POS PENGELUARAN BAITULMAL
Tulisan ini merupakan bagian kesembilan (untuk mengetahui tulisan sebelumnya klik di sini) dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang konsep dan eksistensi Baitulmal pada periode awal Islam. Secara utuh, semua tulisan itu menjelaskan tentang pengertian, sejarah, sumber pemasukan, pos pengeluaran, pemegang wewenang kekayaannya dan gambaran ringkas system moneter pada awal Islam. Pada bagian ini, kita akan menjelaskan pos pengeluaran Baitulmal pada periode awal, semenjak masa Rasulullah sampai berakhirnya masa Khulafa` al-Rasyidin. Walau demikian, topik pengeluaran Baitulmal itu tetap menjadi “teladan” dan jadi bahan kajian oleh ulama dan umat Islam berikutnya sampai saat ini.
Secara umum, pengeluaran negara tergolong pada dua macam, yaitu pembelanjaan untuk kebutuhan rutin dan kebutuhan yang lebih berorientasi untuk pembangunan. Dalam pengelolaan, khususnya pengeluaran, kekayaan Baitulmal, minimal harus memperhatikan beberapa kaidah berikut:[1]
1. Manfaat kekayaan Baitulmal tersebut harus ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
2. Pembelanjaan umum ditetapkan melalui sebuah perencanaan sebelumnya.
3. Perencamaam dam pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan keabsahan rencana tersebut dari kacamata syar’i.
4. Penggunaannya harus sesuai dengan rencana (kadar) yang diperlukan.
Penetapan kaidah tersebut didasarkan pada nash-nash yang mengarahkan hal tersebut. Kepentingan rakyat yang dimaksud pada kaidah pertama mencakup semua rakyat yang berada di dalam kekuasaan Islam, termasuk Ahli Kitab dan kafir zimmiy, selama mereka mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini ditegaskan Allah di dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 8:
لا ينهاكم الله عن الّذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين (الممتحنة: 8)
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.[2]
Penetapan rencana dalam semua aspek kehidupan merupakan suatu keharusan yang dapat dipedomani dari al-Qur’an surat al-Hasyr: 18:
ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد … (الحشر: 18)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok …”.[3]
Dalam al-Qur’an, yang juga telah dilaksanakan Rasul pada masa hidupnya, ada beberapa pos pengeluaran yang telah ditetapkan, dan semua itu harus menjadi pertimbangan dan pedoman utama dalam penetapan rencana belanja negara, seperti pos pengeluaran zakat (diantaranya QS. 9: 60) dan pembagian harta rampasan perang (diantaranya QS. al-Hasyr (59): 7).
Sikap boros dan kikir, baik bersifat personal maupun komunal, merupakan sikap yang sangat tidak terpuji dalam pandangan Islam. Pemborosan akan membuat negara mengalami difisit terus menerus. Sementara sikap kikir (memperkecil pengeluaran secara berlebihan) dapat membatalkan pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan. Dua sikap ini mendapat sorotan kritis dari al-Qur’an dalam surat al-Furqan (25): 67:
والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما(الفرقان: 67)
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara keduanya”.[4]
Quthb Ibrahim Muhammad[5] mengklasifikasikan pengeluaran Baitulmal (anggaran negara), berdasarkan pemasukannya, menjadi 4 kalsifikasi:
Pertama; harta yang berasal dari zakat dimanfaatkan untuk membantu kaum fakir, miskin, ‘amil zakat, mu’allaf, budak, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil. Harta zakat juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek umum demi kepentingan fakir miskin, seperti pembangunan rumah sakit atau sekolah untuk pengobatan dan sekolah gratis begi mereka.
Kedua; harta yang berasal dari 1/5 harta ghanimah, selain dimanfaatkan untuk anak yatim, fakir dan ibn sabil, juga dapat dimanfaatkan untuk membeli kendaraan dan peralatan perang, khususnya setalah Rasul meninggal.
Ketiga; harta Baitulmal yang berasal dari barang temuan (rikaz) dan peninggalan yang tidak ada ahli warisnya, khusus digunakan untuk kemashlahatan kaum fakirm, seperti bantuan cuma-cuma atau proyek untuk kepentingan umum.
Keempat; harta Baitulmal yang berasal dari sumber pemasukan jizyah, kharaj dan ‘usyur dapat dibelanjakan untuk gaji para pegawai, pendanaan untuk instansi pemerintah dan persediaan dana dalam keadaan darurat.
Dalam pelaksanaan lebih lanjut, harus memperhatikan beberapa ketentuan pelaksanaan (kaidah). Ketentuan tersebut berusaha memelihara konsistensi antara asal pemasukan dan tujuan pemanfaatan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Ketentuan pelaksanaan[6] tersebut adalah:
+ Barang yang termasuk dalam klasifikasi pertama, kedua dan ketiga tidak bisa dipindahkan pendistribusiannya kepada pemanfaatan klasifikasi keempat, karena hal itu akan mengurangi bagian orang-orang yang telah ditentukan al-Qur’an dan bertentangan dengannya.
+ Barang yang termasuk dalam klasifikasi keempat dapat dipindahkan pemanfaatannya ke tiga kellompok pertama, apabila persediaan yang ada pada tiga bagian pertama tidak memadai.
+ Bagian terbesar dari pembelanjaan negara adalah untuk kepentingan fakir miskin dan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomis.
Dengan demikian terlihat bahwa pemasukan Baitulmal yang penetapan-nya didasarkan pada nash, pengeluarannya juga harus mengikuti nash. Sementara pemasukan yang ditetapkan berdasarkan ijtihad dapat dimanfaatkan untuk keperluan di luar yang telah dijelaskan oleh nash secara jelas, yaitu untuk kemashlahatan negara menurut pendapat kepala negara, diantaranya adalah untuk fakir miskin, ibnu sabil, keperluan jihad, gaji pegawai dan tentara, pembangunan sarana umum yang sangat penting, dana perbaikan atau penambahan sarana umum, dan sebagai dana penanggulangan bencana (suasana mendesak).[7]0.
Untuk efektifitas penggunaan kekayaan negara, juga ditetapkan sebuah peraturan yang disebut dengan “Nizhâm al-Iltizâm” atau “Nizhâm al-Iqthâ’”, yaitu ketentuan yang menegaskan bahwa orang yang memiliki tanah yang tidak digarapnya selama tiga tahun, kemudian ada orang lain yang menggarapnya, setelah tiga tahun tersebut, maka orang yang menggarapnya tersebut lebih berhak untuk memilikinya.[8]
1. Distribusi zakat
Pendistribusian zakat ditujukan terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam surat al-Taubah (9): 60, yang berbunyi:
إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله (التوبة: 60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang (gharim), untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketatapan yang diwajibkan Allah….”.[9]
Berkaitan dengan mustahiq zakat dan aturan distribusinya, Rasul menegaskan bahwa tidak ada ketentuan lain yang dapat mengaturnya, selain aturan yang telah ditetapkan Allah. Hal itu beliau tegaskan dalam hadisnya:
عن زياد بن الحارث الصدائي قال أتي رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أعطني من الصدقة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله تعالى لم يرض بحكم نبي ولا غيره في الصدقات حتى حكم فيها هو فجزأها ثمانية أجزاء فإن كنت من تلك الأجزاء أعطيتك حقك (رواه أبو داود)[10]
Dari Ziyad bin al-Harits al-Shada`iy, ia berkata: “Seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Beri saya bagian dari zakat”. Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak ridha dengan ketetapan Nabi dan orang lain dalam persoalan zakat, karennya hanya Dia yang menetapkan aturan padanya. Dia membaginya menjadi delapan bagian, jika engkau termasuk di dalamnya, maka saya akan memberikan hakmu”. (HR. Abu Daud)
Yang bertanggung jawab langsung untuk pendistribusian zakat adalah kepala negara. Dalam banyak kasus Rasul telah mencontohkan hal ini. Tapi kepala negara dapat menunjuk orang atau beberapa orang yang dipercaya untuk melaksanakannya. Umar menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk membagikan zakat kepada fakir miskin yang ada di Madinah. Sementara para gubernur atau utusan yang dikirim ke setiap daerah langsung menjabat sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat[11]
Zakat yang dipungut dari orang-orang kaya di suatu daerah harus dibagikan kepada orang-orang miskin di daerah itu. Mu’az bin Jabal pernah mengirimkan 1/3 dari zakat kepada Umar, tapi Umar menolaknya. Ia berkata: “Aku tidak mengutusmu untuk mengambil dan mengumpulkan jizyah, akan tetapi aku mengutusmu untuk mengambil harta orang-orang kaya lalu dibagikan kepada orang-orang fakir”. Mu’az menjawab: “Aku tidak akan mengirimkan harta apapun kepadamu kalau aku menemukan seseorang yang mempunyai hak untuk mengambil bagian dariku”. Pada tahun beriuktnya Mu’az mengirimkan setengah dari zakat, lalu Umar menolaknya. Demikian juga pada tahun ketiga, Mu’az mengirimkan setengah dari zakat, dan Umar tetap menolaknya, namun Mu’az tetap menjelaskan bahwa tidak ada lagi orang yang berhak menerima harta tersebut yang ditemuinya.
