedaan yang cukup menyolok antara perencaaan ekonomi Islam periode awal dengan perencana ekonomi yang ada saat ini, selain perbedaan di atas, (diantaranya) adalah: Perencanaan ekonomi Islam periode awal lebih banyak bersifat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapai, bukan perencanaan yang dipersiapkan berbentuk sebuah proposal lengkap. Walau demikian bukan berarti ekonomi Islam tidak memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai. Tujuan dan target itu, meskipun masih bersifat umum, telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, yaitu terwujudnya keseimbangan ekonomi antara golongan the have dan the have not, dengan standar utama terpenuhinya kebutuhan pokok setiap orang secara wajar dan berkelanjutan.
Keunggulan sistem ini adalah fleksibilitas dalam setiap kegiatan yang menunjang pencapaian tujuan itu. Semua kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan menyesuaikannya dengan situasi, kondisi dan persoalan spesifik yang dihadapi di lapangan. Kegiatan ini juga memperkecil terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam dan manusia demi pencapaian tujuan yang telah dijabarkan secara tekhnis dan rinci.
Dalam rangka mengumpulkan data dan informasi, kepala negara bisa mengirim orang (tim) yang ahli dalam bisang yang berkaitan. Dalam rangka penetapan perkiraan kharaj untuk bangsa Irak, Umar mengutus 2 orang ahli pertanahan, Utsman bin Affan dan Hudzaifah bin Nukman, khususnya tentang luas, cuaca, kesuburan, posisi tanah (menentukan biaya pengolahan), kualitas tanaman. Informasi yang diperoleh dan disampaikan utusan inilah yang dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan kharaj bagi mereka.[7] Dalam bentuk lain, untuk menetapkan kebijakan ekonomi terhadap suatu daerah, kepala negara bisa mencukupkan data dan informasi yang dilaporkan oleh kepala daerah yang bersangkutan.
Dalam penetapan kebijakan ekonomi, berdasarkan informasi yang dikumpulkan, diputuskan melalui musyawarah. Dalam beberapa kasus satu kebijakan terkesan diambil sendiri oleh kepala negara, tetapi kebijakan tersebut selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki. Salah satu contoh penetapan kebijakan ekonomi yang dilakukan melalui musyawarah adalah pembentukan dewan khusus (yang kemudian disebut dengan Baitulmal) yang mengelola keuangan negara.[8] Kebijakan Umar untuk tidak membagikan tanah rampasan di Irak (Sawad), sebgai gantinya dipungutlah kharaj, terkesan sebagai keputusan pribadi, tanpa musyawarah. Tapi kebijakan itu belum dilaksanakan sampai semua perbedaan pendapat diselesaikan dalam debat publik; Umar berhadapan dengan orang-orang yang tidak setuju dengannya, dan akhirnya semua orang dapat memahami dan menyetujui kebijakan itu. Tidak jarang data dan informasi (persoalan) itu disampaikan langsung oleh rakyat kepada kepala negara (untuk minta diselesaikan).
2. Pengorganisasian
Landasan tentang perlunya pengorganisasian ini telah terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah sangat menyenangi orang-orang yang berjuang di jalan Allah (aktifitas yang diredhai Allah) secara terorganisir. Hal itu ditegaskan dalam surat al-Shaff (61): 4:
إن الله يحب الذين يقاتلون في سبيله صفا كأنهم بنيان مرصوص (الصف: 4)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.[9]
Di masa Rasul dan Abu Bakar, pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi ini dilakukan dengan membentuk dan mengangkat sekretaris khusus yang menangani masalah keuangan negara.[10]
Umar bin Khaththab adalah orang yang sangat terkenal dengan kemampuan peorganisasian ekonominya. Ia lah yang mendirikan lembaga yang menangai masalah ekonomi negara. Ada beberapa riwayat yang menceritakan tahun didirikannya lembaga (diwan) Baitulmal, tapi yang paling mendekati kebenaran adalah pada tahun 20 H.[11] Dewan ini bertugas mendata nama-nama personil tentara dan orang-orang yang berhak menerima tunjangan. Di Madinah dewan tersebut menggunakan bahasa Arab. Setelah pendirian dewan di Madinah, berturut-turut didirikan pula dewan yang sama di Syam yang dalam pelaksanaan administrasinya menggunakan bahasa Romawi, dan di Irak yang menggunakan bahasa Persia .[12]
Selain membentuk Baitulmal, Umar juga mengangkat beberapa pegawai penunjang berjalannya Baitulmal, baik di pusat atau di daerah, di atantaranya pegawai bea cukai (‘usyur), yang bertugas memungut bea cukai barang-barang dagangan; pegawai pajak (kharaj), yang bertugas mengumpulkan pajak negara; pegawai pengumpul pajak (termasuk panitia zakat), yang bertugas mendatangi rakyat dan memeriksa kekayaan mereka, serta memeriksa kebenaran surat bukti pelunasan zakat mereka; pegawai tanah hima, yang bertugas menjaga tanah negara yang dijadikan untuk memenuhi keperluan umum, seperti tempat gembalaan dan sumber air umum; dan pegawai pengumpul, yang bergabung dengan tentara Islam untuk mencatat dan mengumpulkan harta ghanimah.[13]
3. Pengawasan
Landasan paling mendasar dari harta Baitulmal yang diketahui dan disadari oleh setiap umat Islam adalah bahwa semua harta tersebut adalah kepunyaan Allah. Pemerintah dan pegawai yang berhubungan dengannya hanyalah orang-orang yang diberi kepercayaan untuk memelihara dan menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah, maka pengawasan utama dan pertama kali dilakukan oleh Allah, yang pengawasan-Nya tidak terhalang oleh waktu dan tempat.