Hal itu dilakukan Umar dalam rangka desentralisasi zakat. Artinya, zakat di suatu daerah harus dibagikan di daerah itu juga. Kalau tidak menemukan orang yang berhak, maka harus dicari di daerah sekelilingnya.[12] Semua itu mempunyai landasan yang jelas, yaitu penegasan Rasul kepada Mu’az ketika akan mengirimnya ke Yaman. Rasul mengatakan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل حين بعثه إلى اليمن … فإن هم أطاعوا لك بذلك فأخبرهم أن الله قد فرض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم (رواه البخاري)[13]
“Dari Ibn ‘Abbas ra., ia berkata: “Bersabda Rasulullah SAW kepada Mu’az ketika ia diutus ke Yaman: “…Jika mereka mematuhi-(dakwah)-mu, maka katakan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shadaqah yaitu diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin”. (HR. al-Bukhari).
Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan di antara para pemimpin Islam pertama, Rasul dan khalifah rasyidin dalam pengelolaan zakat ini. Hanya saja Umar melakukan beberapa perbaikan dalam pelaksanaannnya, seeperti penghentian distribusi zakat terhadap hak mu’allaf.
Dalam surat al-Taubah (9): 60, mu’allaf disebutkan sebagai salah satu penerima zakat. Hal itu telah direalisasikan oleh Rasul semasa hidupnya. Malahan dalam banyak kasus beliau terkesan lebih mengutamakan mu’allaf dibanding kaum muslimin.[14] Hal ini beliau lakukan untuk membuat mereka (dan kaumnya) simpati dan menghilangkan keraguan mereka terhadap dakwah Islam dan agar selanjutnya mereka tertarik untuk masuk agama Islam.
Semua sebab yang (barangkali) menjadi pertimbangan Rasul di atas, pada waktu Umar menjadi khalifah, sudah bisa dikatakan tidak ada lagi, karena pada waktu itu dakwah dan negara Islam sudah sangat luas dan telah menunjukkan kebesaran ajarannya, juga telah menjalin hubungan luar negeri dengan berbagai negara yang ada di sekitarnya. Dengan pertimbangan ini Umar menetapkan bahwa untuk saat itu mu’allaf tidak layak lagi menerima zakat. Dengan tetap memberikan bagian zakat kepada para mu’allaf, justru akan memperlemah pemerintahan Islam (setidaknya secara ekonomis), sebab harta yang diberikan kepada mereka akan lebih efektif jika diberikan kepada pos zakat yang lain.[15] Hal itu juga akan menimbulkan ketergantungan bagi para mu’allaf itu sendiri (yang cenderung seperti eksploitasi oleh beberapa orang terhadap negara Islam atas nama mu’allaf).
2. Distribusi ghanimah
Orang-orang yang ikut dalam pertempuran, tapi bukan berstatus sebagai pasukan perang, seperti para wanita yang menjadi perawat tentara yang terluka atau yang menyediakan air bagi tentara, duga dibolehkan untuk menerima hadiah yang diambilkan dari ghanimah, sebagaimana telah dilakukan Rasul dalam berbagai peperangan yang dilakukannya. Pemberian hadiah tersebut dilakukan sebelum ghanimah dibagi menjadi lima bagian.[16] Demikian juga dengan para tentara muslim yang ditawan musuh, harus dibebaskan dengan ghanimah, sebelum harta itu dibagikan.[17]
Setelah pemberian hadiah tersebut, ghanimah yang tertinggal dibagi menjadi lima bagian, 4/5-nya dibagikan buat pasukan yang mengikuti peperangan tersebut (rincian lihat di atas). Sementara 1/5-nya merupakan hak Baitulmal, yang selanjutnya juga dibagi lima, masing-masingnya untuk Allah dan Rasul-Nya, kerabat Rasul,[18] yatim, miskin, dan ibn sabil.[19]
1/5 ghanimah yang jadi hak Baitulmal, seperti disebutkan di atas. Bagian (Allah) Rasul, di masa Rasul, digunakan beliau untuk biaya hidupnya dan isteri-isterinya dan kepentingan rakyat. Tapi setelah beliau meninggal, terjadi perbedaan pendapat dalam pemanfaatan harta tersebut.[20]
Semenjak masa Abu Bakar,[21] bagian Allah dan Rasul serta bagian kerabat dimanfaatkan untuk membiayai pasukan kaum Muslimin, seperti membeli senjata. Umar pernah mencoba menyerahkan bagian kerabat Rasul tersebut, namun dikembalikan oleh Ibn Abbas. Ia mengatakan: “Umar telah memberikan harta itu kepada kami, karena beliau beranggapan bahwa jatah tersebut lebih baik diberikan kepada kami; tetapi kami tidak menginginkan-nya. Lalu kami katakan bahwa untuk kerabat Rasul ada pada 1/5 harta rampas-an”. Semenjak saat itu, kalau mereka tidak mengajukan permintaan, haknya dibagikan kepada yang berhak, yaitu untuk kebutuhan kaum Muslimin, anak yatim dan ibnu sabil.[22] Berkaitan dengan ini, Rasul mengatakan:
قال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم وأيما قرية عصت الله ورسوله فإن خمسها لله ورسوله ثم هي لكم (رواه أحمد)[23]
“Telah bersabda Rasulullah SAW: “… daerah mana saja yang ditundukkan Allah buat kalian, maka untuk Allah dan Rasulnya 1/5-nya, dan itu-pun buat kalian”. (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan gambaran di atas, dapat dicontohkan tata cara pembagian dan bagian-bagian untuk masing-masing yang berhak terhadap harta ghanimah, sebagai barikut: misalkan sebuah peperangan diikuti oleh 400 orang pasukan kavaleri dan 400 orang pasukan infanteri, selain pasukan tempur, dalam rombongan itu juga terdapa orang-orang yang bertugas sebagai tenaga medis dan juru masak. Setelah peperangan usai, berhasil dikumpulkan ghanimah sebanyak 301.000 dinar. Dari jumlah keseluruhan itu, diberikanlah, sebagai hadiah, kepada para tenaga medis dan juru masak hadiah sebesar 1.000 dinar. Pembagian (secara matematis) ghanimah yang tiggal (300.000 dinar) adalah sebagai berikut:
1/5-nya, yaitu 60.000 dinar, yang menjadi hak Baitulmal, dibagikan sebagai berikut: 12.000 untuk Rasul, 12.000 untuk kerabat, 12.000 untuk anak yatim, 12.000 untuk kaum miskin, dan 12.000 untuk ibn sabil. Karena bagian Rasul dan kerabat (12.000 + 12.000) tidak diserahkan kepada mereka, 24.000 dinar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti pembelian senjata (pemanfaatan yang telah dicontohkan Abu Bakar dan Umar) atau keperluan lain. Sementara bagian yang lain tetap diserahkan kepada yang berhak.
Sementara 4/5 sisanya (240.000 dinar) dibagikan untuk pasukan yang ikut berperang. Kalau kepala negara memilih dua bagian untuk pasukan kavaleri dan satu bagian untuk pasukan infanteri, maka sisa tersebut dibagi tiga, dua pertiga-nya (160.000 dinar) untuk pasukan kavaleri dan 1/3-nya (80.000 dinar) untuk pasukan infanteri. Dari pembagian itu, maka bagian seorang pasukan kavaleri adalah 400 dinar dan bagian seorang pasukan infanteri adalah 200 dinar. Kalau kepala negara membagi rata harta ghanimah itu untuk semua pasukan (1 : 1; tanpa membedakan pasukan kavaleri dan pasukan infanteri), maka bagian setiap pasukan adalah 300 dinar.
3. Pembiayaan fasilitas umum
Kekayaan Baitulmal juga digunakan untuk membiayai seluruh perangkat kenegaraan dan pembangunan fasilitas umum yang membutuhkan dana besar, seperti pembuatan bendungan irigasi dari sungai Tigris dan Efrat dan pembuatan saluran untuk lahan pertanian. Selain itu, kekayaan Baitulmal juga digunakan untuk melakukan persiapan peperangan dan penaklukan terhadap wilayah-wilayah lain.[24]
Rasul pernah membeli tombak dan perlengkapan perang lain dengan biaya yang berasal dari fai` yaitu dari 7 kebun yang diwakafkan Mukhairik kepada Rasullah setelah ia masuk Islam.[25] Selain itu, Rasul juga membangun pemandian umum dan merelokasi pasar Madinah. Umar bin Khaththab memerintahkan kepada Amr bin ‘Ash agar memanfaatkan 1/3 dari penerimaan Mesir untuk membangun jembatan, terusan dan jaringan suply air.[26] Gedung penampungan bahan makanan, tepung, jagung, anggur dan segala kebutuhan musafir dan tamu juga didirikan pada masa Umar.[27]
4. Anggaran rutin, gaji pegawai dan tentara
Anggaran rutin yang dikeluarkan pemerintah Islam periode awal antara lain untuk keperluan pemeliharaan kota Makkah dan Madinah serta rute perjalanan ibadah hajinya, untuk daerah-daerah perbatasan, gaji pada qadi, gaji para petugas kepolisian dan kehakiman, gaji petugas pos (barid). Untuk seluruh kebutuhan itu, diperkirakan menelan dana sebesar satu juga dinar.[28]
Anggaran ruti dan gaji para pegawai, seperti kepala negara, hakim, kepala daerah, petugas Baitulmal dan lainnya, diambilkan dari kekayaan Baitulmal yang berasal dari pos pemasukan jizyah, kharaj dan ‘usyur. Untuk menambah atau mengurangi jumlah gaji mereka sepenuhnya menjadi hak kepala negara.[29] Sementara yang berhak menentukan tunjangan untuk kepala negara adalah Majlis Syura (MPR sekarang).[30]
a. Gaji kepala negara
Rasul, sebagai kepala negara, tidak memperoleh tunjangan tetap dari Baitulmal, beliau hanya mendapat hadiah kecil berupa bahan makanan dari masyarakat. Beliau pernah mendapat bagian tanah dari ghanimah yang berasal dari Bani Nadzir, tapi itu hanya beliau manfaatkan selama satu tahun, setelah itu beliau kembalikan pemanfaatannya kepada kaum Muslimin.[31] Biaya hidup beliau dan keluarganya dipenuhi dengan bagian beliau dari ghnimah yang menjadi hak Baitulmal, itupun lebih banyak yang beliau serahkan kepada fakir miskin (dan keperluan sosial lain) dibanding yang beliau manfaatkan sendiri.
Abu Bakar, di awal pemerintahannya, mendapat tunjangan seekor kambing tiap hari dan uang sebesar 250 dinar setahun untuk biaya hidup-nya dan keluarganya (orang-orang yang jadi tanggungannya). Beberapa waktu kemudian ia mengeluh bahwa tunjangan itu tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, maka tunjangannya ditambah menjadi 300 dinar setahun, selain tetap memperoleh seekor kambing tiap harinya.[32]
Sebelum jadi khalifah, Umar bekerja sebagai pedagang guna memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Ketika ia menjadi khalifah, ia berhenti dari kegiatan perdagangannya, dan sebagai pemenuhan biaya hidupnya dna keluarganya para sahabat menetapkan tunjangannya sebesar 16.000 dirham dalam setahun, selain tunjangan bahan makanan (biji-bijian) dan daging kambing. Pada awalnya, tunjangan ini kelihatan melebihi kebutuhannya, tapi ternyata dalam masa kekhalifahannya Umar pernah berutang kepada Baitulmal, karena tunjangan yang diterimanya tidak mencukupi kebutuhannya dan keluarganya.
b. Gaji pegawai
Di masa Rasul dan Abu Bakar organisasi pemerintahan Islam masih sederhana. Belum membutuhkan pegawai yang banyak dan belum membutuhkan pengadministrasian yang rumit. Hal itu disebabkan daerah yang dikuasai Islam masih bisa dikelola dengan cara pemerintahan yang sebelumnya dikenal bangsa Arab. Pada waktu itu, badan kenegaraan (setengah resmi) yang ada baru Majelis Syura. Majelis ini terdiri dari 14 utusan; sebagian dari kaum Muhajirin dan sebagian lagi dari kaum Anshar. Setiap satu utusan memiliki pakar. Mereka membentuk (memegang) dua jabatan khusus, yang pertama untuk menjaga dokumen rahasia, dan yang kedua adalah orang-orang yang dipercaya membawa stempel Rasul dan memegang catatan-catatan tentang utang piutang negara, harta shadaqah, ghanimah, catatan mushaf dan lain-lain.[33]
Wilayah kekuasaan Islam dibagi menjadi beberapa distrik, pada setiap distrik diangkat seorang pekerja (kepala daerah). Walau demikian, semua pegawai tersebut tidak diberi gaji tetap, umumnya tunjangan yang diberikan kepada mereka berupa uang dalam jumlah tertentu (tidak tetap) dan berbagai bahan kebutuhan pokok, sesuai dengan pekerjaan mereka.
Tapi ketika pemerintahan Islam telah melintasi perbatasan Arab, maka cara pemerintahan sebelumnya tidak efektif lagi, karenanya Umar melakukan perbaikan dan pengembangan organisasi pemerintahannya. Dalam persoalan ekonomi, seperti penetapan gaji, kharaj dan ghanimah, serta penentuan orang yang akan memimpin suatu pekerjaan atau daerah, Umar meminta pertimbangan kepada para sahabat (Majelis Syura). Sebagai tunjangan bagi kepala daerah dan pembantunya, hakim dan pegawai perpajakan, Umar menetapkan upah harian, bulanan dan tahunan.