Namun hal itu bukan berarti khalifah dan pejabat yang berwenang berlepastangan dan membiarkan bawahannya melakukan apapun terhadap harta tersebut. Mereka tetap dituntut untuk melakukan pengawasan, kalau-kalau terjadi kesalahan dalam penunaian hak, atau kalau-kalau ada yang sengaja menyelewengkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Untuk melakukan pengawasan, agar lebih efektif, diciptakan sistem pengawasan; ada yang berbentuk (terutama sekali) pengawasan intern, yaitu pengawasan individu yang diberi kepercayaan yang berangkat dari pengawasan Allah; dan pengawasan ekstern, yaitu pengawasan dari orang lain, baik atasan atau rakyat umum, terhadap orang yang diberi kepercayaan.
Pengawasan intern yang dilakukan kepala negara, terutama ditujukan terhdap dirinya sendiri dengan membiasakan hidup zuhud dan ‘iffah (keterja-gaan) dari penyelewengan kekayaan negara. Tidak ada orang yang meragukan kezuhudan dan ke-‘iffah-an Rasul dan khalifah rasyidin. Mereka sangat terkenal dengan hidup zuhud dan keterjagaan dari penyelewengan kekayaan negara. Sangat banyak bukti untuk itu; Rasul adalah orang yang lebih sering berpuasa daripada makan di siang hari. Ia seringkali mengikatkan batu-batu kecil di perutnya untuk menutupi bunyi perutnya yang keroncongan, agar tidak didengar sahabatnya; Abu Bakar adalah satu-satunya kepala negara yang mengembalikan semua tunjangannya sebagai kepala negara; Umar adalah orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya; Utsman adalah orang yang lebih rela mengorbankan harta pribadinya dari pada harus merepotkan kaum Muslimin untuk kepentingan umum; Ali adalah orang yang dengan ikhlas menolak bagiannya dari Baitulmal, padahal ia adalah pejuang Badar, pemeluk Islam paling awal, orang yang menggaransikan nyawanya untuk keselamatan nyawa Rasul (ketika hijarah), kerabat Rasul, kepala Negara dan berbagai posisi lain yang sangat memungkinkannya menerima paling banyak di banding orang lain.
Selain untuk hidup pribadinya, kepala negara Islam periode awal (dengan sedikit pengecualian pada Utsman), juga sangat hati-hati dan sangat njelimet dalam pemberian fasilitas terhadap keluarga mereka; Rasul adalah kepala negara yang sangat dipatuhi, tapi beliau tidak menobatkan Ali (kemenakan dan menantu Beliau) sebagai penggantinya. Padahal Ali adalah orang yang sangat layak untuk jabatan itu; Abu Bakar adalah sahabat yang menyerahkan nasib keluarganya kepada Allah, saat beliau menyerahkan seluruh hartanya untuk keperluan jihad fi sabilillah; Umar adalah Khalifah yang marah besar dan menolak ketika para pemuka sahabat mengusulkan anaknya, Abdullah, untuk menjadi kepala daerah.
Tidak ada yang meragukan keseriusan Umar untuk menjaga harta Baitulmal. Ia tidak segan-segan untuk menggembalakan, mengejar dan mencari sendiri binatang-binatang milik Baitulmal yang hilang, walau dalam cuaca yang sangat panas. Ia menyediakan kesempatan khusus dalam satu tahun untuk melakukan pemeriksaan kondisi Baitulmal guna mengambil apa yang masih tersisa untuk diberikan kepada rakyat, sehingga tidak tersisa satu dirhampun. Ia berkata: “Dalam satu tahun terdapat 360 hari, dan Umar berhak mengosongkan Baitulmal dalam setahun sekali untuk memohon ampun kepada Allah bahwa ia tidak ingin menyimpan apapun di dalamnya.[14]
Pengawasan ekstern, yang dilakukan terhadap petugas yang diangkat sebgai gubernur dan petugas Baitulmal, dimulai dari penghitungan semua kekayaan calon yang akan diangkat. Selanjutnya, ketika tugasnya berakhir, hartanya dihitung lagi. Kalau ditemui kelebihan (yang tidak bisa dipertang-gungjawabkan) dari hartanya yang pertama, maka kelebihan itu dikembalikan ke Baitulmal. Hal ini disebut dengan “Nizhâm al-Muqâsamah”.[15]
Tidak hanya sampai di situ, selama gubernur itu bertugas, kepala negara (biasa dilakukan Umar) bertanya kepada penduduk daerah yang bersangkutan mengenai hal ihwalnya. Petunjuk tekhnis yang diberikan Umar, dalam rangka memperkecil penyelewengan, agar para pejabat yang diangkatnya bekerja di singa hari dan tidak diperbolehkan bekerja di malam hari.[16] Di samping itu, kepala negara (juga banyak dicontohkan Umar) bisa menanyakan langsung dan menegur pejabatnya yang memiliki kelebihan harta yang belum diketahui asalnya, atau dengan mengutus seorang (tim) pemeriksa kekayaan pejabat.[17]
Hal yang juga harus diawasi adalah tata kerja pegawai untuk mengumpulkan harta Baitulmal, apakah sudah mengikuti aturan yang semestinya atau menyalahi. Penarikan harus dilakukan dengan cara yang adil, tanpa melakukan kezaliman terhadap pemilik harta, berdasarkan petunjuk yang telah diberikan Rasul kepada Mu’az bin Jabal. Rasul berpesan:
عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فقال له … فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم … فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائم أموالهم واتق دعوة المظلوم فإنها ليس بينها وبين الله حجاب (رواه الترمذي والنسائي وأبو داود وإبن ماجة وأحمد)[18]
“Dari Ibn ‘Abbas, Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berpesan: “… kalau mereka mematuhimu, maka beritahu mereka bah-wa Allah mewajibkan zakat atas harta mereka. Kalau mereka mema-tuhimu, maka ambillah harta mereka dan berhati-hatilah terhadapnya. Ingatlah! doa orang yang terzalimi, karena tidak ada hijab antaranya dengan Allah”.(HR. Turmuziy, al-Nasa`iy, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad).