Sebagai gambaran tunjangan yang diberikan kepada mereka, khususnya kepala daerah dan pembantunya, ada riwayat yang menceritakan bahwa Abu Musa al-Asy’ari dengan serombongan orang datang menemui Umar mewakili orang-orang Bashrah untuk menuntut kenaikan imbalan dari yang sebelumnya telah ditetapkan Umar dengan mengemukakan pertimbangan bahwa pola hidup dan makan orang-orang Bashrah (makanannya dimasak dan dihidangkan) berbeda dengan orang-orang Madinah (jarang yang dimasak dan tidak dihidangkan). Kemudian Umar menetapkan akan memberi jatah harian mereka berupa dua ekor kambing dan dua buah ember yang dipotong dan dimasak pagi dan sore, sementara kuah yang terdapat (tertinggal) di ember dijadikan minuman.[34]
Khusus untuk daerah Kufah, Umar menetapkan tunjangan lebih rinci. Amr bin ‘Ash (kepala daerah) diberi tunjangan 600 dirham/hari memperoleh setengah daging domba, kepala, kulit dan kakinya serta setengah ember makanan. Selain itu Umar juga memberi berbagai hadiah, buku-buku dan para Mu’azzin. Sebagai pembantu khusus, Umar mengirimkan ‘Ammar bin Yasir sebagai Imam shalat, Utsman bin Hunaif untuk mengukur dan mengurus tanah dan Ibn Mus’ud sebgai qadhi dan penanggung jawab Baitulmal ke Kufah.[35]
Ketiga orang itu diberi satu ekor kambing setiap hari ---‘Ammar mendapat ½-nya, Utsman memperoleh ¼-nys dan Ibn Mas’ud ¼ yang ttersisa. Selain itu, Utsman diberi tunjangan uang sebesar 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah lain. Di samping itu, ia juga diberi uang kontan sebesar 5.000 dirham. Sementara Ibn Mas’ud diberi tunjangan 100 dirham setaip bulan dan ¼ kambing setiap hari.[36]
c. Tunjangan bagi tentara dan veteran
Tunjangan para tentara dan veteran (termasuk janda mereka) diambilkan dari Baitulmal. Tunjangan tersebut dapat diambil dari kharaj yang dipungut dari daerah taklukan umat Islam. Sisanya baru kemudian dimasukkan ke dalam Baitulmal, untuk dijadikan sebagai kas negara guna membiayai dan menangani kemashlahatan umum lainnya.[37]
Pada masa Rasul, sampai masa kekhalifahan Abu Bakar, pos gaji tentara ini belum diadakan secara tegas. Pada masa itu, mereka hanya diberi bagian dari 4/5 bagian ghanimah yang.diperoleh dalam peperangan yang mereka ikuti dan dari jizyah yang berasal dari daerah taklukannya. Pengadaan pos gaji tentara ini secara khusus baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab.[38] Tidak ditemui sumber yang merinci besarnya gaji masing-msing mereka, Shaban memperkirakan pimpinan pasukan menerima gaji sebesar 200 dinar setiap tahunnya. Sementara setiap satuan tentara (‘arafah) ditetapkan anggaran 100.000/tahun yang diterima dan dibagikan oleh pimbinanya yang disebut ‘arif.[39]
Tahun pertama kekhalifahan Abu Bakar, umat Islam telah berhasil memperoleh beberapa kemenangan dan ghanimah, ia membagikan kekayaan Baitulmal kepada rakyat tanpa melakukan pembedaan antara orang yang berjasa dengan tidak. Di tahun pertama itu, masing-masing rakyat menerima 7 dirham dan 1/3 (menurut riwayat lain 9 dirham), dan pada tahun kedua meningkat menjadi 20 dirham.[40]
Sementara di masa Umar, ia memberikan tunjangan kesejahteraan yang berkala tahunan terhadap para veteran perang, anak-anak dan janda-janda yang ditinggal mati suami mereka dalam peperangan yang mereka ikuti. Tunjangan itu tidak hanya berbentuk uang, tapi juga berbentuk bahan makanan (sebagian sudah dimasak) dan keperluan lain; berbentuk uang dibagikan dua kali setahun dan berbentuk barang dibagikan sekali sebulan. Untuk keperluan itu, Umar mendata seluruh penduduk melalui sebuah lembaga pemerintahan khusus, tanpa membedakan apakah mereka berasal dari keturunan Arab atau bukan, agar dapat diketahui secara pasti keberadaan mereka.[41] Rincian pengeluaran Baitulmal, di masa Umar, bagi para pasukan dan veteran terlihat pada tabel I:[42]
Bagi bayi yang lahir dalam keadaan Islam, tanpa membedakan yang laihir secara syar’i atau anak temuan, Umar memberikan tunjangan sebesar 100 dirham. Ketika mereka sudah bisa mrengkak, jatahnya ditambah menjadi 200 dirham. Ketika ia sudah mendekati usia baligh, jatahnya ditambah lagi menjadi 500 atau 600 dirham.[43]
Tabel I
No | Jml Pemberian | Penerima | Keterangan |
1 | 12.000 dirham | Bagi setiap isteri Rasul | Awalnya Shafiyah dan Ju-wairiyah menerima 6.000, tapi setelah keduanya pro-tes, akhirna mereka disa-makan dengan yang lain. |
2 | 12.000 dirham | Abbas bin Abdul Muthalib | |
3 | 5.000 dirham | Kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikuti perang Badar | Dalam riwayat lain disebutkan: 4.000 dirham |
4 | 5.000 dirham | Hasan dan Husein masuk dalam daftar kerabat Rasul | |
5 | 4.000 dirham | Orang yang Islamnya seperti pejuang Badar, tapi tidak ikut pernag Badar | Utsman bin Zaid dimasuk-kan dalam daftar mereka. |
4.000 dirham | Umat Islam yang ikut hijrah ke Habsyah | ||
4.000 dirham | Kaum Anshar | ||
4.000 dirham | Usamah bin Zaid | Karena pisisinya dan ayahnya lebih disayangi Rasul dibanding Ibn Umar | |
4.000 dirham | Umar bin Abi Salamah | Dalam riwayat lain: 3.000 dirham. Dia dilebihkan, karena posisi Ibunya yang terhormat dalam Islam | |
3.000 dirham | Abdullah bin Umar | ||
2.000 dirham | Nadhar bin Anas | Ia dimuliakan, karena keu-tamaan Anas dalam perang Uhud, saat semua orang menyangka Rasul telah meninggal, ia maju dan syahid dengan gagah. | |
2.000 dirham | Al-Mirqal | Namanya diperkirakan: Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqash | |
2.000 dirham | Isteri kaum Muhajirin dan Anshar | ||
2.000 dirham | Putra kaum Muhajirin dan Anshar | Abu Salamah diberi 3.000 dirham, karena keutamaan isterinya dalam Islam | |
800 dirham | Penduduk Makkah dan masyarakat luas | Riwayat lain: antara 300 dan 400 dirham | |
600, 400, 300 dan 200 | Untuk perempuan Muhaji-rin dan Anshar |
5. Pembangunan armada perang dan keamanan
Selama ±10 tahun memerintah, Rasul menghadari sebanyak 26 atau 27 gazwa (perang yang diikuti Rasul) dan mengirim 36 – 66 sariya (pasukan yang tidak diikuti Rasul). Dengan mengambil angka terendah dari data itu (26 gazwa dan 36 sariya), dapat diketahui bahwa Rasul dan umat Islam menghadapi ancaman konfrontasi bersenjata dan peperangan dalam satu tahun sebanyak 6 kali (1 kali 2 bulan).[45] Dengan tingkat tantangan seberat itu, mengharuskan umat Islam untuk selalu dalam keadaan siap tempur dan terbiasa menghadapi kesulitan. Untuk itu, tersedianya pasukan yang kuat, logistik yang lengkap, dan persenjataan yang memadai sangat penting untuk mempertahankan pemerintahan Islam.
Pada tahun-tahun pertama Hijrah, di mana umat Islam sedang dalam keadaan kesulitan ekonomi, semua perlengkapan itu dipenuhi melalui infak para sahabat dan swadaya pasukan yang dengan suka rela ikut dalam gazwa dan sariya. Tapi setelah beberapa tahun pemerintahan Islam dan setelah beberapa kali mengikuti peperangan, pemerintahan Islam telah bisa mempersiapkan persenjataan (termasuk baju perang) dan kendaraan (kuda dan unta) yang jauh lebih lengkap dari sebelumnya. Sumber utama penyediaan senjata dan kendaraan itu adalah ghanimah dan tebusan tawanan.[46]
Sampai perang Badar, persenjataan dan kendaraan itu masih berupa dipersiapkan dan milik pribadi pasukan. Tapi setelah perang Badar, dengan diturunkannya perintahan pembagian ghanimah, pemerintahan Islam telah menyediakan anggaran khusus untuk itu, yang berasal dari 1/5 ghanimah (bagian Baitulmal), fai`, dan meminjam kepada orang atau masyarakat yang memiliki kebutuhan tersebut, selain tetap mempertahankan sumber dana yang telah ada sebelumnya (persiapan sendiri dan infak).