Salah satu pesan yang disampaikan Umar kepada pegawai pengumpul zakatnya adalah: “Janganlah kamu ambil harta simpanan kaum muslimin, dan janganlah membuat resah rakyat sehingga mereka sampai tak bisa makan.[19] Ali bin Abi Thalib memberikan petunjuk yang cukup panjang kepada pegawainya, seperti dikutip oleh Kadim as-Sadr, yang intinya sebagai berikut:
“Mulailah dengan memberi peringatan agar takut hanya kepada Allah… jangan menakut-nakuti mereka dan jangan masuk ke lahan/kebun jika mereka tidak mengizinkan atau melarangnya. Dan jangan mengambil apapun dari mereka selain yang Allah tentukan… sapa mereka dan jangan segan-segan memuji mereka. katakanlah kepada mereka: “Wahai hamba Allah, teman dan khalifah Allah telah mengirim saya untuk mengumpulkan hak Allah dan membagi harta milikmu. Apakah ada bagian atau hak Allah dari hartamu yang harus kau bayar untuk khalifah Allah? Jika ia berkata tidak ada, jangan menentangnya.
Jika ia jawab ada, pergilah bersamanya tanpa membuatnya takut atau khawatir. Jangan berlaku kasar dan menyulitkan mereka. ambil apapun, emas atau perak yang ia beri.… Bagilah hartanya menjadi dua bagian biarkan si pemilik memilih bagian yang ia inginkan…, jangan menentang pilihannya. Lalu bagilah sisanya menjadi dua bagian dan biarkan ia memilih kembali… hingga tersisa jumlah yang menjadi hak Allah dari hartanya.… Jika ia ingin membatalkan pembagian itu, persilakan dan… lakukan proseder yang sama untuk kedua kalinya…. Jangan mengambil unta tua yang tidak cocok untuk bekerja, lemah, dan cacat.
Jangan menunjuk seorang petugas kecuali berdasarkan keikhlasannya dan kepahamannya terhadap agama… sehingga ia akan bekerja dengan jujur. Pilihlah pegawai yang jujur dan mempunyai posisi yang baik, yang tidak menunjukkan sikap kasar atau keras dan tidak menjengkelkan atau membosankan orang... kirim kepada kami secepatnya apa yang telah kamu kumpulkan, agar kami dapat menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang telah diperintahkan Allah….
Jangan memisahkan induk unta dengan anaknya yang masih menyusui. Jangan memeras susunya berlebihan hingga tidak dapat dikendarai lagi karena kelelahan… Unta yang sakit harus diberi istirahat. Kendarailah unta dengan perlahan. Jika sudah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, ajaklah mereka ke kolam atau sumber air lainnya secara teratur dan bawalah mereka ke padang rumput. Biarkanlah mereka berhenti di tempat yang ada air dan rumput. Dengan izin Allah, unta-unta akan sampai ke tempat kita dalam keadaan gemuk, tegap, bersumsum dan tidak kelelahan lalau kita bisa membagi dan mendistribusikannya sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah”.[20]
Pengawasan ini, yang secara substansial sudah ada sebelum kedatangan Islam, mengacu pada pelaksanaan ajaran Islam secara kâffah, termasuk terha-dap masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak mereka. Pengawasan terhadap para pejabat dan keluarganya, dalam pelaksanaan tugas dan kebijakannya kemudian dirumuskan menjadi sebuah lembaga yang disebut dengan wilâyah al-mazhâlim (wilayah mazhalim). Sementara pengawasan terhadap seluruh rakyat, terutama aspek moral, kemudian dirumuskan menjadi lembaga yang disebut dengan walâyah al-hisbah (wilayah hisbah).[21] Dalam pelaksanaan tugas ini, kepala negara dapat melaksanakannya langsung atau mewakilkannya kepada orang-orang tertentu.[22]
Pada periode awal Islam, walau yang memegang peranan dan kekuasaan utama itu adalah kepala negara, tapi keadilan yang ditegakkannya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Keadilan itu itdak hanya diterapkan terhadap orang lain atau keluarga mereka, melainkan juga terhadap kasus yang secara langsung melibatkan mereka secara pribadi. Sebagai salah sato contoh, pada saat-saat perang Badar akan dimulai, Rasul meluruskan barisan pasukannya dengan sebuah tongkat. Waktu itu Sawad bin Ghaziyah keluar dari barisan, lalu Rasul memukulnya (lunak) dengan tongkatnya sambil berkata: “Luruskan, hai Sawad!”. Mendapat perlakuan seperti itu, Sawad berakta: “Ya Rasulullah, engkau menganiaya saya, padahal engkau diutus Allah untuk kebenaran dan keadilan, karenanya saya ada balasan”. Kemudian Rasul membukakan (menyingkapkan) perutnya, dan berkata: “Balaslah!”.[23]
Wilayah mazhalim[24] merupakan sebuah lembaga peradilan yang di-adakan untuk membela (advokasi) hak-hak rakyat yang dizalimi oleh pejabat atau keluarganya, dan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya. Gambaran tugasnya secara umum adalah:[25]
a. Mengawari tingkah laku penguasa dan keluarganya dan mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran serta ketidak jujuran,
b. Memeriksa kecurangan pejabat dan pegawai yang bertanggung jawab atas pungutan negara,
c. Mengontrol para pejabat yang bertanggung jawab atas keuangan negara,
d. Mengawasi gaji para pegawai (buruh), yang berkaitan dengan besar gaji (upah) serta proses penyerahannya.
e. Mengembalikan hak-hak rakyat yang diambil secara melawan hukum, baik oleh pejabat negara atau orang lain yang memaksakan kehendaknya.
f. Memeriksa dengan cermat penangan dan penyaluran harta wakaf, zakat, infak dan sedekah serta kepentingan umum lainnya,
g. Memeriksa dan melaksanakan eksekusi putusan hakim (biasa) yang tidak bisa mereka eksekusi karena posisi mereka yang lemah
h. Mengawasi kasus-kasus yang tidak bisa ditangani oleh peradilan biasa dan wialyah hisbah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
i. Mengawasi pelaksanaan ibadah-ibadah pokok, seperti shalat dan puasa.
Lembaga ini bersifat independen; tidak bisa diintervensi oleh pejabat atau kepala nagara sekalipun (kalau ia sudah diserahkan kepada orang tertentu). Agar pelaksanaan persidangan kasus mazhalim ini berjalan dengan lancar dan objektif, sebaiknya dilengkapi oleh lima perangkat peradilan, yaitu (1) para hakim dan prangkat kehakiman, (2) para pakar hukum (fuqaha`), (3) panitera, (4) penjaga keamanan atau polisi peradilan, dan (5) para saksi.[26]
Di masa Rasul, Zubair bin ‘Awwam pernah menolak mengalirkan air melalui ladangnya ke ladang salah seorang Anshar, tetangganya, hingga tanaman orang tersebut mati kekeringan. Ketika orang itu mengadukannya kepada Rasul dengan menyindir bahwa Zuberi adalah anak paman Rasul, dengan tegas beliau mengatakan kepada Zubeir: “Ambillah air itu sepuasmu, ya Zubeir, kemudian alirkan ke tetanggamu”.[27] Rasul pernah menugaskan Ali bin Abi Thalib menyelesaikan kasus mazhalim (pembunuhan) yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap bani Juzaimah. Setelah mendengarkan penjelasan berbagai pihak, Ali membayarkan dendanya kepada mereka. Umar pernah menegur Amr bin ‘Ash dan menyindir dengan pedas perlakuannya terhadap penduduk Mesir (memanggil di depan orang banyak dengan kata-kata “Hai orang Munafik), walau orang tersebut telah memaafkan Amr bin ‘Ash.[28] Khalifah Ali bin Abi Thalib mengembalikan semua tanah rakyat yang dirampas suku Umaiyah selama Utsman berkuasa.
Wilayah hisbah[29] merupakan sebuah lembaga yang mempunyai tugas lebih besar dari polisi yang dikenal sekarang. Secara umum tugasnya adalah melaksanakan ‘amar ma’ruf dan nahiy ‘an al-munkar.[30] Lembaga ini diadakan untuk mengawasi semua aktifitas umat Islam, baik yang berkaitan dnegan aqidah, ibadah, rumah tangga dan etika, termasuk di dalamnya perilaku ekonomi mereka, di luar yang ditangani secara khusus oleh lembaga peradilan biasa dan wilayah mazhalim.[31]
Karenan fungsi sentral wilayah hisbah ini adalah ‘amar ma’ruf dan nahiy ‘an al-munkar, tugas ini hakekatnya harus dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Namun demikian, sebagai sebuah lembaga kenegaraan, penang-gung jawab pelaksanaannya ditangani oleh orang-orang tertentu yang secara khusus ditugaskan untuk itu. Orang yang ditugaskan untuk tugas hisbah ini disebut dengan muhtasib. Muhtasib ini juga terbagi dua yaitu yang secara resmi diangkat pemerintah, disebut al-muhtasib al-wali, dan yang bertugas dengan dasar kewajiban moral dan keagamaan, tanpa pengangkatan resmi, disebut dengan al-muhtasib al-fardhi.[32]
Dua petugas hisbah ini memiliki 9 perbedaan dalam hak dan kewajiban, seperti dikemuakakan al-Mawardi,[33] yang muncul sebagai akibat hukum dari pengangkatan yang mereka terima, perbedaan tersebut adalah:
a. Kewajiban hisbah bagi muhtasib merupakan fardhu ‘ain, sedang bagi selainnya hanya fardhu kifayah.