Selain memperbesar dan memperbanyak pendanaan, Rasul juga melakukan modernisasi senjata, perencanaan militer dan pengembangan institusi militer. Setelah perang Khaibar, pasukan Islam telah mengenal dua senjata baru, Mangonel dan Testudo, yang seblumnya sudah dimanfaatkan oleh bangsa Yahudi. Dalam perang Ahzab, umat Islam memperkecil anggaran perang melalui strategi bertahan dengan membuat parit (khandaq) di sekeliling Madinah. Ghanimah, yang sebelumnya dibagi mengikuti ketentuan yang sudah berlaku semenjak masa jahiliyah, diatur dengan wahyu.[47]
Di masa Umar, pasukan Islam diorganisir lebih rapi; mereka ditempatkan di satu tempat khusus, diberi gaji rutin, dan diroling dalam pelaksanaan tugasnya. Di Utsman angkatan laut Islam didirikan dan dipusatkan di Syiria. Awalnya usulan ini sudah diajukan Mu’awiyah kepada Umar, tapi Umar menolak karena hal itu butuh dana besar dan menghadapi medan yang berat. Di masa Ali, karena Mu’awiyah membangkang, pos pengeluaran untuk angkatan laut ini ditiadakan, tapi pos untuk surthah (polisi malam), yang sudah dibentuk di masa Umar, tetap dipertahankan..
6. Biaya fasiitas kehakiman
Pada masa Rasul masih hidup, beliau adalah hakim pertama dan utama. Setelah daerah kekuasaan Islam mulai meluas, beliau mengutus para sahabat untuk menjadi kepala daerah yang akan menyelesaikan persoalan keagamaan, harta kekayaan negara dan sekaligus menjadi hakim di tempat ia ditugaskan. Karena jabatan qadhi yang diberikan kepada mereka bukan jabatan khusus yang terpisah dengan jabatan kepala daerah, maka secara khusus mereka tidak mendapat tunjangan dalam jabatan hakimnya itu, demikian juga halnya di masa Abu Bakar.
Orang yang pertama kali menetapkan gaji hakim adalah khalifah Umar bin Khaththab. Kepeduliannya terhadap lembaga kehakiman danpemberian gaji yang mencukupi, telah membuat lembaga kehakiman menjadi sebuah lembaga yang mandiri dan jujur.[48]
7. Biaya fasiitas umum
Pemanfaatan kekayaan Baitulmal untuk perbaikan dan pengadaan fasilitas umum ini dimulai oleh Umar dengan membeli beberapa perumahan yang terdapat di sekeliling Mesjidil Haram guna memperluas bangunan mesjid tersebut. Proses pembelian ini diawali dengan pembuatan catatan atas para pemilik tanah dan menempelkan daftar pembelian perumahan tersebut di dinding Ka’bah. Daftar tersebut tetap berada di dinding Ka’bah sampai di pemilik tanah mengambilnya. Tidak seorangpun yang menolak, bagi yang merasa kurang puas dengan harga yang ditetapkan, mereka menemui Umar dan Umar-pun memenuhi permintaan mereka (ganti rugi).[49]
Umar juga melakukan perluasan terhadap Mesjid Nabawi (termasuk pengadaan lampu penerang) dan mengganti (tukar guling) tanah dan rumah Abbas, paman Rasul, dengan tanah yang lebih luas di Surra`, setelah sebelumnya sedikit terjadi dialog yang ditengahi oleh Hudzaifah bin al-Yaman. Pada waku itu, Mesjid Nabawi memegang peranan penting, ia merupakan tempat shalat sekaligus pusat pemerintahan (istana negara). Umar juga mengganti kiswah Ka’bah dengan kain Qibti berwarna putih.[50]
Proyek pengadaan fasilitas umum besar lainnya adalah penggalian teluk yang menghubungkan sungai Nil dengan Laut Merah (Bahr al-Qulzum), yaitu dari samping kota Fustat sampai ke Laut Merah (terusan Suez ). Proyek ini bertujuan untuk memperlancar pengangkutan hasil bumi Mesir ke kota Makkah dan Madinah (Arab umumnya), yang sebelumnya membutuhkan waktu lama menggunakan kuda dan unta. Teluk tersebut (diberi nama Teluk Amirul Mu’minin) jadi jalur transportasi terbesar antara Mesir, Laut Merah dan India . Hanya dalam waktu tidak sampai setahun teluk tersebut dapat diselesaikan. Teluk tersebut masih berfungsi dengan baik sampai pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Tapi kemudian tidak mandapat perhatian lagi, dan dipenuhi lumpur dan pasir. Hingga akhirnya yang tersisa hanyalah di sekitar Batha’ tepi Laut Merah (dalam peta berbentuk ekor buaya). [51]
Proyek “sensasional” lainnya yang dibiayai dengan kekayaan Baitulmal di masa Umar bin Khaththab adalah pembanguan kota-kota yang sebelumnya dijadikan perkampungan tentara Muslimin. Awalnya di tempat itu hanya didirikan tenda-tenda yang dapat dibongkar pasang; ketika mereka pergi berperang, tenda tersebut dibongkar dan ketika pulang berperang, tenda itu dipasang lagi. Tapi kemudian kedua pemukiman itu mengalami kebakaran, termasuk mesjid yang didirikan di tengah-tengah pemukiman. Setelah itu, didirikanlah perumahan permanen dari bebatuan dan terus berkembang hignga menjadi kota “duta” peradaban Islam.[52]
8. Tebusan tawanan perang
Ibnu Abbas meriwayatkan perkataan Umar: “Setiap tawanan yang ada di tangan kaum musyrikin, tebusannya diambil dari Baitulmal kaum Muslimin”.[53] Untuk keperluan tersebut diambilkan dari bagian zakat “fî sabîlillah” atau dari 1/5 harta rampasan perang. Hal itu didasarkan bahwa setiap kaum Muslimin mempunyai hak atas Baitulmal. Kalau terjadi suatu musibah yang menimpa seseorang, maka Baitulmal harus bertindak cepat untuk memberikan pertolongan.
9. Al-Nafal
Selain memperoleh gaji tetap, para tentara juga memperoleh insentif khusus (disebut) al-Nafal. Al-Nafal adalah insentif yang diberikan kepala ne-gara kepada tentara untuk meningkatkan motivasi mereka melakukan jihad.[54]
Sebagai sebuah insentif, al-Nafal tidak boleh melebihi bagian mereka (4/5) dari ghanimah. Ibn Taymiyah mengatakan bahwa nafal tidak boleh lebih dari 1/3 ghanimah dan dalam pemberiannya juga harus dengan syarat.[55] Proses yang biasa dilakukan Rasul adalah: ketika beliau mengirim satu regu pasukan ke suatu daerah, maka beliau memeberikan 1/5 bagian mereka sebelum mereka berangkat, dan menyerahkan sisanya (3/5) setelah mereka kembali.[56] Hal ini dapat dipahami dari hadis di awah ini:
عن عبادة بن الصامت أن النبي صلى الله عليه وسلم نفل في البدأة الربع وفي الرجعة الثلث (رواه إبن ماجة وأحمد والدارمي)[57]
“Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, bahwa Rasulullah SAW menjanjikan ghanimah ¼ sebelum berangkat dan 1/3 setelah kembali”. (HR. Ibn Majah dan Ahmad).