b. Al-muhtasib al-wali diangkat untuk menangani hal-hal yang dilarnag, sedang al-muhtasib al-fardhi tidak diangkat untuk itu.
c. Al-muhtasib al-wali tidak boleh mempunyai kegiatan lain selain dari tugas hisbah, sebaliknya untuk al-muhtasib al-fardhi.
d. Al-muhtasib al-wali wajib menolong orang yang minta bantuan padanya untuk menghadapi orang lain, sebaliknya untuk al-muhtasib al-fardhi.
e. Al-muhtasib al-wali harus mencari secara aktif kemungkaran dan melarangnya dan mengevaluasi kebaikan yang telah ditinggalkan serta menyuruh melaksanakannya, sementara al-muhtasib al-fardhi tidak diharuskan untuk itu.
f. Al-muhtasib al-wali berhak mengangkat staf untuk membantunya, sementara al-muhtasib al-fardhi tidak memiliki hak ini.
g. Al-muhtasib al-wali berhak menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) terhadap kemungkaran yang ditemuinya selama tidak melebihi sanksi hudud, sementara al-muhtasib al-fardhi tidak memiliki hak ini.
h. Al-muhtasib al-wali berhak mendapat gaji tetap atas pelaksanaan tugasnya, sementara al-muhtasib al-fardhi tidak memiliki hak ini.
i. Al-muhtasib al-wali boleh berijtihad dalam pelaksanaan tekhnis tugasnya, tidak demikian halnya dengan al-muhtasib al-fardhi.
Rasul pernah mendelegasikan tugas tersebut kepada beberapa sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib yang ditugaskan untuk menghancurkan seluruh berhala dan kuburan di Madinah; Sa’id bin al-‘Ash yang ditugaskan untuk mengawasi harga, timbangan dan peri laku transaksi produsen dan konsumen di pasar Makkah.[34] Abu Bakar tidak melakukan perubahan berarti terhadap lembaga ini, dari kebijakan yang sebelumnya sudah diterapkan Rasul. Sementara Umar, dalam wilayah hisbah ini, mengangkat beberapa orang muhtasib, di antaranya Sa’id bin Yazid, Abdullah Ibn ‘Utbah dan Ummi al-Syifa` (seorang perempuan yang dipercayai mengawas pasar Madinah).[35]
4. Sanksi terhadap pelanggaran ekonomi
Konsekwensi langsung dari kepemilikan Allah terhadap harta Baitul-mal, sanksi yang pasti diterima oleh orang-orang yang menyelewengkan kepercayaan untuk mengelolanya adalah sanksi ukhrawi. Walau bukan berarti bebas dari sanksi dunia sama sekali. Kalau penyelewengannya dapat dibukti-kan secara hukum, maka ia harus dikenai sanksi yang sepadan dengannya.
Terhadap para pembangkang membayar zakat, Abu Bakar mengamil tindakan tegas dengan memeranginya. Sebab mengingkari kewajiban zakat, sama artinya mengingkari kebenaran Islam setelah memeluknya sebagai agama (murtad). Kalau ahli zimmah (yang seblumnya telah melakukan perdamaian) menolak membayar jizyah, maka ia boleh dipenjarakan sampai ia membayar jizyahnya.[36] Tapi kalau penolakan itu dilakukan secara bersama-sama, maka mereka hanya diberi dua pilihan: diperangi atau masuk Islam. Dari orang-orang ini tidak ada lagi pungutan jizyah.[37]
Seorang ahl zimmiy yang menolak membayar kharaj, boleh dipaksa. Kalau ia tetap tidak mau, maka persoalannya ditangguhkan dulu. Jika pedagang kafir zimmiy atau kafir harbiy menolak membayar ‘usyur, maka diambil barang dagangannya senilai ‘usyur yang mesti dibayarnya, setelah barang tersebut ditahan terlebih dahulu.[38]
Hukum potong tangan, menurut Umar bin Khaththab, tidak bisa dite-rapkan kepada pencuri harta Baitulmal. Ia berargumentasi, karena dalam harta tersebut terdapat haknya. Jadi, karena ada syubhat, untuk pelakukanya dikenai hukuman ta’zir. Tapi Ali tetap melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri harta Baitulmal. Imam Qurthubi menguatkan pendapat Ali ini dengan mengatakan: “Begitulah madzhab jama’ah yang berlaku atas Baitulmal”.[39]
Mu’aim bin Zaid pernah memalsukan stempel Baitulmal, di masa Umar, dan ia berhasil mengumpulkan harta kharaj dari Kufah. Ketika diketa-hui Umar, ia minta pendapat orang banyak. Ada yang meminta dipotong tangannya atau digantung, tapi kemudian Ali menjelaskan: “Orang yang berdusta besar, maka hukumannya pada tubuhnya (di kulitnya)”. Berdasarkan penjelasan Ali ini, Mu’aim dikenakan hukuman cambuk sampai babak belur, kemudian ia dipenjarakan sampai ia insyaf. Beberapa lama kemudian ia minta dikeluarkan dari penjara, dan permintaannya itu dikabulkan, hingga ia dibebaskan. Inilah salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku korupsi di periode awal pemerintahan Islam.[40] Hukuman yang dijatuhkan kepadanya berupa ta’zir, karena dalam harta tersebut ada haknya.