Contoh lain, dalam perang Jisr di Irak al-Mutsanna (pimpinan pasuk-an Islam) membutuhkan tambahan pasukan segera, lalu Jarir bin Abdullah ditugaskan Umar untuk mengumpulkan kekuatan Bani Bajilah. Namun mereka menolak untuk pergi, mereka lebih memilih ke Syam, tempat para senior mereka terlebih dahulu. Untuk memotivasi mereka, Umar menjanjikan ¼ ghanimah sebagai tambahan jatah pasukan. Setelah Umar menjanjikannya, mereka (dan kaum Muslimin lain) baru bersedia pergi ke Jisr.[58]
10. Biaya tahanan dan tawanan perang
Untuk membiayai para tahanan dan tawanan perang, seperti makan, pakaian dan penguburan jenazah mereka (kalau mereka meninggal), juga diambilkan dari kekayaan Baitulmal.[59]
11. Jaminan sosial
Kekayaan Baitulmal juga dapat digunakan sebagai sarana jaminan sosial, seperti pengobatan, bagi para pegawai yang membutuhkan. Jaminan sosial ini berbentuk bantuan langsung terhadap orang-orang tertentu; selain ashnaf zakat, termasuk di dalamnya anak yatim, janda, orang tua, orang sakit, pengangguran dan korban bencana alam.[60]
Umar merupakan khalifah yang pertama yang melakukan hal ini; ketika sakit waja` (penyakit dalam) Muaiqib, bendahara Umar di Baitulmal, kambuh, Umar memanggil dua orang dokter dari Yaman dan menyuruh mereka mengobatinya. Tapi penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi, dan akhirnya ia meninggal dunia.[61]
Umar sangat terkenal dengan kisah tentang perhatiannya terhadap orang-orang yang kurang mampu. Perhatian itu selalu beliau lanjutkan dengan pemberian bantuan berupa kebutuhan pokok atau bantuan keuangan. Salah satu kisah yang memberikan gambaran itu, ketika ia pulang dari Syam menuju Madinah ia melewati sebuah perkampungan dan mendengarkan informasi tentang kampung itu. Dari informasi yang diterimanya, ada seorang perempuan tua yang tinggal di tempat yang agak terpencil dan beliau datang menemuinya. Dalam pertemuan itu ia mendengarkan keluahan perempuan tua itu (tidak tahu yang datang itu adalah Umar) bahwa semenjak Umar menjadi khalifah, ia tidak pernah memberinya tunjangan dari Baitulmal sama sekali. Setelah terjadi dialog panjang, di mana Umar menyatakan penyesalannya dan meminta kesediaan perempuan itu untuk memaafkan keteledoran Umar yang tidak mengetahui keberadaannya, Umar mendesak agar perempuan itu menyebutkan jumlah yang semestinya dibayarkan Umar untuk mengganti keteledorannya selama itu, ketika itu lewatlah Ali bin Abu Thalib dan Ibn Mas’ud yang langsung menegurnya (Amirul Mukminin). Ketika itulah si perempuan tua sadar bahwa yang dihadapinya adalah Umar, dan ia meminta maaf. Tapi kemudian Umar tetap memberinya kompensasi sebesar 25 dinar dengan menulisnya di potongan kulit, kemudian meminta kepada Ali dan Ibn Mas’ud (yang jadi saksi kejadian itu) untuk meletakkan potongan kulit itu di atas tubuhnya ketika ia meninggal, agar bisa dijadikan sebagai bukti permintaan kerelaan yang telah dilakukannya terhadap perempuan itu.[62]
Kekayaan Baitulmal juga dimanfaatkan untuk membiayaai para ilmuwan dalam pengembangan ilmunya dan para budayawan dalam pengembangan sastra dan budaya Islam.[63] Umar memberi gaji tiga tenaga pengajar yang mengajar anak-anak kecil di Madinah masing-masing sebesar 15 dinar perbulan.[64]
Di masa Rasul ada beberapa dokter terkenal, yaitu Harits bin Katadah (tamatan sekolah kedokteran di Jundayshapur), al-Nadr bin al-Harits, Damad bin Tsa’labah al-Azdi (kepercayaan Rasul) dan Ibn Abi Ramtah al-Tamimiy (ahli bedah yang selalu menuliskan setiap operasinya). Di masa Ali bin Abu Thalib (di Kufah), di antara dokter umat Islam adalah Atir bin Amr bin Hani al-Saukani. Masih di masa Ali, Abu Aswad al-Duwaliy muncul sebagai perangkum tata bahasa Arab. Selain Abu Aswad, mereka umumnya beragama Kristen atau Zoroaster.[65]
12. Pinjaman
Pos pengeluaran lain yang juga sudah menjadi salah satu bagian jenis kegiatan Baitulmal periode awal adalah pemberian pinjaman kepada orang-orang yang membutuhkan, baik pinjaman konsumtif maupun produktif.
Istri Umar bin Khaththab pernah meminjam uang sebesar satu dinar dari Baitulmal untuk membeli minyak wangi.[66] Abdullah dan Ubaidillah pernah diberi pinjaman berupa 1/5 ghanimah dari Irak untuk dijadikan sebagai modal usaha memberi barang dagangan untuk dijual di Madinah. Keuntungan usaha itu dibagi dua (1/2 untuk Abdullah dan Ubaidillah dan ½ lagi untuk diserahkan ke Baitulmal) dan modal awal dikembalikan ke Baitulmal.[67]
13. Mengatasi persoalan sosial
Di masa Rasul ada peristiwa ini sangat menyedihkan beliau; anak buah Khalid bin Walid pernah membunuh orang-orang Badui bani Jazimah. Untuk menyelesaikan kesalah-pahaman ini, Rasul mengutus Ali. Setelah melakukan penyelidikan dengan cermat tentang jumlah orang yang terbunuh, status mereka, serta kerugian-kerugian yang menimpa keluarganya, ia membayarkan diyat secara tegas yang diambilkan dari kas Baitulmal. Ketika segala kerugian telah dipulihkan, ia membagi-bagikan sisa uang yang dibawanya kepada keluarga para korban serta anggota suku lainnya.[68]
Dengan semakin luasnya kekuasan Islam, dengan sendirinya menimbulkan berbagai persoalan baru. Salah satunya adalah meningkatnya heterogenitas komposisi penduduk, tidak terkecuali di Madinah. Hal ini diantaranya disebabkan oleh banyaknya tawanan perang, baik laki-laki atau perempuan, yang dibawa ke Madinah. Persoalan yang muncul diantaranya para isteri umat Islam, yang sebelumnya melepas keberangkatan suaminya berperang, seringkali merasa cemburu dengan tawanan perang perempuan yang berasal dari bangsa Persia dan Romawi yang dibagikan kepada suami mereka. Selain itu juga muncul perebutan terhadap laki-laki idola yang msuk ke kota Madinah, salah satunya adalah Abu Dhuaib.