Petugas yang melakukan pelanggaran prosedural dalam pelaksanaan tugasnya, seperti mengambil lebih besar dari yang semestinya, dikenai sanksi yang setimpal, sesuai dengan ketentuan dan kemashlahatan umum, sampai mereka sudah sadar. Kalau mereka mengambil lebih, maka kelebihan tersbeut harus dikembalikan kepada yang berhak.[41]
Sanksi ukhrawi terhadap para pengkhianat dalam pemanfaatan harta negara ini dijelaskan Allah dalam surat Ali Imran (3): 161 berikut:
وما كان لنبي أن يغل ومن يغلل يأت بما غل يوم القيامة ثم توفى كل نفس ما كسبت وهم لا يظلمون (آل عمران: 161)
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.[42]
Rasul memberikan penjelasan lebih lanjut dalam hadisnya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قام فينا النبي صلى اللهم عليه وسلم فذكر الغلول فعظمه وعظم أمره قال لا ألفين أحدكم يوم القيامة على رقبته شاة لها ثغاء على رقبته فرس له حمحمة يقول يا رسول الله أغثني فأقول لا أملك لك شيئا قد أبلغتك وعلى رقبته بعير له رغاء يقول يا رسول الله أغثني فأقول لا أملك لك شيئا قد أبلغتك وعلى رقبته صامت فيقول يا رسول الله أغثني فأقول لا أملك لك شيئا قد أبلغتك أو على رقبته رقاع تخفق فيقول يا رسول الله أغثني فأقول لا أملك لك شيئا قد أبلغتك (رواه البخاري)[43]
“Dari Abu Hurairahrah, ia berkata: “Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami. Beliau menjelaskan tentang kecurangan, sejauh mana akibatnya dan bagaimana hal itu menjadi persoalan besar. Beliau berkata: “Tidakkah kalian sanggup melepaskan seekor kambing di pundaknya yang selalu mengembik, dan di pundaknya ada kuda yang selalu meringkik. Dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Lalu aku menjawab: ‘Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku sudah memberitahukan kalian’. Di pundaknya juga ada seekor unta yang selalu meraung. Dia berkata: ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku’. Lalu aku menjawab: ‘Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku sudah memberitahukan kalian’. Atau dii pundaknya ada segumpal emas dan perak yang selalu menggerincing. Dia berkata: ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku’. Lalu aku menjawab: ‘Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku sudah memberitahukan kalian’.”
Bagi umat Islam periode awal, ancaman sanksi ukhrawi ini jauh lebih efektif dan lebih ditakuti daripada sanksi duniawi, karenanya dalam banyak hal ancaman sanksi ukhrawi inilah yang sangat membantu kebersihan pelaksanaan dan kelancaran tugas mereka.
Dari uraian di atas terlihat beberapa instrumen kebijakan fiskal yang digunakan Rasul, dan umumnya diikuti khalifah sesudah beliau, di antaranya:[44]
Pertama, peningkatan pendapatan nasional dan partisipasi kerja. Ditem-puh melalui: (1) distribusi pendapatan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, (2) menyediakan lapangan kerja bagi kaum Muhajirin dengan mengadakan muzara’ah, musqat dan mudharabah serta kerjasama terbatas, (3) pembagian lahan perumahan kepada kaum Muhajirin, (4) pembagian 4/5 bagian ghanimah kepada para pejuang Islam, (5) pembangunan infrastruktur, di masa Umar malahan mencapai tingkat luar biasa, dan (6) meningkatkan pertumbuhan pendapatan dan permintaan total masyarakat.
Kedua, kebijakan pajak. Penerimaan yang termasuk jenis pajak adalah khumus, zakat, jizyah dan kharaj. Khumus hakikatnya adalah pajak proporsional yang jumlahnya tidak konstan, yang menstabilkan harga dan menurunkan inflasi, ketika terjadi kelebihan permintaan atas penawaran, serta mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total, ketika terjadi stagnasi dan penurunan tingkat permintaan agregat. Zakat merupakan persentase tertentu dari perbedaan antara produksi dengan biaya variabel, sehingga tidak berdampak pada harga atau jumlah produksi serta tidak menyebabkan penurunan supply total hasil pertanian. Jizyah hakekatnya adalah pajak kepala terhadap orang-orang yang dijamin keamanan, kehormatan dan propertinya oleh pemerintah Islam. Kharaj merupakan sewa atas tanah yang tidak berdampak pada harga dan jumlah produksi dan, selanjutnya, tidak mempengaruhi penawaran (penjelasan rinci lihat di bawah).
Ketiga, anggaran. Walau menghadapi banyak peperangan, di masa Rasul, anggaran Baitulmal jarang mengalami defisit, dan pada masa khalifah setelahnya, khususnya Umar dan Utsman, menunjukkan surplus. Pengeluaran dilakukan secara proporsional, hingga keseimbangan dana ini selalu terjaga.
Keempat, kebijakan fiskal khusus. Dalam keadaan tertentu, pemerintah Islam melakukan kebijakan fiskal khusus. Di antaranya melalui: (1) meminta bantuan sukarela umat Islam dalam memenuhi keperluan negara, seperti gazwa (perang yang diikuti Rasul) dan pengiriman sariya (pasukan yang tidak diikuti Rasul). (2) meminjam peralatan kepada non muslim dengan jaminan pengembalian dan memberikan ganti rugi terhadap kerusakan serta sewanya (kalau disyaratkan dalam perjanjian). (3) meminjam uang dari orang-orang tertentu. (4) menerapkan kebijakan insentif, untuk memelihara pengeluaran serta meningkatkan partisipasi kerja dan produksi, dengan menghargai orang-orang yang beraktivitas dan mencela para penganggur. Mendorong perbuatan baik, seperti pinjaman tanpa bunga, wakaf dan shadakah, yang memperlancar redistribusi dan meningkatkan efisiensi pertukaran serta permintaan total. Selanjutnya mengecam (mengharamkan) monopoli, riba dan transaksi ijon (kali bi kali), serta transaksi lain yang berpengaruh negatif terhadap keadilan distribusi, efisiensi pertukaran dan permintaan total, termasuk konsumsi secara berlebihan. (tulisan selanjutnya klik di sini)
[1] M. Abdul Mannan, op.cit., h. 174
[2] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 76
[3] Ibid., h. 76-78
[4] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 475. Lihat juga: al-Fikr al-Siyâsiy, op.cit., h. 147. Kalimat lengkapnya adalah:
أن يكون فقيها, عالما, مشاورا لأهل الرأي, عفيفا لايخاف فى الله لومة لائم, ولا يخاف منه جوار أو ظلم حكم إن حكم. ... العدل والتسامح.
[5] Quthb, op.cit., h. 170
[6] Ibid., h. 147
[7] Ibid., h. 85-86
[8] Ketika saldo keuangan negara mencapai jumlah yang sangat banyak, Umar menginginkan adanya perencanaan pembagian harta tersebut buat rakyat. Saat itu beliau meminta pendapat kepada orang banyak (dalam sebuah pertemuan umum). Salah seorang berkata: “Saya melihat orang-orang non Arab membuat dewan-dewan, maka buatlah untuk kami dewan-dewan”. Ali bin Abi Thalib berkata: “Bagikan harta yang dikumpulkan kepadamu setiap tahun, dan jangan engkau simpan sedikitpun sisanya”. Utsman bin Affan mengemukakan: “Aku pikir harta itu banyak sekali, yang dapat mencukupi banyak orang. Meskipun tidak dihitung, tetapi hendaknya bisa dilihat siapa saja yang sudah mengambil dan siapa saja yang belum mengambil”. Walid bin Hisyam bin Mughirah berkata: “Aku datang, lalu aku menyaksikan para raja itu telah membentuk dewan-dewan dan kompi-kompi pasukan, maka engkau hendaknya melaksanakan hal yang serupa”. Dari musyawarah itulah lahirnya Baitulmal.Ibid., h. 150
[9] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 928
[10] Quthb, op.cit., h. 130
[11] Menurut Imam Thabari, Ibn Katsir Balazari, Ibn Musaid dan al-Waqidi Baitulmal didirikan tahun 15 H. Ibn Khaldun menyebutkan tahun 20 H. Umar diangkat jadi khalifah tahun 13 H. Kemenangan pada tahun 15 H, secara material, belum mendorong Umar untuk mendirikan Baitulmal. Kemenangan-kemenangan berikutnyalah yang sangat menentukan dan mendorong pendiriannya, karena dalam kemenangan-kemenangan itu umat Islam memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. M. Husein Haikal dan Muhammad al-Baltaji dalam Ibid., h. 150.
[12] Rafiq Bek dalam Ibid., h. 151
[13] Muhammad al-Baltaji dalam Ibid., h. 153
[14] Ibn Khaldun, op.cit., h. 210-211
[16] Muhammad Abd al-Mun’im Khamis dalam Quthb, op.cit., h. 168
[17] Umar pernah menanyakan kekayaan (kuda, unta, kambing, sapi dan budak) Amru bin ‘Ash yang cukup banyak. Setelah dijelaskan Amru bahwa semua itu adalah hasil usahanya bertani. Umar belum puas, lalu mengutus Muhammad bin Maslamah untuk memeriksa dan membagikannya. Ibid., h. 169-170
[18] CD. Hadits, op.cit., Sunan al-Tirmiziy, Kitab al-Zakâh, Hadis No.: 567. Sunan al-Nasa-`iy, Kitab al-Zakâh, No.: 2475. Sunan Abi Daud, Kitab al-Zakâh, No.: 1351. Sunan Ibn Majah, Kitab al-Zakâh, No.: 1773. Musnad Ahmad, Musnad Baniy Hasyim, No.: 1967
[19] Quthb, op.cit., h. 176
[20] Kadim as-Sadr, op.cit., h. 96-97
[21] Perbedaan wilayah mazalim dengan peradilan biasa adalah: hakim mazalim memiliki kekuatan penuh dalam mengeksekusi keputusannya, sedang pada peradilan biasa harus dibantu oleh perangkat negara lainnya; hakim mazalim memiliki kewenangan lebih luas dari hakim biasa; kasus yang ditangani hakim mazalim tidak memerlukan pengaduan, sementara pada peradilan baisa terkadang harus menunggu pengaduan dahulu. Perbedaannya dengan wilayah hisbah adalah: hakim berwewenang menyelesaikan perkara yang tidak terselesaikan oleh pengadilan biasa, sementara pada wilayah hisbah tidak; kewenangan mengeksekusi hukuman pada hakim wilayah hisbah bersifat terbatas; kasus-kasu pada wilayah mazalim adalah kasus antara penguasa dengan warga negara, sedang pada wilayah hisbah lebih banyak kasus yang bersifat pelanggaran moral. Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 6, h. 762-763 dan 771
[22] Karena tugas dan wewenangnya yang berat, calon hakim mazhalim harus memenuhi kriteria yang cukup berat, yaitu (1) memiliki kemampuan yang tinggi dan berwibawa, (2) mampu mengeksekusi putusannya, (3) memiliki pengaruh yang luas dan kuat dalam masyarakat dan pemerintah, (4) terkenal bersih dan jujur, (5) tidak serakah dan (6) warak. Al-Mawardi, loc.cit.