Untuk mengatasi persoalan ini, kalau butuh biaya, diatasi dengan kekayaan Baitulmal. Umar pernah melakukan hal tersebut terhadap Abu Dhuaib. Ketika beliau melakukan ronda di malam hari, beliau mendengar para wanita bersenda gurau dan mengidolakan (memperebutkan) Abu Dhuaib yang baru saja menjadi penduduk kota Madinah. Siang harinya Umar memanggil Abu Dhuaib dan memberinya sejumlah uang, kemudian menyuruhnya untuk meninggalkan kota Madinah, agar tidak terjadi fitnah yang lebih besar.[69] (tulisan selanjutnya klik di sini)
[1] Quthb, op.cit., h. 36-37
[2] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 924
[3] Ibid., h. 924
[4] Ibid., h. 568
[5] Quthb, op.cit., h. 108-109 dan 186-187. Subzwari juga membagi 4 jenis pemasukan ini, tapi sedikit berbeda dengan Quthb Ibrahim dalam penjabarannya. Klasifikasi menurutnya: (1) pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ‘usyr yang dikenakan terhadap muslim. Pendapatan ini umumnya didistribusikan di tingkat lokal menurut ketentuan al-Qur’an, kalau ada kelebihan baru diserahkan ke Baitulmal. (2) pendapatan yang diperoleh dari khums dan sadaqah. Pemasukan ini dibagikan kepada fakir miskin tanpa diskriminasi. (3) pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fai`, jizyah, ‘usyr dan sewa tetap tahunan tanah-tanah yang diberikan (iqatha’). Bagian ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan (allowances), serta menutupi pengeluaran operasional administrasi, kebutuhan militer dst. Dan (4) berbagai mcam pendapatan yang diterima dari berbagai sumber, digunakan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya. Sabzwari dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 53-54
[6] Ibid., h. 109
[7] Taqiyuddin An-Nabhani, op.cit., h. 267
[8] Tarikh al-Islam, op.cit.. h. 476. Dalam pembahasan lanjutan, “Nizhâm al-Iltizâm” atau “Nizhâm al-Iqthâ’” ini juga terbagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) Iqthâ’ al-mawât’, yaitu hak yang dimiliki seseorang untuk menggarap sebidang tanah, baik atas pemberian pemerintah atau atas usahanya sendiri untuk menggarap tanah yang tidak (belum) digarap orang lain, (2) Iqthâ’ al-Irtifâ’, yaitu hak pemanfaatan (bukan hak milik) yang dimiliki seseorang untuk mengolah sebidang tanah berdasarkan izin pemerintah, seperti daerah transmigrasi. Apabila kepentingan umum atau kepentingan yang lebih afdhal membutuhkan tanah tersebut, maka orang tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya, ia harus menyerahkan tanah tersebut, dan (3) Iqthâ’ al-Ma’âdin’, yaitu hak pemerintah untuk mengelola dan mengeksploitasi segala barang tambang dan harta tersimpan yang terdapat di sebidang tanah. Hukum Islam, op.cit., h. 733-736
[9] Khadim al-Haramain, op.cit., h. 288
[10] CD. Hadis, op.cit., Sunan Abu Dawud, Kitâb al-Zakâh, Hadis No. 1389
[11] Quthb, op.cit., h. 113
[12] Al-Mawardi malahan menegaskan, pemindahan zakat ke daerah lain, di luar daerah penarikannya, adalah terlarang, kecuali menurut pendapat Imam Hanafi. Ahkam, op.cit., h. 124 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 244
[13] CD Hadits, op.cit., Shahih al-Bukhariy, Kitab al-Zakâh, Hadis No.: 1401
[14] Setelah kemenangan kaum Muslimin atas Huwazun tahun 8 H, Rasul memberikan sebagian harta kepada pemimpin kabilah-kabilah Ara. Abu Sufyan bin Harb dan anaknya Mu’awiyah, Hakim bin Jazzam, Harits bin Kaldah, Harits bin Hisyam, Suhail bin Amru, Huwaidah bin Abdul Uzza , Ala ’ bin Jariyah al-Tsaqafi, Uyainah bin Hashan, Aq ra’ bin Habits, Tamimi, Malik bin Auf al-Numri, dan Shafwan bin Uyainah masing-masingnya 100 ekor unta. Quthb, op.cit., h. 115. Setelah perang Hunain, Nabi memberikan 100 ekor unta kepada Aqa` bin Habis al-Tamimi dan 50 ekor unta kepada Mirdas al-Sulami. Namun, karena mendapat lebih sedikit, Mirdas mencela Rasul. Ahkam, op.cit., h. 128 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 252
[15] Ibid., h. 114-117
[16] Ibid., h. 122
[17] Ahkam, op.cit., h. 132 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 257
[18] Bagian kerabat ini diserahkan kepada bani Hasyim dan bani al-Muthalib. Abu Yususf, op.cit., h. 20
[19] Dalam pembagian 1/5 harta ghanimah ini ada empat pendapat yang masyhur: (1) dibagi lima , bagian Allah tersendiri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy, (2) dibagi empat, bagian Allah digabung dengan Rasul, (3) dibagi tiga, bagian Allah dan Rasul gugur dengan meninggalnya Rasul, (4) bagian 1/5 itu adalah fai`, karenanya semua orang, fakir dan kaya, berhak mendapat bagian. Ini adalah pendapat Imam Malik dan jumhur fuqaha`. Ibn Rusyd, op.cit., h. 285
[20] Menurut ulama yang mengatakan bahwa Nabi meninggalkan warisan, bagian tersebut diserahkan kepada ahli warisnya. Menurut Abu Tsaur, bagian itu untuk kepala negara dan keluar-ganya. Menurut Abu Hanifah, bagian ini hilang dengan meninggalnya Rasul. Menurut Syaf’i, bagian ini digunakan untuk kepentingan kaum Muslimin, seperti gaji tentara dan sebagainya . Ahkam, op.cit., h. 127 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 249-250. Abu ‘Ubaid mengatakan, Rasul memanfaatkan bagian Allah untuk keperluan Ka’bah. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 20-21. Selain 1/5 dari 1/5 ghanimah, Rasul memiliki dua bagian khusus lain, yaitu fai` (tanah Fadak dan harta bani Nadhir) dan shafi (bagian khusus buat Rasul dari ghanimah sebelum dibagi). h. 24
[21] Ali bin Abi Thalib sesungguhnya berpendapat, sama seperti Ahl Bait lain, bahwa bagian yang semestinya menjadi hak kerabat Nabi harus diserahkan kepada mereka, tetapi ia tidak ingin berbuat berbeda dengan para pendahulunya. Abu Yusuf, op.cit., h. 20. Dalam riwayat lain, Abu Yusuf menceritakan, bahwa di masa Rsulullah Ali bin Abu Thalib, untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah beliau, meminta untuk jadi wakil dalam membagi hak kaum kerabat. Kepercayaan tersebut terus berlanjut sampai dua tahun menjelang berakhirnya masa kekhalifahan Umar; ketika itu umat Islam memperoleh ghanimah yang sangat banyak. Saat itu Umar menyisihkan (meniadakan) hak kerabat Rasul. Kemudian Umar menyuruh Ali mengambil dan membagikannya. Saat itu Ali mengatakan bahwa masih banyak orang Islam lain yang lebih membutuhkan, dan Ali menyuruh untuk menyerahkannya kepada mereka tahun itu. Tetapi setelah kekhalifahan Umar, tidak pernah lagi hal itu dilakukan. Ibid.
[22] Dalam menyelesaikan masalah ini, terjadi debat publik (disaksikan banyak orang) cukup panjang antara Umar dengan Ibn Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Intinya, Umar menjelaskan bahwa Rasul tidak meninggalkan warisan apapun (termasuk hak), beliau memang pernah membagikan tanah Khaibar, tapi beliau mengambil semuanya kembali. Rasul sendiri hanya memanfaatkannya selama satu tahun, setelah itu semuanya diserahkan kepada Baitulmal. Semua penjelasan Umar itu dibenarkan oleh Ibn Abbas dan Ali serta orang banyak. Kemudian Umar juga menjelaskan bahwa sikap Abu Bakar untuk tidak menyerahkan bagian karib kerabat Rasul tersebut juga dilandasi oleh nash-nash yang disebutkannya, dan Abu Bakar tidak salah dalam hal ini. Terakhir Umar menegaskan bahwa dalam masa pemerintahannya, ia tetap akan melanjutkan ketetapan yang sebelumnya telah diambil oleh Abu Bakar, yaitu tidak menyerahkan bagian tersebut kepada karib kerabat Rasul, kecuali mereka membutuhkan dan menyampaikan kebutuhan tersebut kepada khalifah. Quthb, op.cit., h. 124-125
[23] CD Hadits, op.cit., Musnad Ahmad, Baqiy Musnad al-Mukatstsirîn, Hadis No.: 7869
[24] Tarikh al-Islam, loc.cit.
[25] Quthb, op.cit., h. 93
[26] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 103
[27] Quthb, op.cit., h. 151.
[28] M. Abdul Mannan, op.cit., h. 235
[29] Abu Yusuf, op.cit., h. 186-187. Tarikh al-Islam, op.cit., h. 487
[30] Majelis Syura terdiri dari 14 utusan perwakilan kaum Muhajirin dan Anshar. Badan ini juga tidak bisa dikatakan sama persis dengan MPR yang dikenal sekarang, karena badan ini juga melaksanakan tugas-tugas eksekutif, seperti kesekretariatan negara, bendahara negara dan pemelihara “dokumen-dokumen” wahyu (al-Qur’an yang telah dituis). Quthb, Ibid., h. 130
[31] Quthb, op.cit., h. 124
[32] Itupun di akhir hayatnya dikembalikan lagi ke Baitulmal. Hingga Umar berkata: “Abu Bakar sangat memberati orang-orang sesudahnya”. Maksudnya, tidak satupun para pemimpin sesudahnya yang mampu mengembalikan imbalan yang telah diperolehnya dari Baitulmal, seperti yang dilakukan Abu Bakar. Khalid Muhammad Khalid, Kehidupan Para Khalifah Teladan, Judul Asli: Khulafaur Rasul, Penerjemah: Zaid Husein Alhamidi, (Jakarta: Pustaka Imani, 1995), h. 77. Al-Maududi, op.cit., h. 117-118. Dalam al-Muntzaham disebutkan, bahwa Abu Bakar mendapat tunjangan sebesar 2.500 dinar. Op.cit., h. 73
[33] Buku catatan Rasul berjumlah 42 lembar. Quthb, loc.cit.