[24] Secara Bahasa, mazhalim (المظالم) berarti kezaliman. Wilayah al-mazhalim (), secara definitif berarti: lembaga pengadilan yang secara khusus menangani kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Al-Mawardi, op.cit., h. 77. Khalifah yang memulai menyediakan hari khusus untuk mendengarkan pengaduan rakyat tentang kasus mazhalim ini adalah Abd al-Malik bin Marwan (Umaiyah). ‘Athiyah Mushthafa Masyrafah, al-Qhadhâ` fi al-Islâm, (t.tp., t.p., 1966), cet. Ke-2, h. 173. Posisi lembaga ini semakin kuat di masa khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz. Ia mengembalikan semua harta rakyat yang di kuasai secara tidak sah oleh khalifah Umayyah pendahulunya. Lembaga ini bertahan sampai berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani (1924). Semenjaak saat itu, masing-masing negara Islam mempunyai kebijakan sendiri tentang wilayah mazhalim ini. Hukum Islam, op.cit., h. 1943
[25] Al-Mawardi, op.cit., h. 80-83
[26] Ibid., h. 80. Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 6, h. 759-760
[27] ‘Athiyah Mushthafa Masyrafah, op.cit., h. 172
[28] Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 6, h. 758
[29] Secara bahasa, hisbah (الحسبة) berarti balasan (الأجر). Kata hisbah itu mengandung empat pengertian, yaitu: pertama, mengharapkan balasan/pahala dari Allah (طلب الأجر من الله), kedua, pengingkaran (الإنكار), ketiga, pengetahuan berdasar pengalaman (empiris) dan terukur (الإختبار والسبر), dan keempat, aturan dan pengamatan yang cemat (baik) dalam suatu urusan atau perhitungan (حسن التدبير والنظر فى الأمر أو إحصائه). Muhammad Kamaluddin Imam, Ushul al-Hisbah fi al-Islam, (t.tp.: Dar al-Hidayah, 1984), h. 14
[30] Ibn Khaldun, op.cit., h. 176. Al-Mawardi mendefinisikannya dengan: “Menyuruh kepada kebaikan, kalau kebaikan itu ditinggalkan, dan melarang dari kemungkaran, kalau ia dilaksanakan. Al-Mawardi, op.cit., h. 240.
[31] Fadhl Ilahi, al-Hisbah fi al-‘Ashr al-Nabawi wa ‘Ashr al-Khulafa` al-Rasyidin ra, (Riyadh: Idarah Tarjamah al-Islam, 1990), h. 6-12. Untuk saat ini, tugas lembaga hisbah ini bisa dikembangkan menjadi lembaga yang mengontrol kondisi sosial ekonomi secara komprehensif, seperti mengawasi industri, jasa profesional, standarisasi produk, mencek dan menghilangkan praktek monopoli, intersepsi (pemutusan) supply komoditi, riba, standarisasi alat takaran dan timbangan, pengaturan tata kota dan perumahan, serta perilaku seosial dan moral lainnya. h. 6
[32] Mereka harus memenuhi persyaratan: haruslah orang meredeka, adil, mampu berpendapat, tajam pikiran, taat beragama, dan memiliki wawasan tentang hal yang diawasinya (terutama sekali penyimpangannya, Al-Mawardi, loc.cit.
[33] Ibid.
[34] Dewan hisbah baru didirikan secara formal pada masa al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M; dinasti Abbasiyah) menjabat sebagai khalifah. Hukum Islam, op.cit., jilid 6, h. 1940
[35] Di antara kasus hisbah yang ditangani Rasul adalah kasus manipulasi barang dagangan (tepung) oleh pedagang di pasar Madinah, dengan meletakkan tepung basah di bawah tepung kering. Hal itu dilarang Rasul dengan tegas. Umar menumpahkan susu yang dicampur dengan air untuk dijual di pasar Madinah. Ali melarang pedagang ikan menjual ikannya yang sudah mati yang diletakkan (menngambang) di atas dalam baskomnya. Ibid.
[36] Abu Yusuf, op.cit., h. 123
[37] Yahya, op.cit., h. 29
[38] Quthb, op.cit., h. 179-180
[39] Ibid., h. 180-181
[40] Ibid., h. 181
[41] Abu Yusuf, op.cit., h. 132
[42] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 104
[43] CD. Hadits, op.cit., Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jihâd wa al-Siyar, Hadis No.: 2844
[44] Kadim as-Sadr, op.cit., h. 112-115
0 komentar:
Posting Komentar