[34] Ibid., h. 130-132
[35] Abu Yusuf, op.cit., h. 36. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 73-74. Tidak ditemui penjelasan tunjangan uang buat Ammar. Selain Utsman, Umar juga mungutus Hudzaifah bin al-Yaman ke Irak. Utsman mengukur dan menetapkan jizyah untuk lahan yang diairi oleh sungai Efrat, sementara Hudzaifah untuk lahan yang diairi oleh sungai Tigris . Yahya, op.cit., h. 76-77
[36] Dari keseluruhan pegawai, Rasul, Abu Bakar dan Umar tidak pernah mengangkat Ahlu Bait sebagai salah satunya. Quthb, op.cit., h. 132-133
[38] Tarikh al-Islam, loc.cit. Umar bin Khaththab merupakan khalifah Islam pertama yang melakukan pengorganisasian terhadap para tentara dengan membentuk sebuah departeman khusus yang bernama “Diwan al-Jund” (ديوان الجند; Departemen Kemiliteran) dalam rangka mengangkat derjat mereka. Ibid., h. 489-490
[39] Sejarah Islam, op.cit., h. 62 dan 76
[40] Abu Yusuf, op.cit., h. 42. Quthb, op.cit., h. 190
[41] Tarikh al-Islam, op.cit., h. 487-488
[42] Gabugan beberapa riwayat dari Abu Yusuf, op.cit., h. 42-47. Subzwari menyamakan dana ini dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan tentara cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa, yang dikenal dalam terminologi modern. Pada awalnya (th. 18 H) Umar menetapkan ini seabgai anggaran bulanan (Arzaq), tapi pada tahun 20 H, ia dimasukkan dalam formulir anuitas (atya) Sejarah pemikiran, op.cit., h. 54
[43] Quthb, op.cit., h. 197-199
[44] Abu Yusuf, op.cit., Di akhir hayatnya Umar mengemukakan beberapa harapannya, kalau ia masih diberi umur panjang, katanya: “Demi Allah, kalau aku masih hidup tahun depan, aku akan mengantarkan orang-orang yang ada di bawah standar ke derjat orang-orang yang ada dalam standar”; dan ungkapan lain yang senada. Abu Yusuf, op.ciat., h. 46. Dalam analisanya, Quthb Ibrahim Muhammad mengatakan: “Sepertinya ia menginginkan adanya perubahan sistem yang berlaku, dari sistem hubungan kekerabatan dengan Rasul dan yang lebih awal masuk Islam kepada sistem persamaan”. Tepi keinginan Umar tersebut tidak sempat tereaisasi, sebab beliau keburu meninggal tidak lama setelah beliau mengemukakan rencananya itu. Quthb, op.cit., h. 138
[45] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 104
[46] Dalam perang Badar, dari 313 pasukan Islam hanya dua atau tiga orang mengendarai kuda dan dua sampai empat orang menggunakan seekot unta. Tapi setelah selesai perang, setiap anggota pasukan mengendarai binatang dan masing-masing menerima satu atau dua unta. Selain itu, salah satu tawanan, Naufal, dibebaskan dengan tebusan 1.000 buah tombak yang dimilikinya di Jidda . Hingga dalam pengusiran bani Qainiqa`, 100 dari 1.000 pasukan Islam telah memakai pakaian perang. Ibid., h. 105
[47] Dari fai` bani Nadzir, Rasul memperoleh bagian yang cukup untuk cadangan selama setahun. Setelah mengalahkan bani Quraizah, Rasul mengirimkan tawanan ke Nejd yang diantar oleh Sa’id bin Zaid, dan tebusannya digunakan untuk membeli kuda dan semua jenis senjata yang ada di sana . Ketika menghadapi suku Hawazin, Rasul berutang Sofyan bin Umayyah. Dalam perjanjian dengan penduduk Najran, Rasul mensyaratkan jika terjadi perang di Yaman, penduduk Najran akan meminjamkan (dijamin) senjata mereka kepada kaum muslimin. Dalam perang Tabuk, gazwa terbesar terakhir Rasul, umat Islam harus menghadapi 100.000 tentara Heraclius dalam musim panas di Syiria (jarak yang jauh). Untuk menghadapinya, Rasul menganjurkan jihad dan berinfak memenuhi kebutuhan pasukan, dan itu mendapat sambutan serius; 10.000 kuda dan 12.000 unta siap berangkat membawa pasukan Islam, para wanita melepaskan perhiasannya untuk membiayai pasukan itu. Ibid., h. 106-108. Ibn Katsir, op.cit., juz 6, h. 302-329
[48] Quthb, op.cit., h. 134
[49] Ali Khafif, dalam Quthb, Ibid., h. 136
[50] Pada masa Jahiliyah, kiswah terbuat dari kulit binatang, Nabi menggantinya dengan kain yang berasal dari Yaman dan Umar menggantinya dengan kain dari Mesir. Ibid., h. 137-138
[51] Kadim as-Sadr, dalam Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 104. Ibid., h. 139
[52] Untuk pembangunan kota-kota itu digunakan dana Jizyah yang dipungut dari berbagai daerah, khususnya dari daerah itu sendiri. Quthb, Ibid., h. 139-142
[53] Untuk membebaskan tawan perang Badar, Rasul mengambilnya dari ghanimah, sebelum harta itu dibagikan. Ahkam, op.cit., h. 132 dan Hukum Tata Negara, op.cit., h. 257. Dalam kesempatan lain Umar berkata: “Menyelamatkan satu orang kaum Muslimin dari tangan kaum kafir, lebih aku sukai daripada menguasai seluruh Jazirah Arab. Quthb, op.cit., h. 117-118
[55] Ibn Taymiyah, op.cit., h. 44
[57] CD. Hadits, op.cit., Sunan Ibn Majah, Kitab al-Jihâd, Hadis No.: 2842, Musnad Ahmad, Bâqiy Musnad al-Anshâr, Hadis No.: 21699
[58] Quthb, op.cit., h. 53. Dua atau tiga tahun kemudian, Umar meminta kepada mereka, melalui Jarir, mengembalikannya kepada kaum muslimin dengan kompensasi 800 dinar. Yahya, op.cit., h. 45. Abu ‘Ubaid, op.cit., h. 67. Dalam riwayat lain: 2000 dirham hasilnya diserahkan kepada mereka. Quthb, op.cit., h. 127
[59] Ibid.
[60] Surtahman Kastin Hasan, Ekonomi Islam; Dasar dan Amalan, (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), h. 162
[61] Quthb, op.cit., h. 135
[62] Ibid., h. 202-203
[63] Ibid., h. 487. Muhammad al-Mubarik, Nizhâm al-Islâm al-Iqtishâd; Mabâdi` wa Qawâ’id ‘Âmmah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 150-151
[64] Taqiyuddin An-Nabhani, op.cit., h. 98
[65] Kadim as-Sadr, dalam: Sejarah Pemikiran, op.cit., h. 100-101
[66] Minyak tersebut dimasukkan ke dalam sebuah peti bersama sepucuk surat dan mengirimkannya kepada Istri Raja Romawi. Istri raja Romawi itu mengosongkan isi peti dan menggantinya dengan perhiasan dan mengirimkannya lagi kepada istri Umar. Tapi kemudian Umar menjual semua perhiasan itu dan menyerahkan semua uangnya ke Baitulmal, kecuali satu dirham yang diberikan kepada isterinya. Quthb, op.cit., h. 164
[67] Waktu itu mereka berdua adalah anggota pasukan yang menaklukkan Irak, di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Ketika mereka akan kembali ke Madinah, Abu Musa menitipkan harta yang menjadi bagian Baitulmal. Harta itulah yang dijadikan modal usaha (awalnya diajurkan oleh Abu Musa), dan perjanjian pembagian keuntungan dilakukan di Madinah. Ibid., h. 162163
[68] Nahjul Balaghah, op.cit., h. 33
[69] Ibid., h. 216
0 komentar:
Posting Komentar